Menuju konten utama

Ancaman di Balik Pelemahan Mata Uang Cina terhadap Dolar AS

Aksi saling balas antara Cina dan AS yang berujung pada currency war jadi alarm bagi Indonesia sebab bisa menekan kinerja ekspor yang belakangan dalam kondisi terpuruk.

Ancaman di Balik Pelemahan Mata Uang Cina terhadap Dolar AS
Ilustrasi yuan dan dolar. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Perang mata uang atau currency war jadi ancaman baru bagi Indonesia di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Senin (5/8/2019), Cina membiarkan mata uang yuan renminbi jatuh ke level 7,05 per dolar AS dan melewati angka psikologis, terendah sejak krisis menghantam negeri tirai bambu pada 2008.

Depresiasi yuan hingga 1,3 persen di awal pekan itu terjadi setelah People's Bank of China menetapkan kurs acuan harian di bawah 6,9 sebagai aksi balasan atas tudingan Donald Trump bahwa Cina telah memanipulasi mata uangnya.

Imbasnya, mata uang emerging markets seperti won Korea, rupee India, hingga peso Filipina ikut terdepresiasi. Bahkan, pada perdagangan Selasa (6/8/2019), mayoritas mata uang pasar berkembang di Asia terpantau merosot, dengan rupee di posisi terparah yakni melemah sebesar 1,6 persen.

Ekonom Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, devaluasi mata uang renminbi memang sudah bisa diprediksi lantaran Cina perlu menjaga harga barang-barang ekspornya tetap kompetitif di tengah tingginya tarif bea masuk yang ditetapkan AS.

Namun, kata dia, pelemahan yuan Cina, dalam jangka pendek, menyebabkan sentimen risiko terhadap Indonesia. Sebab, investor akan cenderung menghindari aset finansial berisiko dan beralih ke aset yang lebih aman seperti emas atau yen Jepang.

Itu sebabnya, berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup di level Rp14.276 per dolar AS, melemah 0,15 persen atau 22 poin pada perdagangan Selasa (6/8/2019).

“Berdasarkan data historis, pelemahan nilai tukar yuan Tiongkok akan ikut menyeret pelemahan nilai mata uang emerging markets, Dan ini mendorong para pelaku pasar untuk keluar dari aset-aset berisiko,” kata Josua saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (7/8/2019).

Ekonom dari Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengungkapkan, aksi saling balas yang berujung pada currency war tersebut jadi alarm bagi Indonesia sebab bisa menekan kinerja ekspor yang belakangan dalam kondisi terpuruk.

Melemahnya yuan bakal membuat harga ekspor komoditas dari Cina akan semakin murah di pasar global. Bagi Indonesia, tentu hal itu bakal membuat persaingan makin berat. Apalagi, harga ekspor unggulan Indonesia seperti batu bara dan kelapa sawit tengah tertekan.

Di sisi lain, harga ekspor barang dari Cina yang semakin murah, akan membuat impor Indonesia semakin meningkat dan berpotensi menyerbu pasar domestik jika tidak diantisipasi oleh pemerintah.

Pada akhir kuartal I/2019, misalnya, tingginya impor membuat neraca dagang Indonesia terhadap Cina tekor hingga 4,753 miliar dolar AS. Ekspor Indonesia cuma mencapai 5,753 miliar dolar AS, sementara barang-barang impor dari Cina ke Indonesia tembus hingga 10,507 miliar dolar AS.

Defisit tersebut juga lebih tinggi dibandingkan Maret 2018 yang mencapai sebesar 3,443 miliar dolar AS. Impor Indonesia pada waktu itu mencapai 10,223 miliar dolar AS, sementara ekspornya sebesar 6,780 miliar dolar AS.

“Masa depan perang dagang semakin tidak pasti. Indonesia terdampak dari sisi ekspor dan impor sekaligus. Ekspor [Indonesia] ke AS dan Cina melambat, sementara produk Cina yang murah karena devaluasi yuan akan menyerbu Indonesia dan membuat defisit perdagangan melebar,” tutur Bhima.

Dampak devaluasi yuan terhadap Indonesia juga disadari oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Namun, ia belum bisa memperkirakan durasi dampak devaluasi yuan terhadap rupiah.

Hingga saat ini, Darmin belum terlalu risau sebab masih meyakini bahwa pelemahan yuan hanya akan terjadi sementara saja.

“Ketika Cina menjual barangnya, tentu itu akan lebih murah. Tapi masalahnya, ketika yuan melemah, maka banyak mata uang negara juga ikut melemah. Jadi seperti apa? Saya enggak tahu ini polanya, kita lihat nanti seperti apa,” kata Darmin saat ditemui di kantornya, Selasa lalu.

Sementara itu, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menyebut bahwa pelemahan yuan memang cukup menghawatirkan karena dapat ikut menyeret nilai tukar rupiah dan berdampak pada indikator perekonomian lainnya.

“Ini patut diwaspadai karena memberikan dampak ke domestik kita dan emerging market secara keseluruhan,” ujar Destry usai dilantik sebagai Deputi Gubernur Senior BI, di kantor Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019).

Karena itu, kata Destry, Bank Indonesia juga akan terus memonitor perkembangan ekonomi global yang dapat berdampak ke dalam negeri. Sebab, perang dagang antara AS dan Cina, hingga saat ini masih membuat ekspor terkontraksi sehingga berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019 tercatat sebesar 5,06 persen, melambat dibanding periode yang sama tahun lalu 5,17 persen. Ke depan, pemerintah dan Bank sentral akan mencari alternatif untuk mendorong ekspor serta mendorong investasi lebih tinggi.

“Diharapkan kalau kita bisa menjaga stabilitas makro jadi market tidak usah panik karna goncangan sifatnya sesaat,” kata Destry menambahkan.

Buka Peluang bagi Emiten Berorientasi Ekspor

Sebaliknya, analis Binaartha Sekuritas, Nafan Aji menilai pelemahan yuan justru membuka peluang bagi emiten-emiten yang berorientasi ekspor untuk meraup cuan. Terutama, untuk emiten yang bergerak di sektor tekstil maupun pertambangan.

Meskipun, menurut Nafan, sektor farmasi akan terpengaruh pelemahan rupiah karena sangat mengandalkan impor bahan baku untuk pembuatan obat maupun peralatan yang digunakan.

"Seharusnya kita bisa manfaatkan peluang. Misalnya tekstil. Kan, bisa bersaing lebih kencang. Kalau sumber daya mineral kita, mungkin komoditas khusus seperti nikel itu akan laku. CPO dan baru bara mungkin masih over suplly dan sulit bersaing.” kata dia.

Selain memberikan prospek yang positif terhadap emiten ekspor, kata dia, perang mata uang juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan komitmen dalam rangka memajukan sektor industri maupun manufaktur yang berorientasi pada ekspor.

Menurut Nafan, pemerintah dapat menerapkan kebijakan fiskal yang bersifat akomodatif seperti kebijakan super deduction tax untuk mendorong maju sektor industri maupun manufaktur. Dengan adanya currency war, Nafan memproyeksikan titik resistance pada rupiah adalah Rp13.980 hingga 14.570 per dolar AS.

"Saya menunggu apakah pelemahan yuan akan direspons BI dalam rangka melonggarkan nilai tukar. Atau mungkin BI mau mendukung pemerintah mendorong pengembangan industri manufaktur dan industri lainnya dalam rangka pertumbuhan ekspor, kita lihat nanti kebijakannya seperti apa,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz & Mufti Sholih