tirto.id - Perlahan tapi pasti, mata uang negara Republik Rakyat Cina yaitu renminbi mulai mengambil peran penting dalam perdagangan internasional. Di Indonesia, saat ini sekitar 10 persen transaksi perdagangan internasional telah menggunakan mata uang negara pimpinan Xi Jinping tersebut.
Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bahkan memperkirakan penggunaan renminbi dalam transaksi perdagangan internasional yang melibatkan Indonesia dengan Cina, akan mengalami peningkatan di masa yang akan datang karena Cina merupakan mitra dagang terbesar RI.
Total volume perdagangan RI dengan Cina bahkan dua kali lipat dibanding total perdagangan antara Indonesia dan AS. Perdagangan Indonesia-Cina telah menyentuh angka 72 miliar dolar AS. Dalam jangka waktu 2-3 tahun mendatang, perdagangan Indonesia-Cina diprediksi dapat menyentuh angka 109 miliar dolar AS.
"Pengaruh renminbi semakin besar sebagai mata uang yang digunakan dalam perdagangan internasional. Contohnya, mata uang Euro sekarang sudah memiliki ketergantungan dan terpengaruh pada nilai tukar dolar AS terhadap renminbi," sebut Dino dihadapan sejumlah media yang meliput perkembangan renminbi dalam perdagangan internasional di Energy Building, Jakarta, Kamis (25/7/2019) pekan lalu.
Penggunaan renminbi sebagai mata uang dalam transaksi perdagangan internasional memiliki sejumlah kelebihan bagi Indonesia. Salah satunya, lanjut Dino, adalah volatilitas renminbi yang jauh lebih stabil dibanding dolar AS. Dengan demikian, dari segi biaya transaksi, akan lebih murah dan lebih aman.
Penggunaan renminbi dalam transaksi perdagangan Indonesia-Cina tidak dapat dilepaskan pula dari perjanjian bilateral currency swap agreement (BCSA). Nilai perjanjian BCSA yang ditandatangani oleh Bank Indonesia (BI) dengan bank sentral Cina yaitu People’s Bank of China (PBoC) mencapai 200 miliar yuan atau setara dengan USD30 miliar pada 2018, meningkat pesat dibanding enam tahun lalu senilai 100 miliar yuan.
"Bilateral currency swap agreement merupakan langkah kecil tapi penting bagi ke dua negara. Di masa depan, BCSA memiliki hubungan yang positif terhadap pertumbuhan implementasi dari transaksi perdagangan menggunakan mata uang langsung ke dua negara," ungkap Wahyu Pratomo, Direktur Departemen Internasional BI dalam kesempatan yang sama.
Sebagai otoritas moneter, BI mendukung implementasi dari penyelesaian transaksi perdagangan antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara atau disebut dengan local currency settlement (LCS). Hal ini merupakan bagian dari implementasi BCSA.
LCS menurut Wahyu dapat mempersingkat dan mempermudah transaksi bisnis dibanding jika menggunakan mata uang perdagangan internasional atau hard currency seperti dolar AS. Jika menggunakan dolar AS, misalnya, maka pebisnis di masing-masing negara terlebih dahulu menukarkan mata uangnya terhadap dolar AS sebelum akhirnya menukarkan kembali dolar AS tersebut terhadap mata uang negara masing-masing.
Langkah tersebut tentu akan menambah beban biaya karena nilai tukar dolar AS yang memiliki fluktuasi tinggi terhadap berbagai mata uang lain di dunia.
"LCS bisa digunakan saat investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) seperti proyek infrastruktur dan juga saat proyek belt and road initiative (BRI) dilaksanakan," imbuh Wahyu.
Saat ini penggunaan LCS dalam transaksi perdagangan Indonesia-Cina baru sebesar 10 persen. Kendalanya, menurut Wahyu, justru datang dari pelaku usaha kedua negara karena belum memiliki kepercayaan diri yang besar untuk menggunakan LCS dalam transaksi bisnis.
Dengan begitu, diperlukan perubahan mindset para pebisnis di kedua negara agar LCS bisa lebih banyak digunakan dalam transaksi bisnis. Sebab, urgensi untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS menjadi faktor utama dan penting bagi kedua negara.
"Perubahan mindset dan juga sosialisasi yang aktif menjadi kunci untuk penggunaan LCS lebih masif lagi. Diperlukan cerita sukses dari para pengusaha yang menggunakan LCS dan memberikan insentif kepada industri yang menggunakan LCS, agar bisa memberikan efek snowball dalam penggunaan LCS," jelas Wahyu.
Penerbitan SUN Renminbi
Potensi meningkatnya penggunaan renminbi dalam transaksi perdagangan internasional Indonesia-Cina membuka peluang bagi Indonesia untuk menerbitkan surat utang negara denominasi renminbi.
Catatan saja, saat ini Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menggunakan tiga kurs dalam penerbitan utang negara denominasi mata uang asing yaitu dolar AS, Euro, dan juga Yen Jepang.
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu Loto Srinaita Ginting mengaku pihaknya tengah mengkaji kemungkinan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) denominasi renminbi sebagai salah satu eksposure surat utang pemerintah denominasi valuta asing (valas). Instrumen yang biasa disebut dengan Panda Bonds ini akan menambah pembiayaan SBN valas yang selama ini hanya dalam bentuk dolar AS, euro, dan yen Jepang.
Kajian yang dilakukan, menurut Loto, di antaranya adalah mengenai aturan main dan proses penerbitan Panda Bonds. Selain itu, pihaknya terlebih dahulu akan juga memastikan permintaan investor. Oleh karena itu, Loto menegaskan, pemerintah belum tentu akan menerbitkan obligasi valas Panda Bonds dalam jangka waktu dekat.
"Memang ada peluang bagi kami untuk menerbitkan Panda Bonds sebagai alternatif sumber pembiayaan dan dapat mengkaji lebih lanjut. Pertimbangannya adalah mata uang itu kompetitif atau tidak, serta ketersediaan dan permintaannya di pasar konsisten atau tidak," jelas Loto kepada sejumlah media di Soehana Hall, Energy Building, Jakarta.
Selain peluang serta proses penerbitan Panda Bonds, pertimbangan lain yang dipikirkan pemerintah adalah kesesuaian dengan target portofolio utang negara. Jika pemerintah lebih menekankan profil SBN bertenor jangka panjang, maka Panda Bonds tidak bisa dijadikan pilihan. Ini karena, tenor Panda Bonds hanya berkisar tiga hingga lima tahun saja atau jangka menengah.
"Jika memang arah ke depan kapasitas pasarnya sustain atau selalu ada, dan size-nya bisa semakin besar, itu juga bisa jadi pertimbangan kami,” sebut Loto.
Sebagai informasi, Panda Bonds merupakan instrumen utang yang diperkenalkan Cina sejak 2005. Tercatat, terdapat beberapa negara yang menggunakan Panda Bonds sebagai sumber pembiayaan anggaran, seperti Filipina dan juga Polandia.
Tahun ini, pemerintah RI membutuhkan pembiayaan sebesar Rp825,7 triliun untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditarget 1,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rencananya, 14 persen hingga 17 persen diantaranya disokong oleh SBN valas.
Data DJPPR Kemenkeu per 17 Juli 2019 menyebut, penarikan SBN valas telah mencapai Rp89,41 triliun atau 22 persen dari total penarikan utang bruto pemerintah sebesar Rp408,87 triliun. SBN valas itu terdiri atas denominasi dolar AS sebesar Rp43,4 triliun, euro sebesar Rp22,82 triliun, dan yen sebesar Rp23,19 triliun.
Dominasi Renminbi?
Renminbi merupakan salah satu dari 10 mata uang yang paling sering diperdagangkan di dunia. Hasil survei tiga tahunan yang dilakukan oleh Bank for International Settlements (BIS) mencatat, mata uang Renminbi berada di posisi ke-8 sebagai mata uang yang paling aktif diperdagangkan di dunia.
Per April 2016, pangsa pasar transaksi perdagangan internasional yang menggunakan mata uang Cina itu meningkat menjadi 4 persen, mengalahkan mata uang Peso milik Meksiko. Peningkatan pangsa pasar penggunaan renminbi terutama terjadi karena adanya peningkatan perdagangan terhadap dolar AS.
Pertumbuhan penggunaan renminbi di luar Cina meningkat nyaris dua kali lipat dari 120 miliar dolar AS per April 2013 menjadi 202 miliar dolar AS pada April 2016. Dalam survei BIS 2013, renminbi berada di posisi sembilan, naik drastis dibanding posisi renminbi pada 2010 yang berada di urutan ke-17.
Volume transaksi harian renmimbi terhadap dolar AS juga meningkat dari 113 miliar dolar AS menjadi 192 miliar dolar AS tiga tahun tersebut. Ini menjadikan pasangan USD/CNY naik dan berada di peringkat ke-6 sebagai pasangan mata uang yang paling banyak diperdagangkan dari posisi sebelumnya, yaitu ke-9.
Hasil survei BIS yang tertuang dalam laporan "12th Trennial Central Bank Survey of Foreign Exchange and Over-The-Counter (OTC) Derivatives Markets" (PDF) menyebutkan, "Sebanyak 95 persen dari volume perdagangan merupakan transaksi renminbi terhadap dolar AS," tulis laporan tersebut.
Mata uang Euro, Yen, dan Dolar Australia, sementara itu, kehilangan pangsa pasar dalam transaksi perdagangan internasional. Dalam surveinya BIS menyatakan bahwa dolar AS masih tetap menjadi mata uang dominan dalam perdagangan internasional sebesar 88 persen dari seluruh transaksi perdagangan internasional per April 2016.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara