tirto.id - Cina menyerang Vietnam pada dini hari tanggal 17 Februari 1979, tepat hari ini 42 tahun lalu. Serangan itu berlangsung cepat dan singkat. Dengan kekuatan 200 ribu lebih prajurit, 400 tank, dan 1500 artileri, pasukan Cina memasuki kawasan perbatasan Vietnam di utara hingga sejauh 20 kilometer.
Vietnam tak tinggal diam. Mereka mengatur kembali pertahanan dan melakukan serangan balasan. Tensi politik regional dan global turut memanas. Serbuan militer Cina itu menjadi puncak ketegangan sekaligus awal mula dari perang antar dua negara komunis.
Menurut guru besar ilmu politik sekaligus pakar hubungan internasional kawasan Asia, King C. Chen, dalam buku China’s War with Vietnam, 1979 (1987), setidaknya ada lima faktor utama yang menyebabkan terjadinya perang: (1) pasang-surut hubungan Cina dan Vietnam selama perang Indochina, (2) keterlibatan Uni Soviet, (3) masalah Kamboja, (4) isu sengketa wilayah antara Cina dengan Vietnam, dan (5) permasalahan imigran Cina di Vietnam.
“Kepentingan strategis dan nasional, perbedaan pandangan ideologi komunisme, dan misi nasionalisme negara menjadi faktor penyebab paling mendasar dalam perang ini,” ungkap Chen.
Pendapat berbeda disampaikan pakar politik luar negeri Cina, Nicholas Khoo, dalam artikel “Revisiting the Termination of the Sino-Vietnamese Alliance, 1975-1979” (2010). Khoo mengungkapkan bahwa dari sekian banyak faktor penyebab seperti masalah teritorial dan lain sebagainya, penyebab utamanya adalah retaknya hubungan Cina dan Vietnam.
Setelah Stalin Meninggal
Masalah tersebut tidak lepas dari memburuknya hubungan Soviet dan Cina sejak meninggalnya salah satu pemimpin besar Uni Soviet, Joseph Stalin, tahun 1953. Tak lama setelah Stalin meninggal, petinggi partai komunis seperti Geogry Malenkov, Nikita Khruschev, dan Lavrenty Beria melakukan reformasi politik di Uni Soviet dengan tujuan untuk mengoreksi semua kebijakan Stalin.
Pada 25 Februari 1956, Nikita Khruschev—saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet (PKUS)—berpidato tentang reformasi politik dalam perhelatan kongres ke-20 PKUS. Secara garis besar, pidato yang berjudul “On the Cult of Personality and Its Consequences” itu berisi keinginan Khruschev untuk “menyingkirkan” pengaruh Stalin di Uni Soviet atau de-stalinisasi.
Selain itu, ia mengungkapkan keinginannya kepada negara komunis untuk menjalankan hidup berdampingan secara damai dengan dunia kapitalis. Isi pidato tersebut menjadi sorotan dan melahirkan dua respons pendengar yang berbeda. Di satu sisi banyak yang mendukung keinginan Khruschev. Namun, di sisi lain tidak sedikit yang bersikap antipati.
Salah satu yang menolak pidato Khruschev adalah Mao Zedong, pemimpin Republik Rakyat Cina. Sebagai sekutu terdekat, Mao Zedong memandang pidato tersebut adalah tindakan keliru karena Khruschev berupaya mengecam Stalin dan melakukan interpretasi yang salah terhadap Marxisme-Leninisme. Apalagi gagasan untuk “bersahabat dengan kapitalis”, dipandang oleh Mao, dapat menghancurkan tatanan sosialis yang telah ia bangun.
Berawal dari sinilah hubungan Uni Soviet dengan Cina memburuk. Tahun-tahun berikutnya timbul pertikaian antara dua negara tersebut yang semakin memperparah keadaan. Dalam kondisi seperti ini, posisi Vietnam berada di antara tegangan dua kubu. Kedua negara berupaya menarik Vietnam sebagai pendukung. Dan ketika konflik semakin terbuka pada tahun 1960-an, Vietnam—kala itu bernama Vietnam Utara—secara tegas menolak bergabung dengan Cina. Hubungan Cina dan Vietnam pun retak.
Pasang Surut Hubungan
Jejak keretakan Cina-Vietnam sudah berlangsung sejak Perang Vietnam (1955-1975). Dalam buku karya Chen, dikupas beberapa peristiwa yang membuat hubungan mereka semakin renggang. Dalam perang tersebut, Cina melalui utusannya bernama Ye Jianying, menawarkan kepada Vietnam Utara untuk bekerja sama dalam pertukaran gagasan strategi dan melatih para gerilyawan. Namun, tawaran itu ditolak oleh Vietnam Utara.
Belakangan, seiring berjalannya perang, alasan penolakan terungkap: model strategi militer Cina tidak cocok diterapkan di wilayah Vietnam Utara. Oleh karena itu, Vietnam Utara memilih strategi militer yang dirumuskan oleh pimpinan militer negaranya sendiri, yakni Jenderal Vo Nguyen Giap, berupa perang gerilya dengan serangan cepat. Untuk menunjang strategi ini, Vietnam Utara bergantung pada bantuan yang disediakan oleh Uni Soviet. Lalu pada pertengahan perang, ketegangan antara Cina dengan Vietnam Utara kian meningkat pada dua tahun berturut-turut.
Pertama, pada 1965, ketika Cina menolak proposal bantuan Uni Soviet kepada Vietnam Utara. Isi proposal berupa permintaan Soviet kepada Cina untuk memberi keleluasaan kepada militer Soviet untuk melintasi dan berdiam di beberapa pangkalan militer Cina. Hal ini karena letak Soviet yang jauh dari Vietnam Utara, sehingga mereka harus meminta izin kepada Cina untuk mobilisasi bantuan bagi Vietnam Utara.
Proposal ini disambut baik oleh salah satu pemimpin Vietnam Utara, Pham Van Dong, tetapi tidak disambut baik oleh Mao Zedong. Mao secara resmi menolak proposal pada November 1965 dengan alasan teguh pada pendirian anti-soviet dan tidak ingin kedaulatan Cina terganggu.
“Penolakan Beijing, tentu saja, ditujukan terhadap Moskow, bukan Hanoi; tetapi Hanoi yang menderita. Ho Chi Minh dilaporkan telah secara pribadi memohon kepada Mao. […] Keteguhan hati Beijing menyebabkan timbulnya kebencian Hanoi terhadap China,” tulis King C. Chen
Posisi Cina semakin tegas ketika mengeluarkan kebijakan perangnya terkait Perang Vietnam. Pemimpin militer dan politik Cina, Lin Biao, dalam artikel yang ia tulis berjudul “Long live the Victory of the People's War!” (1965) menyatakan, revolusi atau perang rakyat di negara manapun adalah urusan negara itu sendiri dan harus dilakukan oleh mereka sendiri. Tulisan ini mengindikasikan bahwa Cina tidak ingin ikut campur dalam permasalahan di Vietnam Utara. Penolakan ini membuat Vietnam Utara meradang.
Di sisi lain, setelah mendapat kabar penolakan, Soviet mempromosikan tokoh Vietnam, Le Duan, hingga menjadi pemimpin baru, kuat, dan pro-Soviet setelah Ho Chi Minh mangkat. Le Duan menjadi perpanjangan tangan Soviet di Vietnam Utara.
Dua tahun setelah penolakan proposal, Vietnam Utara mulai menjauhi konflik dengan Cina. Tercatat pada tahun 1967 dan 1968, Vietnam Utara berinisiatif mengajukan pembicaraan perbaikan hubungan dengan Cina. Terkait ini, Amerika Serikat merespons baik inisiatif Vietnam Utara.
AS melalui Presiden Baines Johnson, mengajukan tawaran perundingan pada 3 April 1968. Situasi terus berubah satu tahun berselang, setelah Ho Chi Minh meninggal pada September 1969, yang memberi peluang bagi Cina untuk memperbaiki hubungan dengan Vietnam Utara.
Untuk mengawali perbaikan hubungan, Perdana Menteri Cina, Zhou Enlai, terbang ke Hanoi memberi penghomatan terakhir kepada Ho Chi Minh. Sebagai balasan, pemimpin Vietnam Utara, Pham van Dong, mengunjungi Cina pada bulan Oktober di tahun yang sama. Selepas itu, mereka kerap memiliki pandangan sama terkait masalah regional. Misalnya ketika krisis Indocina—seperti masalah Kamboja dan Laos—mereka sama-sama mengecam tindakan AS di wilayah tersebut karena mengganggu stabiltas kawasan.
Peran AS dan Soviet
Keadaan damai ini tidak berlangsung lama. Hubungan keduanya kembali memanas sejak Cina mengambil langkah berbeda dengan mendekatkan diri ke AS pada tahun 1970-an hingga sepakat menjalin kerjasama dalam Shanghai Communiqué pada 1972.Vietnam merasa dikhianati. Mereka pun mendeklarasikan bahwa AS adalah musuh nomor satu dan membuat hubungannya dengan Cina kembali renggang.
Perselisihan ini terus berlangsung sampai tahun-tahun sebelum usainya Perang Vietnam. Mereka menuduh Cina melakukan kesalahan ketika perang, seperti tidak mendukung upaya agresi Vietnam Utara, menolak proposal bantuan Soviet, dan mencegah Hanoi untuk membebaskan Vietnam Selatan. Cina pun menolak tuduhan tak berdasar Vietnam Utara. Cina mengklaim sudah cukup memberi bantuan.
Permasalahan ini semakin panas dan rumit ketika Soviet kian agresif menancapkan pengaruhnya di Indocina dengan tujuan mengurangi pengaruh Cina dan AS. Uni Soviet memperkuat hubungan dengan beberapa negara Asia melalui komitmen perjanjian dengan menawarkan bantuan material dan ikatan ideologis. Mereka juga mengusulkan sistem keamanan kolektif untuk negara-negara Asia, baik komunis ataupun non-komunis.
Ketika Perang Vietnam usai, hubungan Cina dan Vietnam tak lantas membaik. Akademisi Vietnam, Nguyen Manh Hung, dalam penelitian berjudul “The Seino-Vietnamese Conflict: Power Play Among Communist Neighbors” (1979) mengungkapkan, pada periode pascaperang, Vietnam mengeluh bahwa Cina tidak melakukan kontribusi pembiayaan dalam rencana lima tahun atau Five Years Plan of China (1976-1980). Padahal pada 1973 Cina berjanji akan memberi bantuan kepada Vietnam selama lima tahun ke depan. Deng Xiaoping, wakil perdana menteri Cina, memotong bantuan ke Vietnam pada akhir 1975 atas dasar bahwa Vietnam telah mengusir 100 ribu lebih etnik Cina dari Vietnam.
Kondisi ini membuat Soviet memberikan bantuan biaya pembangunan pada Juni 1978 kepada Vietnam hingga memasukannya ke dalam Council for Mutual Economic Assistance atau COMECON—sebuah organisasi ekonomi bentukan Soviet. Keberhasilan Soviet menggaet Vietnam memantik kemarahan Cina dan membuat keretakan semakin terbuka.
Sepanjang bulan Juli-Desember 1978, emosi kedua negara kian meluap. Mereka kerap saling melontarkan tuduhan dan kecaman. Kondisi semakin memanas ketika Vietnam memperbolehkan Soviet membangun pangkalan militer di Teluk Cam Ranh—pesisir tenggara Vietnam. Cina memandang tindakan ini sebagai, “kolaborasi antara Vietnam dan Uni Soviet untuk ambisi bersama”.
Kondisi semakin parah ketika Soviet-Vietnam menjalin hubungan kerjasama pada 3 November 1978. Salah satu yang menjadi titik perhatian dalam perjanjian itu adalah kesepakatan bahwa: “Jika salah satu pihak diserang atau diancam dengan serangan, kedua pihak yang menandatangani perjanjian harus segera berkonsultasi satu sama lain dengan maksud untuk menghilangkan ancaman itu, dan akan mengambil tindakan yang sesuai serta langkah-langkah efektif untuk menjaga keamanan negara.”
Surat kabar Washington Post edisi 4 November 1978 mewartakan bahwa kerjasama ini adalah upaya untuk mengikat hubungan kedua negara dalam melawan musuh bebuyutan: Cina.
Editor: Irfan Teguh