tirto.id - Kekacauan. Itulah kata yang digunakan James Fenton untuk mendeskripsikan apa yang terjadi di Saigon pada Rabu, 30 April 1975, tepat hari ini 44 tahun lalu. Ia melihat sejumlah truk yang baru saja melintasinya berbalik arah kembali ke kota. Tidak ada seorang pun di ibu kota Vietnam Selatan itu yang tahu harus pergi ke mana.
Pada saat bersamaan, Fenton, koresponden Washington Post terakhir yang masih bertahan di Saigon kala itu, mendengar suara tembakan di persimpangan jalan di dekat ia berada. Ia bersama Brian Barron dari BBC merasa takut, apalagi mereka telah kehilangan mobil.
Beruntung ada seorang pengemudi taksi yang menawarkan untuk mengantar mereka kembali ke tengah kota, kendati dengan tarif yang melambung. Fenton tidak membuang waktu untuk menyetujuinya.
Beberapa waktu setelahnya, ketika ia mencoba menuliskan peristiwa yang baru saja ia alami di kantor Reuters, Barron tiba-tiba masuk dan tampak kebingungan. “Aku tidak tahu apa yang terjadi,” tuturnya seperti dilansir Fenton dalam reportase panjang “The Fall of Saigon” yang dimuat di Granta Book of Reportage (1998: 98). “Aku baru saja melihat sebuah tank dengan bendera National Liberation Front.”
Fenton segera melompat dan menuju pintu keluar kantor. Tiba di luar, ia melihat ada sebuah tank. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera berlari mengejarnya. Setelah negosiasi intens lewat bahasa tubuh dengan prajurit Viet Cong di tank itu, ia diizinkan ikut di bagian belakang tank. Posisi tank sudah berada di jalan menuju pintu istana presiden Vietnam Selatan.
Tank itu kemudian mulai mempercepat lajunya dan menghantam sisi kiri pintu gerbang istana. Serpihan besi bertebaran di udara, sayang pintu istana gagal roboh sepenuhnya.
Tank kemudian mundur, sementara seorang pria dengan senyum yang gugup membuka bagian tengah pintu istana. Nantinya Fenton baru menyadari bahwa tank yang ia naiki itu memang ditujukan untuk menabrak jatuh pintu gerbang istana. Jurnalis Martin Woollacott dalam laporannya di Guardian menuliskan bahwa ia melihat—tidak jauh dari lokasi tank itu berada—betapa Fenton gembira sekaligus gugup ketika berada di atas tank.
Pada saat bersamaan, Wollacott melihat serombongan serdadu yang disebut "bo doi" (foot soldier) masuk ke dalam istana. Raut wajah mereka tampak lega—seolah-olah mengatakan bahwa akhirnya “perang telah berakhir, mereka tidak mati dan telah memainkan peran dalam kemenangan besar.”
Istana itu sendiri, sebut Woollacott, tampak lengang. Saat itu Jenderal Duong Van Minh lah yang menjabat presiden Vietnam Selatan setelah presiden-presiden sebelumnya, termasuk Nguyen Van Thieu, lari ke Taiwan. Kepada sejumlah pejabat Vietnam Utara yang pertama masuk ke dalam istana, Minh mengatakan bahwa ia siap untuk mengalihkan kekuasaan.
Para pejabat Vietnam Utara hanya menjawab singkat: “Anda tidak dapat menyerahkan sesuatu yang tidak Anda miliki.”
Jenderal berbadan tinggi besar yang dijuluki "Big Minh" itu akhirnya harus menyerah setelah hanya dua hari menjabat presiden Vietnam Selatan.
Ketakutan jelas hadir di Saigon. Banyak orang takut Viet Cong dan pasukan Vietnam Utara akan membalas dendam, atau setidaknya mendiskriminasi mereka. “Ketakutan terhadap Vietcong telah membuat Saigon kehilangan nyalinya,” sebut salah seorang reporter, masih dari Guardian.
Minh sebelumnya telah memerintahkan militer untuk tidak memberikan perlawanan sehingga Saigon terhindar dari banjir darah. Woollacott mengatakan korban masih banyak berjatuhan di kedua pihak, namun perang memang telah berhenti di perbatasan kota Saigon. Ketakutan di pusat kota muncul, boleh jadi, lebih disebabkan tidak berjalannya penegakan hukum dan banyaknya penjarah.
Kekalahan yang Sudah Terprediksi
Saigon dan Vietnam Selatan memang seolah-olah tinggal menunggu waktu. Beberapa tahun sebelum Viet Cong membebaskan Saigon, Amerika Serikat memutuskan untuk "melepas" Saigon dan Vietnam Selatan.
Sejak Perjanjian Damai Paris disepakati pada Januari 1973, AS berjanji untuk mengakhiri keterlibatan militer di Vietnam. Presiden AS Richard Nixon dan menteri luar negerinya, Henry Kissinger, masih dari Guardian, memutuskan untuk menarik pasukan AS dari negara itu karena secara politis kebijakan perang di Vietnam sudah tidak dapat diteruskan lagi.
Keduanya tahu bahwa dengan langkah ini kemungkinan Vietnam Utara memenangkan perang menjadi terbuka lebar. Kendati demikian, Kissinger mengatakan bahwa ia ingin agar jatuhnya Vietnam Selatan memiliki "jeda waktu yang cukup". Bantuan masih diberikan kepada Vietnam Selatan dengan harapan agar mereka masih memberikan perlawanan berarti kendati prajurit-prajurit AS sudah ditarik mundur. Tujuannya? Apalagi kalau bukan untuk menyelamatkan muka AS di dunia internasional.
Seiring dengan itu, suplai senjata dan alat-alat tempur lainnya ke Vietnam Selatan mulai berkurang. Dengan keadaan macam itu, Vietnam Selatan terus-menerus diserbu dari berbagai arah. Vietnam Utara tidak mengendurkan serangannya.
Presiden Thieu sendiri juga kehilangan banyak dukungan di dalam negeri, termasuk dari partai-partai Katolik, kelompok-kelompok Buddha, dan kelompok yang ia sebut sebagai “Kekuatan Ketiga” (Third Forces).
Pada Agustus 1974 Nixon mengundurkan diri dari jabatan presiden. Di saat yang hampir bersamaan, kongres memotong bantuan ekonomi dan militer ke Vietnam Selatan sebesar 30 persen. Masih dari Guardian, Mayor Jenderal John E. Murray menuliskan bahwa Vietnam Selatan sudah dipastikan akan kalah. Murray kala itu memang bertugas mengatur suplai senjata kepada tentara Vietnam Selatan, The Republic of Vietnam Armed Forces (RVNAF).
Vietnam Utara, di sisi lain, memiliki kekhawatirannya sendiri. Seiring dengan Perjanjian Paris, Rusia dan Cina juga memotong suplai senjata kepada mereka. Di mata Woollacott, mengutip George J. Veith dalam buku Black April, Hanoi kala itu juga merasa bahwa mereka hanya memiliki kemungkinan menang yang tipis.
Pada awal 1975, seperti dilansir Independent, perlawanan Vietnam Selatan mendadak runtuh. Vietnam Utara berhasil merebut kota Hue, yang pernah menjadi ibu kota Kekaisaran Nguyen, pada 26 Maret. Kota Da Nang menyusul pada 29 Maret hampir tanpa perlawanan. Pada 21 April Presiden Thieu mengundurkan diri. Wakil Presiden Tran Van Huong kemudian menggantikannya, kendati hanya sepekan, sebelum akhirnya juga mengundurkan diri dan digantikan Minh.
Tuduhan AS dan sekutunya bahwa akan ada efek domino penyebaran komunis di Asia Tenggara tidak terbukti. Fenton menuliskan, pun demikian dengan tuduhan-tuduhan miring akan pemaksaan dan aksi kekerasan yang akan terjadi ketika Viet Cong menguasai Saigon.
“Bagi saya kelihatan jelas, dan sangat ironis, bahwa semua pembicaraan tentang apa yang akan dilakukan orang Vietnam Utara ketika—jika—mereka mengambilalih Saigon, semuanya terbukti salah,” tulisnya. “Saya tak pernah berpikir bahwa Saigon telah dibebaskan dengan cara yang cepat [...]. Perdamaian, sedikit banyak, telah datang.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan