tirto.id - Afghanistan kembali jatuh ke pangkuan Taliban. Kelompok militan Islamis ini hanya membutuhkan waktu 10 hari untuk menguasai 26 dari 34 ibu kota provinsi dan berhasil berlenggang masuk istana presiden di Kabul, Minggu 15 Agustus 2021, tak lama setelah Presiden Ashraf Ghani kabur ke luar negeri. Kemampuan mereka bergerak cepat tak disangka siapa pun. Intelijen Amerika Serikat (AS) bahkan sebelumnya memperkirakan butuh waktu tiga bulan bagi Taliban mengambil alih seluruh negeri.
Seiring ini semua terjadi, rakyat menyemut di bandara Kabul mencoba menyelamatkan diri--meski tak tahu hendak ke mana. Mereka takut Taliban bakal kembali menggerus hak-hak sipil, terutama kaum perempuan, sebagaimana pernah terjadi saat berkuasa pada 1996-2001.
Kemenangan Taliban ditanggapi beragam oleh para pemimpin negara dunia. Respons AS barangkali paling disorot karena manuver Taliban ini terjadi ketika militer perlahan pergi setelah berada di sana selama 20 tahun atas nama “perang terhadap teror” pascatragedi 9/11 (rezim Taliban dianggap melindungi pelaku teror, Al-Qaeda). Media besar seperti The Economist dan Washington Post menilai pemerintah AS gagal mempersiapkan strategi yang matang sebelum menarik pasukan. Karenanya mereka juga dianggap turut bertanggung jawab terhadap krisis yang terjadi.
Presiden AS Joe Biden mengatakan kembalinya Taliban membuktikan bahwa pemerintah Afghanistan dan pasukannya—yang dilatih dan dimodali oleh AS dan NATO selama dua—sudah gagal. Meski begitu dia bersikeras penarikan pasukan adalah keputusan tepat, terlepas implementasinya “sulit dan berantakan.”
Sejumlah tokoh Uni Eropa seperti Presiden Parlemen Eropa David Sassoli dan politikus Partai Hijau Jerman Sven Giegold menyerukan pentingnya memberikan perlindungan kepada pengungsi Afghanistan. Namun negara yang selama ini menjadi pintu masuk imigran seperti Yunani khawatir bakal kewalahan. “Kami tidak bisa membiarkan jutaan orang meninggalkan Afghanistan dan datang ke Uni Eropa… dan pastinya tidak melalui Yunani,” ujar Menteri Migrasi Notis Mitarachi.
Di Timur Tengah, Arab Saudi berharap Taliban tetap melindungi rakyat sesuai prinsip Islam, sementara Qatar menyerukan transisi yang damai. Turki tidak terlalu mengkhawatirkan Taliban, bahkan Presiden Recep Erdoğan berkata Juli silam bahwa Taliban seharusnya merasa nyaman berdiskusi dengan Ankara karena “Turki tidak memiliki apa pun yang bertentangan dengan kepercayaan mereka.”
Sementara Rusia, yang secara geopolitik berseberangan dengan AS, menilai positif kehadiran Taliban. Duta Besar Rusia untuk Afghanistan Dmitry Zhirnov menganggap situasi di Kabul “lebih baik” di bawah Taliban dibanding masa Presiden Ghani. Senada, Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov menganggap Kabul jadi “stabil” karena Taliban mulai “memulihkan ketertiban umum.” Terlepas dari itu, Rusia masih menimbang tindak tanduk Taliban sebelum mengakuinya sebagai pemerintah Afghanistan yang sah.
Cina Cepat Ambil Peluang
Dari semua tanggapan tersebut, mungkin Cina-lah yang justru tampak paling bersemangat sekaligus siap. Dua pekan sebelum Kabul dikuasai Taliban, Menlu Cina Wang Yi sudah menyambut petinggi Taliban, Abdul Ghani Baradar, dalam pertemuan di Tianjin, kota pelabuhan dekat Beijing. Melansir situs resmi Kementerian Luar Negeri Cina, Taliban ingin pemerintah Cina “lebih terlibat” dalam proses rekonsiliasi, rekonstruksi, dan pembangunan ekonomi di Afghanistan. Taliban juga dilaporkan akan berusaha menciptakan iklim yang ramah investasi.
Taliban juga berjanji tidak akan membiarkan pihak mana pun memanfaatkan Afghanistan sebagai basis untuk melancarkan serangan terhadap negara-negara tetangga termasuk Cina. Komitmen serupa sudah Taliban utarakan kepada Moskow beberapa pekan sebelumnya.
Wang Yi berharap Taliban betul-betul tegas meredam gerakan teroris di Afghanistan, tak terkecuali organisasi yang didirikan oleh militan Uighur: East Turkestan Islamic Movement (ETIM). Dewan Keamanan PBB memasukkan ETIM dalam daftar grup teroris sejak 2002, namun pemerintah AS di bawah administrasi Donald Trump mencabutnya tahun lalu.
Keseriusan Cina menjalin relasi ditekankan kembali setelah Taliban menguasai Kabul. “Cina menghormati hak rakyat Afghanistan untuk menentukan takdirnya sendiri dan bersedia untuk terus mengembangkan hubungan persahabatan yang ramah dan kooperatif dengan Afghanistan serta memainkan peran konstruktif dalam perdamaian dan rekonstruksi Afghanistan,” ujar Juru Bicara Kemenlu Cina, Hua Chunying, Senin (16/8/2021).
Satu hari kemudian, media corong pemerintah Global Times merilis berita tentang sejumlah bisnis milik perusahaan Cina di Afghanistan yang mangkrak karena ketidakstabilan politik, misalnya BUMN China Metallurgical Group Corporation atau MCC Group. Pada November 2007, perusahaan memenangkan tender hak tambang di Mes Aynak selama 30 tahun meski belum dapat beroperasi. Situs ini, yang letaknya hanya 35 km dari Kabul, diperkirakan menyimpan 5,5 juta ton cadangan tembaga.
Seorang narasumber dari MCC Group menyampaikan kepada Global Times bahwa mereka mempertimbangkan untuk segera memulai lagi proyek “setelah situasi stabil dan ada pengakuan internasional—termasuk pengakuan dari pemerintah Cina terhadap rezim Taliban.” Meskipun hambatan proyek MCC Group kerap dikaitkan dengan konflik bersenjata antara Taliban dan tentara nasional Afghanistan, analis kebijakan energi Mohsin Amin pada 2017 lalu berpendapat proyek tersendat lebih karena Cina dan administrasi Ashraf Ghani belum mencapai kata sepakat terkait poin-poin perubahan di dalam kontrak.
Masih melansir Global Times, proyek besar dari BUMN Cina lain, Petrochina, meliputi kontrak 25 tahun senilai 400 juta dolar AS (sekitar Rp5,7 triliun) untuk mengembangkan ladang minyak di Faryab dan Sar-e Pol. Meski tendernya dimenangkan pada 2011, proyek ini dilaporkan tersendat sampai hari ini. Tahun itu, staf pemerintah Afghanistan menyampaikan kepada Reuters bahwa pemasukan negara dari proyek tersebut diperkirakan bisa mencapai 7 miliar dolar AS (sekitar Rp100 triliun) apabila harga minyak stabil di kisaran 100 dolar AS selama dua dekade ke depan dan cadangan minyak mencapai 87 juta barel sesuai perkiraan.
Ada pula proyek pembangkit listrik batu bara—juga senilai 400 dolar AS—yang baru disepakati pada Mei lalu. Dapat menghasilkan listrik sebesar 300 megawatt, proyek ini diharapkan akan meningkatkan sumber daya listrik sampai 50 persen. Namun, sekali lagi, persiapannya kurang mulus akibat ketidakstabilan politik. Selain proyek belum difinalisasi, sejumlah pekerja Cina dikabarkan sudah pulang kampung.
Langkah Cina yang bergegas membuka babak baru dalam kerja sama strategis dengan Taliban, seperti bisa diduga, ditanggapi dengan waspada, salah satunya oleh Shamaila Khan, direktur bidang strategi Emerging Markets Debt dari AllianceBernstein, perusahaan pengelola aset keuangan yang bermarkas di New York. Menurut Khan, komunitas internasional perlu memberikan tekanan kepada Cina.
“Ini seharusnya jadi inisiatif internasional untuk memastikan, jika ada negara yang setuju mengeksploitasi mineral [di Afghanistan] atas nama Taliban, mereka hanya bisa melakukannya dalam kondisi kemanusiaan yang ketat di mana hak asasi manusia dan hak-hak perempuan dipertahankan dalam situasi tersebut,” ujar Khan kepada stasiun televisi CNBC.
Negara Kaya Mineral
Afghanistan memiliki sumber daya alam melimpah yang bisa menghasilkan kemakmuran bagi rakyat. Mantan diplomat Afghanistan di AS Ahmad Katawazai dalam artikel untuk The Diplomat mengatakan cadangan mineral di Afghanistan diperkirakan bernilai antara 1 sampai 3 triliun dolar AS. Sementara The United States Geological Survey (USGS) memperkirakan Afghanistan memiliki 60 juta ton cadangan tembaga, 2,2 miliar ton bijih besi, dan 1,4 juta ton elemen bumi yang langka atau rare earth elements (REE) termasuk litium—salah satu bahan baku utama alat-alat elektronik dan baterai.
Masih mengutip Katawazai, REE ini dipandang penting untuk keamanan nasional AS oleh Kongres, namun Washington disebut belum punya strategi untuk membangun industri ekstraktif di sana.
Katawazai berpendapat apabila dieksploitasi secara efektif dan disokong dengan kebijakan yang tepat, uang yang didapat dari sumber alam ini bisa menggantikan donor asing yang selama ini jadi tumpuan Afghanistan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dan kelak perdamaian.
Sebagai ekonom Bank Dunia, Presiden Ghani paham betul hal itu. Akan tetapi, kondisi sosial-politik yang karut-marut, dari mulai tantangan dari Taliban hingga masifnya korupsi di pemerintahan sendiri, menghambat administrasinya untuk mereformasi hukum pertambangan.
Sedikitnya ada lebih dari 2.000 situs pertambangan ilegal yang memperkaya penguasa perang lokal (warlords), milisi bersenjata, dan Taliban. Menurut laporan Kongres AS, pertambangan ilegal sudah merugikan Afghanistan sampai 300 juta dolar AS setiap tahun sejak 2001. Bahkan, pada 2016 Global Witness memperkirakan pemasukan dari tambang ilegal yang diterima kelompok-kelompok suku di provinsi kecil Badakhshan sudah menyaingi pemasukan resmi negara dari seluruh sektor sumber daya alam.
Katawazai berharap pemerintah Afghanistan dapat bersekutu dengan AS untuk mengubah hubungan ekonomi yang awalnya berpusat di industri keamanan menjadi kerja sama strategis di sektor pertambangan mineral. Hanya saja, mengingat situasi yang ada, harapan Katawazai mungkin akan sulit terwujud segera.
AS-Cina Pernah Mesra
Di balik permusuhan dan pendekatan berbeda antara Cina dan AS dalam merespons kebangkitan Taliban, kedua belah pihak sebenarnya pernah berada di satu kubu meskipun masing-masing punya motif sendiri.
Semasa Perang Dingin, Cina dan AS pernah kompak mendukung mujahidin, gerakan yang kelak mendorong kemunculan Taliban. Hal ini terjadi tak lama setelah AS-Cina menormalisasi hubungan diplomasi, diikuti dengan invasi Uni Soviet ke Afghanistan pada malam Natal 1979 untuk menyokong pemerintahan komunis di Kabul.
Selain AS dan Cina, masih ada Pakistan, Iran, dan Arab Saudi yang gencar menggelontorkan uang dan senjata untuk mendukung para mujahidin memberantas tentara Soviet.
Sokongan Cina terhadap pejuang mujahidin ini mengejutkan, tulis Bonnie Girard dalam analisis berjudul “How 1980 Laid the Groundwork for China’s Major Foreign Policy Challenges” (2018) di The Diplomat. Pasalnya, pada 1980, kondisi sosial-ekonomi Cina masih kepayahan dampak dari kebijakan Mao Zedong. Lalu, meski revolusi ekonomi pasca-Mao—yang membuka keran pasar seperti negara-negara kapitalis—sudah dimulai, efeknya belum kelihatan.
Waktu itu AS juga menyediakan persenjataan bagi pasukan Cina untuk melawan tentara Uni Soviet maupun tentara komunis Afghanistan. AS bahkan mengangkat Cina sebagai mitra dagang penting.
Kedekatan ini, menurut Girard, berakar dari hancurnya hubungan Cina dan Uni Soviet pada dekade 1950-an meski keduanya sama-sama menganut komunisme.
Selain itu ada pula faktor kegelisahan terbesar Cina dari 1980 sampai hari ini, yaitu keamanan domestik yang terancam oleh situasi di Xinjiang. Kawasan yang sebagian besar ditinggali oleh masyarakat muslim ini sudah bikin Cina waswas karena melahirkan ETIM yang juga mereka sebut sebagai “separatis Uighur”. Girard yakin ini adalah motif mengapa Cina pada 2018 lalu memberikan pelatihan militer untuk tentara nasional Afghanistan untuk melawan gerakan Taliban—sekilas kembali menunjukkan kekompakan Cina dengan AS dan negara-negara NATO.
Sekarang, begitu mendapati Taliban menang, Cina bergegas mengubah strategi dan pendekatan. Alih-alih memusuhi Taliban, kali ini Beijing jadi lebih pragmatis dengan merangkul mereka untuk fokus pada kerja sama strategis.
Editor: Rio Apinino