tirto.id - Suatu hari di bulan Maret 1983, Wakil Komandan Detasemen 81 Antiteror Kapten Prabowo Subianto tampak sibuk. Tanpa sepengetahuan Mayor Luhut Binsar Panjaitan, komandannya, Prabowo memerintahkan satuannya untuk “siaga”.Perintah “siaga” itu terang membuat Luhut kaget.
Menurut perwira operasi dari detasemen yang dipimpinnya, Prabowo membuat rencana untuk mengamankan Letnan Jenderal Benny Moerdani, Letnan Jenderal Sudharmono, Letnan Jenderal Moerdiono, dan Marsekal Madya Ginandjar Kartasasmita. Malam itu Luhut pun tidur di kantor. Segala senjata dan radio dikumpulkan ke kamar kerjanya. Tak lupa, Prabowo pun dipanggil.
“Ada apa, Wo?” tanya Luhut yang kemudian ditarik Prabowo ke luar ruangan.
“Ini bahaya, Bang. Seluruh ruangan kita sudah disadap. Pak Benny mau melakukan coup d’etat,” kata Prabowo.
“Coup d’etat apa?” tanya Luhut.
“Pak Benny sudah memasukkan senjata.”
“Senjata untuk apa?”
“Ada, Bang. Senjata dari anu mau dibawa ke sini untuk persiapan coup d’etat.”
Begitu percakapan Luhut dan Prabowo sebagaimana dicatat Hendro Subroto dalam bukuSintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009, hlm. 451-452). Luhut tahu bahwa Benny Moerdani memang memasukkan senjata. Namun, kekhawatiran Prabowo sebenarnya berlebihan. Senjata-senjata itubukan untuk kudeta, melainkan untuk dikirim ke Pakistan dan kemudian dimasukkan ke Afghanistan.
Senjata itu merupakan bantuan untuk para Mujahidin Afghanistan yang kala itu tengah melawan invasi Uni Sovyet. Senjata untuk Afghanistan itu di antaranya jenis senjata laras panjang SKS buatan Israel dan senapan serbu AK-47 yang terkenal praktis bagi negara miskin. Bagi kaum Mujahidin, AK-47 adalah senjata yang sangat andal untuk bergerilya melawan Sovyet.
“Kami berikan senjata buatan Uni Sovyet itu agar mereka mudah memanfaatkan peluru yang mereka sita dari tentara Uni Sovyet di Afghanistan,” aku Marsekal Muda Teddy Rusdy, seperti dicatat Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016, hlm. 148).
Senjata-senjata itu adalah senjata bekas pakai milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dari Operasi Trikora (pembebasan Irian barat). Banyak senjata Uni Sovyet mangkrak setelah 1965.
“Senjata Rusia banyak tergeletak dan Taliban butuh, ya kami kasih saja,” aku Teddy dalam sebuah wawancara dengan awak majalahTempo (12/10/2014).
Bantuan senjata itu adalah bagian dari operasi intelijen yang digalang Benny Moerdani. Pengiriman pada 1983 itu bukanlah kali pertama. Sebelumnya, sekitar 1981, sudah ada pengiriman senjata dari Indonesia ke Afghanistan. Pada 18 Februari 1981, Benny sendirilah yang pergi ke Islamabad, Pakistan, untuk bertemu kepala intelijen Pakistan.
“Pertemuan itu membahas permintaan pejuang Afghanistan dan intelijen Pakistan untuk penyediaan logistik, obat-obatan, dan persenjataan buat pejuang Afghanistan,” kata Teddy.
Kala itu, Teddy memang ikut mendampingi Benny ke Pakistan. Menurut Direktur E/Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan BAIS ABRI, dalam Thinking Ahead (2009), jumlah senjata yang terkumpul dan siap dikirim ke Afghanistan mencapai 2000 pucuk senapan. Jumlah itu setidaknya cukup untuk mempersenjatai dua batalyon di Afghanistan.
Senjata itu lalu diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusumah. Sebelum diterbangkan, nomor seri senjata-senjata itu dihapus dan dikemas dalam peti-peti berlambang Palang Merah—tentu untuk menyamarkannya sebagai bantuan makanan atau obat-obatan.
Teddy sendirilah yang mengantar bantuan persenjataan tersebut. Semua kegiatan Teddydalam operasi itu dilaporkan kepada Benny lewat saluran khusus intelijen. Pesawat yang pembawa senjata itu tidak melewati India yang kala itu sedang mesra dengan Uni Sovyet. Ia diterbangkan melalui pangkalan militer gabungan Amerika Serikat dan Inggris di Diego Garcia, Kepulauan Chagos, di Samudra Hindia.
Setelah mandarat di Pakistan, peti-peti senjata itu diangkutdengansejumlah truk menuju perbatasan Afghanistan. Operasi intelijen ini tak dikoordinasikan dengan Atase Militer Indonesia untuk Pakistan yang kala itu dijabat oleh Kolonel Kavaleri Harjanto.
Menurut Hendro Subroto, operasi itu dilakukan dalam rangka mencari dana dan memberi peran pada Indonesia dalam “Perjuangan di Asia”. Waktu itu, Indonesia memang menjadi bagian dari Gerakan Non Blok. Namun, operasi intelijen itu menjadi tengara bahwa Indonesia secara tak langsung dan diam-diam mendukung Amerika Serikat yang merupakan saingan Uni Sovyet.
Jadi, konteks Perang Dingin berlaku di sini. Uni Sovyet pada akhirnya memang gagal menduduki Afghanistan. Kegagalan itu tentu menjadi kabar gembira bagi Amerika Serikat.
Tak hanya membantu Afghanistan, Indonesia juga pernah mengirimi senjata AK-47 kepada Presiden Kamboja Lon Nol pada 1970-an. Bantuan itu dikirim dalam rangka memberantas kelompok komunis Khmer Merah di Kamboja. Korps Baret Merah Indonesia bahkan pernah memberi pelatihan pada tentara Kamboja untuk melawan kelompok komunis tersebut.
“Jadi, Pak Benny memainkan peranan itu,” kata Luhut menampik kekhawatiran Probowo. Detasemen 18 Antiteror sempat ribut gara-gara hal itu. Tapi, masalah itu akhirnya diselesaikan secara “kekeluargaan” oleh para petinggi ABRI, termasuk Presiden daripada Soeharto—yang merupakan mertua dari Kapten Prabowo Subianto.
Setelah gegeran itu, Soeharto mengangkat Benny Moerdani menjadi Panglima ABRI. Dia menggantikan Jenderal M. Jusuf.
Prabowo beruntung kasus itu tidak berlarut-larut dan kariernya terus naik. Keributan pada 1983 itu pun segera terlupakan. Kisah operasi pengiriman bantuan senjata ke Afghanistan itu pun tampak hanya sebuah cerita kecil belaka di kalangan ABRI.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi