tirto.id - Sejak Afghanistan diambilalih oleh kelompok Taliban, Departemen Pertahanan AS mengatakan Amerika Serikat telah membawa lebih dari 7.000 orang keluar dari ibu kota Kabul. Sementara Departemen Luar Negeri mengatakan, ribuan orang lagi akan segera naik pesawat untuk meninggalkan negara itu.
Seperti dilaporkan USA Today, setelah protes terjadi di Jalalabad di Afghanistan timur, Taliban menegur dengan sangat keras. Rakyat Afghanistan mendorong penguasa baru untuk mengibarkan bendera nasional dan menandai peringatan 102 tahun kemerdekaan Afghanistan dari jajahan Inggris. Taliban merayakannya, sembari mengatakan kalau mereka telah mengalahkan "kekuatan arogan dunia" di Amerika Serikat.
Afghanistan dikuasai kelompok Taliban tak lama setelah AS menarik pasukannya setelah hampir 20 tahun di sana. Presiden Joe Biden memberikan alasan mengapa dia memilih mempertahankan keputusan itu.
"Tidak ada waktu yang tepat untuk meninggalkan Afghanistan. Lima belas tahun yang lalu akan menjadi masalah, 15 tahun dari sekarang. Pilihan dasarnya adalah, apakah saya akan mengirim putra dan putri Anda ke perang di Afghanistan, untuk selama-lamanya?" Biden mengatakan kepada George Stephanopoulos dalam sebuah wawancara yang disiarkan Kamis pagi di "Good Morning America" ABC.
Dalam wawancara itu, Biden mengatakan kalau pasukan AS masih akan tinggal di Afghanistan setelah 31 Agustus, jika perlu, untuk memastikan semua orang Amerika dievakuasi. "Kami akan tinggal sampai kami mengeluarkan mereka semua," katanya.
Seperti dikutip Indian Express dari Associated Press, Taliban telah mencari dan melacak lawan-lawannya, terutama mereka yang membantu pasukan AS dan NATO di masa lalu, demikian kantor berita AFP melaporkan sambil mengutip dokumen rahasia PBB. Menurut laporan itu, yang ditulis oleh Pusat Analisis Global Norwegia, para militan juga menyaring orang-orang dalam perjalanan ke bandara Kabul.
"Mereka menargetkan keluarga dari mereka yang menolak untuk menyerahkan diri, dan menuntut serta menghukum keluarga mereka 'menurut hukum Syariah'," kata Christian Nellemann, direktur eksekutif kelompok itu, mengatakan kepada AFP. Pernyataan ini terjadi pada hari ketika Presiden AS Joe Biden dijadwalkan berbicara tentang upaya evakuasi di Afghanistan .
Sementara itu, sejak Taliban menguasai ibu kota Kabul pada hari Minggu, sebanyak 12 orang dilaporkan tewas, baik di dalam dan sekitar bandara, demikian laporan Reuters mengutip pejabat Taliban dan NATO. Seorang pejabat NATO juga menyatakan, lebih dari 18.000 orang telah dievakuasi dari bandara Kabul sejak Minggu.
Isi Konferensi Pers Taliban
Taliban sudah membuat konferensi persnya pada Selasa malam waktu setempat, mereka memberikan jaminan kepada warga Afghanistan dan dunia, termasuk mengklaim tidak melakukan serangan balas dendam terhadap siapa pun yang bekerja dengan AS.
Dilaporkan abc.net.au, Taliban melalui juru bicaranya Zabihullah Mujahid mengatakan, mereka akan tidak mengurung hak-hak perempuan, tetapi dengan batas-batas hukum syariah. Konferensi itu dilakukan setelah mereka menguasai Kota Kabul yang menyebabkan ribuan warga Afghanistan berusaha melarikan diri dari negara itu.
Taliban berusaha meyakinkan masyarakat yang khawatir kalau organisasi itu akan kembali membawa hukum dan ketertiban ke Afghanistan seperti dulu. Untuk itu, Taliban berjanji, kengerian akibat aturan sebelumnya tidak akan terulang lagi. "Kami ingin dunia mempercayai kami," kata Mujahid.
Mujahid mengatakan, mereka akan memastikan keamanan semua kedutaan asing dan organisasi bantuan. Ketika ditanya tentang status hak-hak perempuan dan kebebasan pers di bawah Taliban, Mujahid menegaskan, baik perempuan dan media akan dapat berpartisipasi dalam masyarakat sesuai dengan hukum syariah. "Imarah Islam berkomitmen untuk hak-hak perempuan di bawah hukum syariah," katanya.
Asal Usul Taliban dan Sejarahnya di Afghanistan
Dalam sejarahnya, seperti dikutip Aljazeera, perebutan kembali pemerintahan Afghanistan oleh Taliban terjadi setelah 20 tahun mereka dilengserkan dari kekuasaan dalam invasi pimpinan AS. Kelompok bersenjata dilengserkan setelah kejadian serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Meski sudah dipukul mundur, pejuang Taliban masih melakukan banyak serangan terhadap pasukan asing dan Afghanistan dalam 20 tahun terakhir. Sebelum pembentukan kelompok bersenjata pada awal 1990-an, banyak pemimpin Taliban bertempur bersama kelompok Mujahidin Afghanistan melawan pendudukan Soviet pada 1980-an.
Sebagai bagian dari kebijakannya melawan musuh Perang Dingin, Mujahidin menerima senjata dan uang dari Amerika Serikat. Pada saat itu, Soviet mendukung para pemimpin komunis yang melakukan kudeta terhadap presiden pertama Afghanistan Mohammad Daoud Khan pada tahun 1978. Tepat di tahun 1989, Soviet mundur.
Tetapi itu segera menimbulkan kekacauan, pada tahun 1992, terjadi perang saudara besar-besaran dengan komandan Mujahidin yang berjuang untuk kekuasaan dan membagi ibu kota Kabul. Pada awal tahun 1990-an, kelompok bersenjata Taliban muncul sebagai pemain penting, banyak anggotanya pernah belajar di sekolah agama konservatif di Afghanistan dan di seberang perbatasan di Pakistan.
Mereka mendapatkan keuntungan militer dengan cepat dan berhasil mengendalikan Kandahar, kota terbesar setelah Kabul. Mereka pun berjanji kalau kota-kota itu tetap aman. Karena muak dengan sikap para komandan Mujahidin dan pasukan mereka yang dituduh melakukan pelanggaran hak dan kejahatan perang untuk mendapatkan kekuasaan, keberadaan Taliban jadi mendapat sambutan.
Taliban merebut ibu kota pada tahun 1996 dan melengserkan presiden komunis terakhir di negara, Najibullah Ahmadzai. Aljazeera menuliskan, ini menyatakan Afghanistan sebagai emirat Islam dan mulai memaksakan interpretasi ultra-ketat hukum Islam. Tetapi itu hanya diakui tiga negara, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Pakistan.
Kehadiran Taliban mendapat sambutan ketika mereka pertama kali muncul. Popularitas awal ini disebabkan keberhasilan mereka dalam memberantas korupsi, membatasi pelanggaran hukum dan membuat jalan-jalan serta daerah-daerah di bawah kendali mereka aman untuk perdagangan berkembang.
Kendati demikian, Taliban tidak pernah melonggarkan pembatasan yang awalnya diberlakukan, mereka berdalih kalau itu untuk memastikan kalau kejahatan perang saudara tidak terulang lagi. Pembatasan itu juga melarang perempuan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan, kecuali dokter perempuan. Siapa pun yang tidak patuh akan dipenjara atau dipukuli di depan umum.
Di sisi lain, Taliban juga memperkenalkan hukuman sesuai dengan interpretasi ketat mereka terhadap hukum Syariah, seperti eksekusi publik terhadap pembunuh dan pezina yang dihukum, dan amputasi bagi mereka yang terbukti bersalah melakukan pencurian. Selain itu, laki-laki diharuskan menumbuhkan janggut dan perempuan harus mengenakan burka yang menutupi seluruh tubuh.
Taliban juga melarang televisi, musik dan bioskop, dan tidak menyetujui anak perempuan berusia 10 tahun ke atas pergi ke sekolah. Atas tindakan itu, mereka dituduh melakukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan budaya.
Pada tahun 1999, PBB memberikan sanksi terhadap Taliban atas hubungannya dengan al-Alqaeda, yang dipersalahkan atas serangan 9/11 di AS. Dari sana, Amerika Serikat mulai menginvasi Afghanistan pada 7 Oktober 2001 setelah Taliban menolak menyerahkan pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, yang bersembunyi di Afghanistan.
Bin Laden dianggap sebagai dalang di balik serangan paling mematikan di tanah AS. Menjelang invasi AS, kelompok itu meminta pemerintahan Presiden AS George W Bush untuk membuktikan kalau bin Laden berperan dalam serangan 9/11. Mereka juga bernegosiasi dengan Washington, tetapi Bush menolak seluruh permintaan itu.
Dalam beberapa bulan setelah AS dan sekutunya berkampanye atas pengeboman, Taliban digulingkan. Pemerintah sementara pun dibentuk pada Desember 2001 dan dipimpin oleh Hamid Karzai.
Setelah dua puluh tahun dilengserkan pada 2001, Taliban kembali menguasai Afghanistan dan memasuki istana presiden pada Minggu, 15 Agustus 2021 lalu. Kejadian itu juga membuat Presiden Afghanistan Ashraf Ghani melarikan diri ke luar negeri. Belakangan diketahui keberadaannya kini di Uni Emirat Arab.
Editor: Iswara N Raditya