Menuju konten utama

Kasus Boikot H&M, Mengapa Barat Tak Bisa Lepas dari China?

H&M diboikot oleh konsumen China setelah menghentikan pembelian kapas dari Xinjiang, buntut dari laporan tentang kerja paksa.

Kasus Boikot H&M, Mengapa Barat Tak Bisa Lepas dari China?
Logo perusahaan H&M. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Maret 2021, sebanyak 500 toko H&M tiba-tiba menghilang dari peta online Cina. Pencarian toko-toko H&M di Baidu Maps Cina nihil. Didi Chuxing, perusahaan transportasi online terbesar Cina juga tidak memunculkan toko-toko H&M di aplikasinya.

Pada saat yang bersamaan, toko online H&M juga menghilang dari mesin pencari Cina. Di e-commerce utama Cina, Alibaba dan JD-com, nama H&M juga tidak bisa lagi ditemukan. Toko aplikasi alias Appstore Cina juga tidak lagi menampilkan aplikasi H&M.

Di media sosial, muncul seruan untuk mendepak H&M dan merek-merek barat lainnya dari Cina. Stasiun televisi Cina memburamkan logo produk-produk Barat yang muncul di program siaran, mulai dari T-shirt hingga sepatu yang dikenakan oleh para pengisi acara.

Para selebritas dan tokoh yang memberikan pengaruh besar pada konsumen ikut bereaksi dengan memutuskan hubungan dengan merek-merek dari Barat. Sementara Tencent menghapus kostum yang didesain Burberry, yang dikenakan karakter dalam game online-nya yang populer.

Narasi-narasi soal boikot atas produk H&M muncul setelah suhu politik antara Cina dan Barat memanas. Pada 22 Maret, Inggris, Kanada, Uni Eropa, dan Amerika Serikat mengumumkan sanksi terhadap pejabat Beijing, menyusul memanasnya situasi terkait penanganan etnis Uyghur di Xinjiang. Sanksi itu membuat Cina menyandang cap negara pelanggar HAM.

Tak lama setelah itu, di media sosial Cina, bermunculan unggahan pernyataan H&M atas masalah di Xinjiang, yang membuat mereka akhirnya memutuskan untuk menghentikan pembelian kapas dari wilayah tersebut. H&M mengatakan bahwa pihaknya, “Sangat memperhatikan laporan dari organisasi masyarakat sipil dan media, yang memuat tuduhan kerja paksa”.

Pernyataan itu sendiri sebenarnya sudah dilontarkan sejak September 2020. H&M merespons keluarnya laporan soal kerja paksa kepada minoritas Uyghur di Xinjiang.

Pemerintah Cina sebenarnya sudah membantah laporan tersebut. Beijing mengatakan kamp di Xinjiang didirikan untuk memberikan pelatihan vokasi dan melawan ekstremisme.

Unggahan H&M tersebut didistribusikan ulang di platform media sosial Cina, Weibo, sesaat setelah sanksi dijatuhkan kepada Beijing. Di tengah memanasnya kondisi politik, unggahan lama tersebut langsung menyulut kemarahan publik, dan akhirnya berdampak masif terhadap H&M. Dalam hitungan jam, merek-merek asal Barat seperti Nike dan Burberry juga terkena imbas yang sama dengan H&M.

H&M akhirnya mengeluarkan pernyataan dengan menyebut Cina sebagai pasar yang sangat penting. Mereka menyatakan akan tetap menjaga komitmen jangka panjang dengan Cina.

“H&M sudah hadir lebih dari 30 tahun dan telah menjadi saksi perkembangan industri tekstil Cina,” jelas H&M dalam pernyataannya.

Pernyataan itu disampaikan berbarengan dengan rilis laporan keuangan kuartalan. H&M tidak lagi menyebut-nyebut soal masalah Xinjiang. Namun, kemarahan publik masih menyala dengan alasan H&M tidak menyebut soal permintaan maaf.

H&M bukan satu-satunya peritel yang mendapatkan sanksi dari publik Cina karena melawan masalah Xinjiang. Sebagaimana dilaporkan Business Insider, setidaknya ada 11 merek dari AS dan Eropa yang terkena masalah, termasuk Burberry, Nike, dan Adidas.

Nasib Mereka yang Diboikot Cina

Jauh sebelum kasus boikot atas H&M dan merek-merek retail Barat lainnya, ada Lotte yang sudah terlebih dahulu mengalaminya. Dampak aksi boikot konsumen Cina berdampak besar pada Lotte Group, hingga akhirnya pada 2019 lalu, perusahaan asal Korea Selatan itu memutuskan untuk keluar dari pasar Cina. Padahal, Lotte sudah menanamkan investasi hingga 9,6 miliar dolar AS.

Keputusan untuk hengkang dari Cina diambil setelah Lotte gagal memulihkan kondisinya usai boikot massal oleh konsumen Cina. Lotte menjadi target utama setelah terjadi perseteruan antara Cina dan Korea Selatan menyusul peluncuran sistem Terminal High Altitude Area Defence (Thaad) di Lotte Skyhill Country Club di Seongju pada 2017.

Lotte Department Store, salah satu bisnis utama Lotte di Cina menderita kerugian operasional hingga 140 miliar won pada 2016-2018. Menurut laporan keuangan Lotte Mart 2017, kerugian atas operasional di Cina mencapai 268 miliar won. Jika ditambahkan kerugian pada paruh kedua 2016, total jumlahnya mencapai 1 triliun won.

Lotte menyebut boikot atas produk-produk Korea oleh konsumen Cina karena peluncuran sistem Thaad sebagai alasan utama kerugian tersebut.

Senjata Andalan Cina

Kehilangan pasar di Cina memang akan sangat memengaruhi kinerja perusahaan. Cina dengan 1,4 miliar penduduknya merupakan pasar yang potensial. Kontribusi penjualan dari Cina biasanya cukup signifikan. Khusus untuk H&M, Cina merupakan pasar terbesar keempat peretail tersebut, seperti dilansir dari Reuters.

Selain memiliki keunggulan dari sisi jumlah penduduk yang besar, Cina juga diunggulkan dari sisi capaian pertumbuhan ekonomi. Cina tercatat sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Ketangguhan ekonominya teruji, bahkan pada masa pandemi sekarang ini. Di saat negara-negara lain ekonominya terkontraksi akibat pandemi COVID-19, Cina justru tumbuh ekonominya.

Pada 2020, Cina masih mampu tumbuh 2,27%. Ini memang turun jauh dibandingkan tahun 2019 yang mencetak pertumbuhan ekonomi hingga 5,82%, akan tetapi jauh lebih baik jika dibandingkan sebagian besar negara di dunia yang justru mengalami kontraksi ekonomi. Bandingkan juga dengan rival utamanya, Amerika Serikat yang justru mengalami kontraksi ekonomi 2,3% pada 2020.

Bank Dunia mencatat, pertumbuhan ekonomi yang solid sepanjang 2020 itu didorong oleh kesuksesan penanganan pandemi, juga dukungan fiskal dan finansial serta tangguhnya ekspor Cina.

Sejak ekonominya dibuka pada 1978 dan reformasi ekonomi bergulir, pertumbuhan ekonomi Cina memang semakin besar. Data Bank Dunia mencatat, ekonomi Cina rata-rata tumbuh hingga 10 persen setelah 1978. Sejak itu pula, sekitar 800 juta penduduknya sudah keluar dari garis kemiskinan.

Dengan semua capaian pertumbuhan ekonomi, Cina diperkirakan menggeser Amerika Serikat (AS) sebagai negara dengan perekonomian terbesar pada 2028. Ini lebih cepat 5 tahun dari prediksi semula, dengan mempertimbangkan capaian pertumbuhan ekonomi saat pandemi.

Ekonomi Cina yang tumbuh dengan mengesankan membuat investor terus berdatangan, bahkan saat pandemi merebak. Penanaman Modal Asing (PMA) di Cina daratan hingga Februari 2021 mengalami ekspansi hingga 31,5% (yoy) menjadi 176,76 miliar yuan (27,17 miliar dolar), seperti dilansir dari Xinhua.

Cina juga memegang peran penting di sejumlah sektor, salah satunya tekstil. Sepertiga produk tekstil dan pakaian berasal dari Cina. Nilai ekspor produk ini di Cina mencapai 120 miliar dolar AS dan untuk total semua produk mencapai 300 miliar dolar AS. Menurut Badan Pusat Statistik Cina, sebanyak 87 persen total produksi kapas Cina berasal dari Xinjiang. Sebagian besar kapas berkualitas tinggi berasal dari Xinjiang. Tekstil yang diproduksi dari sana akhirnya sampai juga di tangan perusahaan-perusahaan pakaian retail Barat seperti H&M dan Zara.

Infografik Boikot H dan M di China

Infografik Boikot H&M di China. tirto.id/Quita

Cina kini juga menjadi tempat bagi orang-orang kaya di daftar Forbes Rich List. Data terbaru mencatat, 698 milyuner dalam daftar Forbes berasal dari Cina. Angka itu sedikit di bawah AS yang mencatat 724 milyuner. Sebagian besar milyuner baru Cina mendapatkan kekayaannya dari bidang manufaktur dan teknologi.

Cina juga menjadi penyumbang dalam daftar Fortune Global 500. Tiga dari lima besar perusahaan di Fortune 500 berasal dari Cina.Perusahaan dari Cina daratan dan Hong Kong yang masuk dalam daftar Fortune 500 mencapai 124, lebih banyak dari AS yang hanya 121. Jika ditambah perusahaan Taiwan, totalnya mencapai 133.

Pada 1990, saat Fortune Global 500 dibuat, tidak ada satupun perusahaan di Cina yang masuk dalam daftar. Namun, seiring perekonomian yang tumbuh pesat, Cina menjadi penguasa Fortune Global 500.

Ketergantungan dunia terhadap Cina juga semakin tinggi. Kontribusi Cina pada ekspor global terus meningkat dan kini bahkan sudah melebihi level sebelum perang dagang AS-Cina terjadi pada 2018.

Berdasarkan analisis data yang dilakukan Nikkei terhadap 3.800 produk yang dikumpulkan oleh International Trade Center, ditemukan ada 320 produk pada 2019 yang 50 persennya dikuasai Cina di pasar ekspor. Pada 2001, atau saat Cina bergabung dengan WTO, tercatat hanya 61 produk.

Dengan pertimbangan pentingnya pasar Cina itulah, H&M berupaya memperbaiki citranya di mata konsumen Cina. Sayangnya, H&M juga tidak menjelaskan tentang bagaimana cara memenangkan kembali hati konsumen Cina.

Dalam pernyataan terbarunya, H&M tidak lagi mengungkit masalah Xinjiang. Website H&M hmgroup.com bagian “Hak Asasi Manusia” juga sudah tidak lagi mencantumkan tautan pernyataan tentang Xinjiang pada 2020. Namun, pernyataan tersebut masih bisa diakses melalui alamat langsung di web terkait.

Perdana Menteri Swedia Stefan Lofven bahkan turut berkomentar untuk meredam situasi ini. PM Lofven menyebut Cina sebagai negara yang besar dan penting, dan Swedia memiliki hubungan yang baik dengan Beijing. Meski demikian, ia juga menekankan soal pentingnya hak-hak pekerja.

H&M melaporkan rugi sebelum pajak pada periode kuartal pertama yang berlangsung Desember-Februari sebesar 1,39 miliar krona atau 159 juta dolar. Pada periode yang sama tahun sebelumnya H&M masih mampu mencetak laba hingga 2,5 miliar krona. Angka tersebut belum memperhitungkan dampak boikot konsumen Cina.

“Kita sudah melihat merek-merek seperti Nike dan H&M menghadapi kontroversi-kontroversi serupa di masa lalu dan mempertahankan penjualan yang kuat, akan tetapi dalam jangka pendek kami pikir H&M akan menyaksikan dampak negatif pada penjualannya di pasar Cina yang besar dan tumbuh,” jelas analis dari RBC Capital Markets, Richard Chamberlain, seperti dilansir dari Reuters, setelah maraknya boikot atas H&M.

Posisi ekonomi Cina memang sangat penting. Namun, korporasi-korporasi global juga dituntut oleh para konsumennya agar menjalankan praktik bisnis yang etis, memperhatikan HAM dan hak-hak pekerja. H&M dan beberapa perusahaan yang terkena boikot mungkin akan terkena syok dalam jangka pendek. Jika upaya pemulihan berhasil, H&M mungkin bisa bertahan. Jika tidak, H&M harus mengikuti Lotte Group yang sudah terlebih dahulu angkat kaki karena tak kuat menahan kerugian setelah kena aksi boikot.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Bisnis
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Windu Jusuf