Menuju konten utama

Rasialisme di Balik Fobia terhadap MSG

Fobia terhadap MSG yang meluas hingga ke sendi-sendi masyarakat kecil tidak muncul dari ruang kosong. Ada sentimen rasial yang menyelinap di baliknya.

Rasialisme di Balik Fobia terhadap MSG
Ilustrasi MSG. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Aneh tapi nyata. Di tahun 2025, ketika semua informasi yang benar dan akurat semestinya jauh lebih mudah didapatkan, kesesatan masih saja diterima mentah-mentah. Salah satunya tentang monosodium glutamat alias MSG alias vetsin alias micin alias penyedap rasa. Di era modern ini masih saja ada orang percaya bahwa MSG adalah sesuatu yang harus dihindari.

Makanan yang tidak diberi MSG secara otomatis diberi cap lebih sehat. Informasi macam ini masih beredar bebas tanpa kontrol jelas. MSG dianggap sebagai sumber penyakit, bahkan penyebab seseorang menjadi bodoh. Padahal, kandungan kimiawi MSG dapat ditemukan dalam bahan-bahan alami, seperti tomat, jamur, dan keju parmesan.

Lantas, apa yang membuat fobia MSG tidak hanya begitu luas tersebar, tetapi juga acapkali diterima sebagai kebenaran?

Asal Mula Pelarangan MSG

Suatu hari, pada 1968, seorang dokter Tiongkok-Amerika bernama Robert Ho Man Kwok mengirimkan sepucuk surat kepada New England Journal of Medicine. Dalam surat itu, Kwok mendeskripsikan bahwa dirinya mengalami sakit kepala dan mati rasa setelah bersantap di sebuah restoran Tiongkok. Kwok memberikan tiga spekulasi penyebab, antara garam, anggur khusus untuk masakan, atau MSG. Bahan terakhir disebut sejak lama memang umum digunakan untuk menyedapkan masakan-masakan Tiongkok.

Tanpa verifikasi apa pun, New England Journal of Medicine kemudian menerbitkan surat Kwok tersebut pada 1969. Yang kemudian terjadi adalah kehebohan di media massa. Semua publikasi berlomba-lomba memberitakan adanya "Sindrom Restoran Tiongkok". Mereka membingkai MSG sebagai bahan tambahan kimiawi misterius yang menjadi sebab dari berbagai keluhan medis. Masakan-masakan Tiongkok pun dicap terlalu asin, kaya zat aditif, dan tidak sehat.

Masifnya pemberitaan soal "Sindrom Restoran Tiongkok" membangkitkan kembali hantu yang sudah lama tertidur, yakni sentimen rasial orang Amerika Serikat terhadap pendatang dari Tiongkok.

Kebencian rasial AS terhadap Tiongkok bermula dari abad ke-19, manakala banyak sekali imigran Tiongkok datang ke AS sebagai buruh kasar yang bersedia dibayar murah. Mereka pun dianggap mencuri jatah pekerjaan orang AS. Sentimen rasial itu akhirnya berbuah ketetapan Chinese Exclusion Act alias pembatasan imigrasi terhadap orang Tiongkok pada 1882. Undang-undang ini pun cukup lama bertahan, sampai 1943.

Ketika New England Journal of Medicine menerbitkan surat Kwok yang kemudian dilabeli "Sindrom Restoran Tiongkok", sentimen anti-Tiongkok pun bangkit lagi. Kali ini, spesifik restoran-restoran Tiongkok yang menjadi sasaran tembaknya.

Celakanya lagi, setelah surat Kwok diterbitkan di jurnal kesehatan, banyak bermunculan riset yang dilakukan dengan ngawur. Amanda Li, ahli nutrisi dari University of Washington, mengungkapkan bahwa riset-riset sesat itu menggunakan dosis MSG 5 sampai 30 kali lebih banyak dibandingkan dosis yang biasa digunakan untuk memasak.

"... Mereka juga menggunakan metode seperti memasukkan MSG lewat tabung yang diarahkan langsung ke perut atau lewat suntikan, alih-alih menggunakan rute yang normal, yaitu lewat mulut," tutur Li, disitat dari Right as Rain by UW Medicine.

Hasil riset-riset problematik itu lantas dijadikan validasi atas sentimen rasial dan penilaian tak berdasar yang diterbitkan oleh New England Journal of Medicine. Kebohongan dan kesesatan ini terus menerus direplikasi lewat berbagai jurnal, riset, bahkan publikasi populer, termasuk media massa. Alhasil, "Sindrom Restoran Tiongkok" pun perlahan-lahan diterima sebagai sebuah kebenaran.

Ilustrasi MSG

Ilustrasi MSG. FOTO/iStockphoto

Mengabadi meski Kebenarannya Tak Terbukti

Klaim bahwa MSG berbahaya sebetulnya sudah cukup lama dibantah dunia medis. Secara kimiawi, MSG adalah garam sodium dari asam glutamat, yaitu asam amino yang secara natural terdapat dalam berbagai bahan makanan alami, seperti tomat, keju, rumput laut, bahkan air susu ibu (ASI).

MSG menjadi sebuah terobosan dalam dunia kuliner ketika seorang ahli kimia Jepang, Kikunae Ikeda, berhasil mengisolasinya untuk pertama kali pada 1908. Itu pula yang menjadi titik mula lahirnya jenama MSG siap pakai bernama Ajinomoto (esensi rasa).

Setelah surat Kwok dimuat New England Journal of Medicine, yang lantas disusul dengan berbagai hasil riset yang dilakukan secara sembrono, komunitas medis berusaha mencari tahu apakah memang MSG itu berbahaya bagi manusia. Hasilnya, berbagai lembaga kesehatan yang kredibel tidak pernah menemukan bukti bahaya MSG bagi masyarakat luas.

Memang benar bahwa ada sebagian orang yang cenderung lebih sensitif terhadap MSG. Akan tetapi, kasus seperti itu juga terjadi pada zat-zat lainnya seperti kafein atau laktosa. Dengan demikian, MSG pun dianggap aman untuk dikonsumsi masyarakat luas. Sialnya, kendati sudah terbukti aman secara medis pun, mitos mengenai MSG tetap bertahan.

Ironisnya, mitos bahwa MSG berbahaya juga sangat populer di Asia, termasuk Indonesia. Ini semua, tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari cara masyarakat menempatkan "standar Barat" di atas pedestal sebagai standar tertinggi yang tidak mungkin salah—walaupun sebenarnya ilmuwan barat bona fide sendiri sudah mematahkan mitos tersebut.

Perusahaan-perusahaan boga menjadi aktor utama di balik penyebaran fobia MSG ke Asia. Karena ingin menarik minat konsumen kelas atas yang mengklaim dirinya peduli kesehatan, mereka mengekor pada standar Barat yang sebenarnya tidak berdasar. Mereka berlomba-lomba menempatkan label "No MSG" atau "Tanpa MSG" di kemasannya untuk menimbulkan kesan "lebih sehat".

Kampanye yang dilakukan perusahaan boga itu juga, sialnya, dibarengi dengan ketidaktahuan konsumen. Obsesi dengan standar Barat membuat para konsumen ini turut menolak keberadaan MSG sebagai simbol kelas dan modernitas. Asia, tempat MSG diciptakan, pada akhirnya justru ikut-ikutan tidak menerima penyedap masakan ini.

Berjibaku Meluruskan Hoaks

Meski sentimen negatif terhadap MSG masih kuat, makin lama makin banyak upaya meluruskan miskonsepsi terkait senyawa kimia satu ini. Popularitas Nigel Ng dengan karakter Uncle Roger-nya, misalnya, membuat citra MSG tak lagi semenyeramkan dulu di dunia Barat. Ng sering kali mengkritik cara koki Barat memasak masakan Asia. Tak jarang ia menyebut bahwa masakan khas Asia tidak akan terasa otentik tanpa MSG.

Ilustrasi MSG

Ilustrasi MSG. FOTO/iStockphoto

Ajinomoto, selaku produsen MSG pertama di dunia, juga telah menjalankan kampanye untuk mengedukasi masyarakat. Salah satu cara kontroversial dan unik yang pernah mereka lakukan adalah menggaungkan kampanye #CancelPizza melalui akun TikTok @CancelPizza. Mereka mengunggah video khas teori konspirasi yang, sebenarnya, ingin menunjukkan bahwa di dalam pizza juga terdapat kandungan MSG lewat tomat, jamur, serta kejunya.

Dengan menunjukkan kandungan MSG dalam pizza, Ajinomoto secara khusus menarget audiens Barat yang tidak pernah menunjukkan keberatannya atas pizza, tetapi secara khusus menghindari masakan Tiongkok dengan alasan "ada MSG-nya". Setelah video-video tersebut mendapatkan traksi cukup tinggi, barulah jenama Ajinomoto ditampilkan sebagai "aktor intelektual" dari kampanye ini.

Selain itu, media-media besar Barat seperti BBC, misalnya, sudah mengakui bahwa ketakutan terhadap MSG adalah hal tak berdasar yang dibumbui oleh sentimen rasial. Ini adalah hal penting mengingat, biar bagaimanapun, media-media arus utama seperti mereka memiliki jangkauan sangat luas.

Perlahan tapi pasti, efek kampanye gelap terhadap MSG sudah mulai bisa disembuhkan. Memang upaya pembersihan nama vetsin tidak akan berlangsung dengan cepat. Terlebih, sampai sekarang pun masih banyak restoran yang dengan bangga mengusung label "tanpa MSG". Tapi yang jelas, kebenaran sudah terungkap dan tinggal tunggu waktu saja sampai ini bisa diterima kembali secara universal.

Baca juga artikel terkait MSG atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin