tirto.id - Saya ingin memulai tulisan ini dengan pengakuan: saya sangat tidak menyukai saus cabai botolan. Apapun merknya, apapun variannya. Dan dengan segala hormat kepada penyuka saus cabai dalam kemasan, tulisan ini tidak akan membahas saus cabai sampai selesai.
Saya tahu, de gustibus non est disputandum, soal selera tidak dapat diperdebatkan. Tapi dalam hal satu ini, saya dengan senang hati berdebat. Bagi saya, sambal adalah sambal. Ia harus pedas, lebih yahud kalau berminyak. Tekstur cabai dan aroma bawang, keduanya harus terasa, entah dengan diulek atau dirajang. Rawit dan bawang merah berdosa hukumnya jika dipisahkan, sebab mereka sudah ditakdirkan satu sama lain. Komponen lain seperti garam, gula, minyak, bahkan sang terasi yang beraroma seronok bisa ditakar, dikurangi, atau ditambah, tapi rawit dan bawang merah tidak boleh diutak-atik. Keduanya harus hadir, atau jangan nyambel sama sekali.
Astaga, apakah dengan paragraf di atas, saya sudah resmi dibaiat sebagai fundamentalis sambal?
Sambal yang sering hadir di meja makan rumah kami adalah sambal bajak, yang resepnya menjadi rahasia di kalangan perempuan di rumah kami: nenek, ibu, bude, dan tante saya. Belakangan, saya jadi laki-laki pertama dalam tiga generasi yang berhasil mengintip dasar-dasarnya. Takaran cabai keriting, rawit, dan bawang merah diatur dalam perbandingan 2:3:4. Enam buah rawit bersanding dengan delapan cabai keriting, tambah dua belas siung bawang merah. Untuk menjinakkan, potong setengah buah tomat dan siapkan setengah sisir gula merah. Garam ditakar sesuai perasaan—atau yang sering disebut oleh Uncle Roger, “Sampai arwah moyangmu bilang berhenti.”
Cabai dan bawang merah dirajang kasar dan digoreng sampai layu, bukan sampai matang. Tomat direbus 3 menit. Jika ada terasi bagus, ia wajib dibakar dulu sampai wangi seronok itu keluar dan menjajah dapur. Satukan semuanya di atas cobek batu, dan biarkan tangan dan ulekan menunaikan tugasnya. Secara default, pedoman nenek sama dengan yang dipakai ibu, bude, dan tante saya saat nyambel: ulek sampai saraf tepi pergelangan tangan terasa kesemutan dan jari merasa terbakar atau lomboken dalam bahasa Jawa.
Saat tangan sudah kesemutan, tambah garam, ulek kembali, dan koreksi rasa. Jika citarasanya pas, bawalah cobek ke meja makan, jangan memindah sambal ke piring.
“Ada sugesti di kepala kalau mengambil sambal dari cobek,” tukas ibu suatu kali. “Mengambil dari cobek membuat alam bawah sadar menyiapkan lidah untuk dibakar rasa pedas, jadi lidah lebih kuat,” lanjut ibu berteori.
Saya manggut-manggut membiarkan “teori” itu masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Apa boleh buat, sambal di depan mata mengalihkan semua perhatian.
Tidak heran, seorang penulis kuliner pernah menjuduli bukunya Selama Ada Sambal, Hidup Akan Baik-Baik Saja (2021). Bagaimana tidak baik. Saya bahkan pernah berandai-andai, kalau Churchill atau Roosevelt dulu diajari cara nyambel yang enak, lalu mengundang Hitler untuk mencicipinya dalam sebuah jamuan di dacha milik Stalin, bukankah Perang Dunia II niscaya bisa selesai lebih cepat?
Rasa Pedas Sepanjang Masa
Selain sambal yang hadir secara reguler di meja makan, keluarga saya adalah keluarga Indonesia umumnya, yang gemar makanan pedas dan asin-gurih, dengan jurus keahlian masing-masing yang dimiliki para puan di keluarga. Ibu saya jagonya masak balado, sedikitnya sekali seminggu. Nenek yang pernah mukim di Sawahlunto, piawai memasak dendeng batokok.
Bude saya, yang menikah dengan pria asal Kulonprogo, menguasai tiga kuliner paling pedas dalam semesta lidah Jawa: ayam penyet, oseng mercon, dan jangan lombok. Adapun tante saya yang hanya turun dapur sekali-sekali, selalu menyetok acar rawit untuk pendamping berbagai kudapan, mulai keripik sampai gorengan.
Suatu kali saya berkelakar dengan paman, apa jadinya jika empat puan itu masuk dapur bersama, lalu memasak keahlian masakan mereka masing-masing?
“Sebelum mereka masuk dapur, cowok-cowok harus rundingan, nanti siapa yang masuk kakus duluan," ujarnya.
Sungguh jokes bapak-bapak. Tapi kakek menanggapinya dengan langkah stratejik: setiap acara keluarga, hanya satu puan yang akan turun dapur, memasak satu sajian bercitarasa pedas dan dua cobek sambal. Untuk disantap kurang lebih 12 orang, kehadiran citarasa pedas selalu menyemarakkan meja.
Pengalaman keluarga saya berinteraksi dengan rasa pedas selama sedikitnya tiga generasi hanyalah sebagian kecil dari sejarah panjang penduduk arsipelago Indonesia yang menikmati citarasa pedas, konon sejak zaman penjelajahan samudera, khususnya sejak cabai masuk dalam khazanah bumbu dapur dan menyengat lidah-lidah yang terbakar, tapi bergoyang nikmat di saat yang sama.
“Portugis sendiri mendapat cabai dari Spanyol yang menemukan cabai saat menaklukkan Amerika Selatan,” catat Andreas Maryoto dalam Jejak Kuliner: Dari Dapur hingga Meja Makan Indonesia (2021, hal. 78).
Olahan masakan pedas, diyakini juga berasal dari budaya kuliner India yang mahir mengolah hidangan bersantan dan kaya bumbu seperti kari, mie Aceh, dan martabak. Belakangan, penggunaan cabai menjadi semakin lazim, variasi sambal pun berkembang menurut ciri lokalitas.
“Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki sambal khas karena selera lidah dari masyarakat masing-masing daerah juga berbeda. Orang Minang sambalnya cenderung sangat pedas dan asin, berbeda dengan orang Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta, sambalnya biasanya pedas, tetapi tidak terlalu asin, dan ada rasa manisnya,” tulis Murdijati Gardjito dalam Bumbu, Penyedap, dan Penyerta Masakan Indonesia (2013, hal. 128).
Tak hanya berinteraksi dengan selera penduduk tempatan, citarasa pedas dalam masakan terbawa sampai ke meja makan orang Eropa dalam upacara rijstaffel. Sambal, sebagai salah satu hidangan yang turut dihidangkan, bahkan sampai dideskripsikan orang Eropa sebagai “pencuci mulut yang rasanya panas” (de heete toespijzen).
“Sebutan ini mungkin dilandasi fakta bahwa hidangan pribumi pada dasarnya mempunyai sifat sajian dingin (koud eten). Sifat ‘sajian dingin’ pada masakan-masakan pribumi memang beralasan mengingat sudah ada nasi yang panas dan sambal yang rasanya pedas, serta kondisi Pulau Jawa yang beriklim tropis,” ungkap Fadly Rahman dalam Rijstaffel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870–1942 (2011, hal. 74).
Tak heran jika cara mengolah beberapa sambal bahkan juga tercantum di antara 1.381 resep dalam buku masak Oost-Indisch kookboek karya Catenius van der Meijden, yang terbit pertama kali pada 1922.
Tiga Jawaban untuk Mengapa
Seiring berjalannya waktu, makanan bercitarasa pedas tidak hanya terkhusus pada hidangan utama, melainkan juga makanan ringan dan kudapan. Di kantin-kantin SD, mie lidi bertabur bubuk cabai yang pedasnya bisa memutus kerongkongan jika tersedak, mudah didapatkan. Kedai seblak sudah bertaburan lebih banyak dari cendawan di musim hujan.
Belum lagi gerai mie pedas, tahu pedas, keripik pedas, hingga tren mukbang mie goreng instan asal Korea berwarna merah membara semangkuk munjung—menjadi tanda betapa muskil memisahkan orang Indonesia dari masakan bercita rasa pedas. Soal terakhir ini, tak sekali saya jumpai mukbang mie goreng pedas menjadi taruhan, umumnya untuk sebuah challenge yang menjadi konten media sosial.
“Sekali tepuk, bisa dapat dua posting sekaligus,” tukas seorang konten kreator dari jurusan sebelah. Dengan begitu, di tangan para influencer, makanan pedas tidak hanya memuaskan lidah, tapi juga untuk menambah isi rekening.
Saat menulis artikel ini, saya random bertanya kepada sejumlah teman, mengapa orang Indonesia menyukai makanan pedas, padahal sinar matahari turah-turah melimpah di atas kepala. Tak seperti Provinsi Szechuan, negeri asal kuah Mala yang merah menantang dan pedas itu, yang sehari-hari bertemperatur 16 derajat Celcius, dan karenanya mengharuskan banyak masakan mereka ditaburi peppercorn yang bisa menyengat lidah dan memberi rasa hangat saat disantap. Jawaban yang saya terima, sama random-nya dengan kesempatan saya mengajukan pertanyaan.
Seorang teman yang tengah berkutat mengejar deadline makalah menjawab serius sambil setengah berteori, “Zaman penjajahan dulu, orang Indonesia makan sisa-sisa dari dapur Belanda, jadi supaya enak, harus dipedesin, jadilah sambal.”
Lain jawaban ini dengan seorang kakak tingkat yang asyik bermain gim, “Karena pedas itu lambang keberanian. Orang Indonesia, kapan pernah takut? Itu karena tiap hari kita makan sambel.” Responden ini memberi imbuhan pula, “Lagian, siapa bilang makanan panas harus dimakan cuaca dingin?”
Saya skak mat.
Adapun jawaban terakhir yang saya dapat membuat saya berhenti mencari jawaban lain. Dengan pertanyaan sesederhana, “Mengapa orang Indonesia suka makanan pedas?”, responden ketiga saya menjawab ringan, hampir tanpa melepas pandangan dari laptopnya,
“Karena kalau mau yang manis, lihat aku aja.”
Editor: Nuran Wibisono