Menuju konten utama
Obituari

Raminten, Ia yang Merangkul Sesama dan Nguri-uri Kabudayan Jawa

Seniman dan pebisnis Hamzah Sulaiman alias Raminten telah pergi. Namun kecintaannya terhadap budaya dan sesama menjadi warisannya yang tak ternilai.

Raminten, Ia yang Merangkul Sesama dan Nguri-uri Kabudayan Jawa
Hamzah Sulaiman. instagram/Hamzah Sulaiman

tirto.id - Lahir pada 7 Januari 1950, Hamzah Sulaiman menutup usianya pada 23 April 2025. Sosoknya menginspirasi banyak kalangan. Selain beken sebagai pebisnis andal, dia juga mendedikasikan hidupnya untuk seni dan budaya.

Publik mengenalnya sebagai Raminten, nama panggung dari karakter perempuan Jawa penjaja jamu yang ia perankan lewat ketoprak televisi lokal Pengkolan yang tayang di Jogja TV.

Dialah yang menakhodai Hamzah dan Raminten Group, kelompok bisnis yang menggeluti berbagai sektor: batik, rumah makan, seni pertunjukan, dan cendera mata primadona khas Yogyakarta. Usahanya tersebar di Malioboro, Kotabaru, dan Sleman.

Namun, keistimewaan Hamzah alias Raminten tidak terletak pada kepiawaiannya memutar roda bisnis. Dia menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dalam setiap aktivisme bisnisnya.

Satu slogan yang kerap diutarakannya, migunani tumpraping liyan (membawa manfaat bagi orang lain), yang kemudian diadaptasi menjadi judul biografi tentang dirinya, The Legend of Raminten: Kerja Keras, Welas Asih, Pengabdian; Migunani Tumpraping Liyan (2023) yang ditulis oleh Nungki Puspitasari.

Bisnis yang Menggurita di Yogyakarta

Barangkali etos dan keuletan Raminten dalam berbisnis diperoleh lantaran dia keturunan Tionghoa. Orang tuanya merupakan pendiri Mirota Group, perusahaan yang bergerak di bidang retail, bakery, juga pabrik susu.

"...Sisi maskulin dari budaya keluarga Tionghoa dalam kehidupan Raminten yang membawa pada kesuksesannya sebagai seorang pengusaha," tulis Nungki Puspitasari (hlm. 34).

Meskipun seorang keturunan Tionghoa, Hamzah kecil sudah gandrung budaya Jawa. Ibunya mendukung hobi menarinya dengan menemaninya kursus menari Jawa gaya Solo di pendopo belakang rumah Wali Kota Yogyakarta masa itu.

Dia dan saudara-saudaranya sudah mahir berbahasa Jawa kromo sebab aktivitasnya yang kerap bersinggungan dengan abdi dalem keraton. Ibunya berteman akrab dengan istri-istri Hamengkubuwana IX.

Hobinya itu membawa Raminten kepada aktivisme budaya yang lebih luas. Dia turut aktif memainkan ketoprak serta menari Wayang Wong. Juga kerap memerankan peran wanara, pasukan Hanoman dalam lakon Anoman Obong.

Sampai akhirnya dia ditawari mengisi karakter Raminten di acara Pengkolan garapan TV Jogja. Nama itu berarti ora minten (tidak seberapa) yang bermakna manusia dengan segala kesederhanaannya.

Dari situlah dia tebesit membuka usaha The House of Raminten di Kotabaru pada 26 Desember 2008. Konsep arsitekturnya disandarkan pada gaya khas hunian klasik Jawa. Moda pelayanan dan suasananya pun mengikuti. Karyawan serta karyawatinya berpakaian adat Jawa. Perempuan memakai kebaya dengan bawahan jarik yang diikat dengan kemben serta rambut digelung kecil. Sementara laki-laki mengenakan blangkon dan pangsi hitam dengan bawahan jarik yang dililit stagen.

Awalnya, bisnis itu hanya menjajakan aneka rupa jamu khas Yogyakarta. Namun seiring berkembang, dia turut menambahkan menu makanan sego kucing yang dibanderol dengan harga murah, Rp1.000 sebungkus. Bisnis itu kian ramai dan menjelma salah satu restoran terbesar di Yogyakarta.

Hamzah Sulaiman

Hamzah Sulaiman. instagram/Hamzah batik

Sebelum sukses dengan The House of Raminten, Hamzah mulanya berkeinginan menjadi desainer. Dia sempat berkenalan dengan pemilik butik Danar Hadi dalam suatu acara fesyen di Jakarta.

Raminten bahkan menyempatkan mampir ke rumah Danar Hadi sembari belanja bahan kostum di Solo. Namun pertemuannya dengan pemilik butik terkenal itu tak membawanya mewujudkan impiannya. Danar Hadi justru menganjurkannya meneruskan bisnis Mirota Group dengan membuka gerai batik dan Danar Hadi siap menyuplai produknya.

Akhirnya Raminten membuka lapak kecil di samping toko kelontong milik ayahnya, tetapi saking pesatnya permintaan batik kepadanya, dia akhirnya menyewa lahan baru di lokasi yang kini menjadi Hamzah Batik Malioboro.

Dia juga mengembangkan bisnis orang tuanya dan membuka Mirota Batik pada Juni 1979. Sederet bisnis kerajinan dan oleh-oleh khas Yogyakarta juga sukses ia jalankan.

Inklusivitas Budaya

Sekalipun Raminten lihai mengelola bisnis, dia bukanlah lulusan mahasiswa bisnis maupun manajemen. Dia pernah tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Biologi di Universitas Gadjah Mada (UGM), sementara ayahnya berharap buah hatinya berprofesi sebagai dokter. Tetapi kuliahnya tak dirampungkan. Dia lantas kuliah lagi Universitas Sanata Dharma. Kali ini jurusan yang diambil berbeda, yakni Bahasa Inggris dan memperoleh gelar BA (sarjana muda).

Gelar itu dia manfaatkan untuk mendaftar sebagai buruh di kapal pesiar pada 1971. Dia bekerja selama 7 bulan di divisi lounge and deck sea world yang sering melaut lintas benua. Hamzah muda memang bercita-cita bisa tinggal di luar negeri. Saat sponsor bekerja di Amerika Serikat ditawarkan padanya, dia begitu senang dan tak menolak. Dia resign dan bekerja sebagai perawat lansia selama 3 tahun.

Pengalamannya di AS itulah yang mengeratkan pertaliannya dengan lipsync kabaret di Baltimore. Dia jatuh cinta kepada Liza Minnelli dan Joel Grey, penyanyi dalam film Cabaret (1972) yang bahkan dia tonton sampai tiga kali di bioskop.

Pertunjukan itu kiranya yang mengilhaminya menyokong panggung “Raminten Cabaret Show” yang perdana tampil pada Desember 2008. Dia menghadirkan drag queen, seniman yang tampil berpakaian menerobos gender. Drag queen yang mayoritas diisi pria berdandan kostum wanita bernyanyi lipsync saban Jumat-Sabtu di The House of Raminten.

Menurut M. Ihsan Mulya Pratama dalam "Impression Management Pelakon Drag Queen Di Raminten 3 Cabaret Show" (2020), fenomena kabaret dan drag queen bukanlah seni yang betul-betul baru atau senantiasa berkonotasi budaya Barat. Di Indonesia, kebudayaan lokal seperti lengger di Banyumas, tandhak ludruk di Jawa Timur, bissu di Sulawesi, dan gandrung di Banjar Suwung Bali sudah lebih dahulu terkenal dan lestari.

Raminten sempat mendapat persekusi dan intimidasi dari pihak tertentu kala memopulerkan kabaret di Yogyakarta. Namun dia getol mempertahankan serta memayungi wadah seni itu.

"Ada orang yang datang ke sini, saya dikira tokoh LGBT. 'LGBT tidak bisa menghasilkan uang,' (ucapnya menirukan). Saya tidak tahu, saya itu cuma mementaskan kabaret," ucapnya ketika diwawancara Nungki Puspitasari (hlm. 48).

Bagi Raminten, semua manusia itu sama. Sama-sama hidup dan bekerja. Justru dia sangat senang bisa memberikan wadah inklusi untuk kaum yang dipinggirkan dalam tatanan moralitas masyarakat.

Bahkan papar Lisa, manajer umum kafe The House of Raminten, dia mengakui bahwa beberapa pelayan di kafenya adalah LGBT. Menurutnya, hal tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap kaum minoritas dalam memandang orientasi gender dan seksual. Sosok Raminten begitu menghargai perbedaan semacam itu.

 Raminten Cabaret Show

Raminten Cabaret Show. foto/https://hamzahbatik.co.id/

Raminten dan Spiritualitas Budaya Jawa

Ketenaran Raminten sebagai pebisnis besar di Yogyakarta membuatnya ditunjuk menjadi bendahara Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DIY yang diketuai Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas. Hal itu membuat dirinya sering menghabiskan waktunya melawat ke pelbagai daerah di DIY guna memberikan penyuluhan dan pembinaan ke wirausaha dan pengrajin lokal.

Bagi dirinya, mendapat mandat dari keraton tak dianggapnya sebagai penghargaan. Raminten menilai hal demikian menjadi bakti dan pengabdiannya terhadap masyarakat.

Salah satu anugerah yang memengaruhi sisa hidup Raminten sampai dia menutup usia adalah apa yang disebutnya "berkah keraton".

Sekonyong-konyong pada 2 Mei 2004, toko Mirota Batik yang sudah bertahun-tahun dibangun di atas peluh pusaka orang tuanya ludes terbakar.

GKR Hemas yang mengetahui insiden ini lantas segera meneleponnya dan turut menyampaikan keprihatinan. Dalam telepon tersebut, GKR mengulurkan bantuan spiritual dan material terhadapnya. Dia memanggil Raminten untuk menghadapnya di keraton.

Di muka sang Ratu, Raminten tak dapat menahan isak tangis atas musibah yang menimpa dirinya. Masih tergurat kepedihan disertai kebingungan yang menyebabkan tokonya tinggal puing dan abu.

Sang Ratu mengajak Raminten masuk ke halaman keraton. Di sana terdapat sebuah kendi yang telah berisikan air. Dia menyuruh Raminten mencuci muka serta meminum air dari dalam kendi tersebut. Ritus itu dapat membuat Raminten tenang serta berpikir jernih untuk kembali mengusahakan renovasi tokonya.

Toko yang terletak di tempat strategis (beberapa meter dari titik nol kilometer Yogyakarta) Jalan Malioboro itu bahkan terbangun lebih megah lagi. Dia berhasil mendirikan ulang bangunannya menjadi empat lantai, lengkap dengan panggung seni pertunjukan. Toko yang semula bernama Mirota Batik itu diubahnya menjadi Hamzah Batik. Keistimewaan itulah yang disebutnya "berkah keraton".

Demi membalas budi terhadap spiritualitas keraton, tebesit keinginan Raminten untuk menghabiskan sisa hidupnya sebagai abdi dalem Kesultanan Yogyakarta. Lamarannya sebagai abdi dalem keraton diterima. Dia bergelar Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Tanoyohamijinindya.

Raminten bertanggung jawab di ndalem purwarukmi, rumah yang ditempati saudara-saudara pengantin pria, menantu sultan, untuk menginap. Dia bertugas menata seluruh dekorasi serta mengatur akomodasi keluarga kerabat menantu sultan selama menetap di keraton.

Raminten merupakan satu-satunya abdi dalem keraton keturunan Tionghoa. Meski begitu dia tidak ciut nyali maupun bergidik hati. Raminten senantiasa mengukuhkan dirinya nguri-uri kabudayan Jawa, khususnya lewat persembahannya di The House of Raminten maupun Hamzah Batik.

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi