tirto.id - Sebelum menuju lantai tiga Hamzah Batik di Jalan Malioboro, pusat Kota Yogyakarta, ingatan itu muncul. Lima atau enam tahun lalu, ayah saya menunjuk televisi, saat itu menayangkan acara hiburan yang menampilkan Olga Syahputra, sambil berkata, “Itu penyakit.”
Olga memakai wig kusut sambil memperagakan karakter perempuan--orang Indonesia kebanyakan mengistilahkan gestur seperti itu sebagai 'melambai'.
“Bencong itu penyakit,” repet Ayah. (Olga meninggal pada 2015.)
Saat itu saya belum paham bahwa ayah menunjukkan sikap transfobia, kebencian terhadap transgender. Lingkungan tempat saya tumbuh--mungkin juga lingkungan banyak keluarga lain di Indonesia--terbiasa dengan makian begini, dibesarkan lewat gambaran miring bahwa cuma ada dua gender manusia, laki dan perempuan.
Tentu saja ayah keliru, seiring saya paham atas persoalan gender, merujuk Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Source (DSM-IV).
Saya tersenyum saat ingatan itu muncul persis ketika saya akan bertemu para drag queen—seniman yang tampil berpakaian menerobos gender, pertengahan Desember 2018.
Di lantai tiga salah satu toko cenderamata paling populer di Yogyakarta itu, restoran Raminten rutin menggelar pertunjukan kabaret, pentas lip sync oleh para drag queens, setiap Jumat-Sabtu, kebanyakan adalah pria berdandan kostum perempuan.
Suasana Raminten macam restoran biasa, kecuali ada panggung seluas 10 x 8 meter persegi di satu sayap ruangan. Ada perempuan dan laki-laki sedang menari di atas panggung, diiringi musik populer, dua di antaranya lagu Bang Bang (Jessie J, Ariana Grande, dan Nicki Minaj) dan I’ll Never Love Again (Lady Gaga).
Di bagian backstage, sepetak ruangan kecil tak terlihat oleh pengunjung restoran, para drag queen tengah merias diri sekaligus berbusana. Mereka tengah geladi bersih; tak semuanya datang, memang.
Saya bertemu Dhea, pegawai manajemen Raminten Cabaret Show, lalu perempuan berhijab ini mengenalkan saya kepada Ayu Wulandari, salah satu drag queen yang sudah jadi penampil di sini selama 10 tahun terakhir.
“Saya termasuk generasi pertama,” kata Ayu, setelah kami berkenalan.
Tinggi Ayu 170 sentimeter, lebih tinggi dari saya. Rambutnya nyaris plontos, punya bewok dan kumis. Ia mengenakan batik biru, celana bahan, dan sepatu pantofel.
“Ayu Wulandari itu nama panggung saya,” katanya, tersenyum. Nama aslinya Bayu.
Perawakan Bayu memang maskulin, tinggi, dan besar. Sulit membayangkan wajahnya semulus Ayu Hastari, aktris yang dia tiru, saat memakai riasan. Saya sendiri nyaris tak percaya sampai diperlihatkan Instagram-nya, melihat sendiri transformasi seorang Bayu ke Ayu dari sosok yang sama saat di panggung.
Kanjeng, Raminten, dan Hamzah
Durasi Raminten Cabaret Show cuma 1,5 jam. Selalu dimulai pukul 7 malam. Biasanya para drag queen sudah tiba sekitar jam 3 atau 4 sore untuk geladi resik terakhir sekaligus bersiap-siap.
Saat saya mendatangi backstage, tampang Bayu berbinar make-up; pipi dan bibirnya dipulas merah muda; kumis dan bewoknya hilang; berganti bulu mata palsu nan tebal.
Ia duduk di dekat pintu, menghadap cermin bersama drag queen lain, sama-sama memoles wajah. Beberapa telah selesai, membantu kawan lain yang belum siap. Di tengah ruangan itu ada pengungkit hidrolik, alat untuk mengangkat penampil muncul dari bawah panggung saat pertunjukan dimulai.
Hari itu Ayu Wulandari jadi penampil ketujuh, membawakan lagu berbahasa Jerman yang judulnya sendiri ia tak hafal.
“Aku disuruh Kanjeng,” katanya.
Kanjeng yang disebut Ayu adalah Hamzah Sulaiman, pemilik restoran Raminten, Hamzah Batik, dan drag queen senior. Ia yang membiayai penuh Raminten Cabaret Show. Hamzah dipanggil "kanjeng" dari gelar dia sebagai abdi Keraton Yogyakarta: Kanjeng Mas Tumenggung Tanoyo Hamijinindyo.
“Kanjeng emang gitu," tambah Ayu. "Dia suka suruh kita-kita bawa lagu-lagu yang dia suka. Kadang-kadang memang yang aneh-aneh gitu.”
Sebelum pentas, Hamzah mampir ke backstage. Dipapah dua orang, ia memberi wejangan kepada para drag queen. Beberapa tahun terakhir, kesehatan Hamzah menurun. Ke mana-mana ia dibantu kursi roda. Tulang belakangnya bermasalah dan sempat dioperasi. Meski begitu, tak satu pentas kabaret pun ia lewatkan.
Sekilas tampang Hamzah mirip patung Raminten di depan kasir restoran, ikon The House of Raminten. Sama-sama punya mata sayu dan tahi lalat di atas sudut kanan bibir. Bedanya, patung itu berdandan perempuan, memakai sanggul, kebaya, dan gincu.
Sementara tampilan Hamzah kasual: kemeja dan celana pendek, plus bucket hat hitam dan sebuah giwang berlian di kuping kanan dan giwang pendulum di telinga kiri.
“Raminten itu karakter yang dulu saya mainkan di TV lokal Yogya,” kata Hamzah. “Judul sinetronnya Pengkolan. Nah, Raminten itu waria penjual jamu di sebelah pengkolan.”
Dari kecil ia memang punya ketertarikan pada seni, terutama seni peran wayang wong.
“Tapi, kenapa tertarik pada kabaret?"
Jawabannya karena film Cabaret tahun1972, ujar Hamzah. Ia jatuh cinta kepada Liza Minnelli dan Joel Grey. “Saya nonton sampai tiga kali waktu itu. Dan punya koleksi VCD-nya.”
Hamzah lalu memupuk mimpi untuk membangun pertunjukan kabaretnya sendiri. Pada Desember 2008, Raminten Cabaret Show hadir pertama kali. Pengisi acaranya saat itu kebanyakan karyawan Hamzah Batik, termasuk Bayu.
“Aku sendiri memang orang panggung. Jadi sudah suka seni pertunjukan sebelum jadi karyawan sini,” kata Bayu, pernah jadi anggota Batavia Dance, salah satu grup penari latar terkenal di Jakarta.
Raminten Cabaret Show konsisten menjadi satu-satunya pentas drag queen secara reguler dengan balutan elemen tradisional selama satu dekade terakhir. Bahkan, “kayaknya di sini cuma satu-satunya panggung drag queen yang lip sync, bisa ditonton semua umur,” ujar Hamzah.
Panggung dragqueen, selama ini, memang tak masuk ranah arus utama industri hiburan di Indonesia. Para seniman penerobos gender ini masih sering diasosiasikan sebagai waria atau transgender, kelompok minoritas yang rentan didiskriminasi dan dipersekusi. Ia masih sulit dianggap sebagai profesi.
“Kalau orang di sini (Indonesia) kan tahunya drag queen itu waria. Masih belum seperti di luar, yang sudah bisa dilihat sebagai seni pertunjukan,” tambahnya.
Istilah drag queen dikenal Hamzah saat tinggal di Amerika Serikat pada 1972-1975. Drag digunakan untuk menyebut female impersonator alias peniru perempuan: laki-laki yang bergaya dan berpakaian feminin dan melakukan atraksi menyanyi, lip sync, menari, komedi, atau bahkan teatrikal. Di Indonesia, Hamzah sering melihat seni pertunjukan tradisional yang membuat pria harus berdandan seperti perempuan.
“Ada lengger di Jawa. Di Makassar, ada istilah bissu,” kata Hamzah. “Yang bilang ini bawaan dari Barat, ya memang kurang melihat budaya kita sendiri.”
Hamzah berkata kepada saya bahwa ia menyadari gerakan anti-LGBT--lesbian, gay, biseksual, dan transgender--makin marak di Indonesia.
Pernah Didatangi Polisi, Minta Tutup Kabaret
Meski siar kebencian dan represi terhadap LGBT meningkat, terutama pada 2016 yang digembar-gemborkan oleh para politikus dan pejabat negara, para drag queen di Raminten menilai situasi di Yogyakarta masih "cukup aman".
"Cukup aman" bagi para drag queen ini mengorbankan hal lain: menutup jati diri terutama dari keluarga.
Misalnya Acipta Sasmi, biasa meniru gaya penyanyi Anggun, yang menutupi profesi sampingannya dari keluarga dan kawan-kawan kantor tapi cukup terbuka di Instagram-nya. Instastory dia sesekali menampilkan diri tanpa riasan dan dandanan perempuan.
“Kalau keluarga udah aku blok sih, jadi Instagram aman,” kata Acipta, enggan nama aslinya ditulis.
Hal serupa diutarakan Suzzara Vina, impersonator Celine Dion. Ia menyembunyikan profesi drag queen dari keluarga karena tak ingin repot menghadapi cekcok.
Sehari-hari kedua drag queen itu berpenampilan laki-laki. Hanya berdandan ketika ada pentas. Sehingga, tidak pernah menerima perlakuan kekerasan.
Sekalipun ada anggapan dari drag queen itu bahwa Yogyakarta cukup kondusif, kota ini sebetulnya punya reputasi buruk terhadap kelompok LGBT. Pada awal 2016, pondok pesantren untuk waria bernama Al-Fatah ditutup oleh aparat setempat karena dianggap “tak berizin,” “bertentangan dengan nilai Islam,” dan “meresahkan warga sekitar.”
Pada awal 2018, sebuah hasil survei menggambarkan 41,4 persen dari 1.220 responden menolak hak hidup LGBT. Pada pertengahan awal tahun lalu, sebuah laporan menyoroti penggerebekan terhadap kelompok LGBT di pelbagai kota di Indonesia telah menggembosi upaya penanggulangan HIV.
Pada November tahun lalu, dua transpuan di Bekasi digebuki hingga ditelanjangi.
“Saya bilang aja, 'Kamu kok mau memberantas LGBT? Mereka salahnya apa?'"
"Ya, boleh diberantas kalau mereka membunuh," ujar Hamzah. "Kalau kamu mau setop (Raminten Cabaret Show), kamu harus bayar saya. Saya enggak mengembangkan (bisnis) seks, kok. Saya mengembangkan seni."
Sampai sekarang, kejadian itu belum pernah diceritakan Hamzah kepada para drag queen yang bekerja di kabaretnya. Ia ingin mereka tetap merdeka, menjauhkan mereka dari bayang-bayang teror dan represi.
“Biar fokus kasih penampilan terbaik saja,” ujar Hamzah.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam