tirto.id - “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”, begitu bunyi Pasal 28I ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia.
Meski maksudnya jelas, kenyataannya kelompok minoritas seperti Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) belum bisa bernapas lega pada 2018.
Pada Januari, misalnya, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo secara jelas menolak legalitas LGBT dengan alasan moral. Politisi Partai Golkar tersebut bahkan menyatakan bahwa pembahasan RUU KUHP yang kala itu sedang dilakukan Komisi III DPR digelar dengan semangat menolak dan memidanakan "perilaku" LGBT.
Tak hanya itu, Kompas pernah memberitakan tentang Bambang Soesatyo yang berani mempertaruhkan jabatannya jika LGBT "dilegalkan" di Indonesia.
Pada bulan sama, pihak kepolisian dan wilayatul hisbah (polisi syariat) di Kabupaten Aceh Utara menangkap 12 waria dari sejumlah salon. Di Mapolres, mereka pun mendapat perlakuan tak menyenangkan yakni dicukur, diberi pakaian pria, dan disuruh berlari serta berteriak keras agar suara pria mereka keluar.
Pada Februari, mantan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia Adhyaksa Dault menyampaikan tidak memberikan toleransi bagi LGBT untuk masuk dalam pramuka, “Kita boleh meniru teknologi dari negara lain, tetapi agama, adat istiadat dan budaya sendiri tetap harus dipertahankan. LGBT tidak sesuai dengan semua itu,” ujarnya di Padang.
Pernolakan terhadap kelompok LGBT juga disampaikan Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin yang mendukung pemidanaan LGBT. Seperti dikabarkan oleh Antara, calon wakil presiden pasangan Jokowi itu menilai LGBT sebagai perilaku menyimpang yang tidak dibenarkan semua agama serta tak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Hampir setiap bulan pada 2018 muncul kasus diskriminasi terhadap LGBT: penggerebekan pasangan gay di Palmerah, Jakarta Barat (Maret), dukungan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk mendesak pemerintah dan DPR menetapkan sanksi bagi LGBT (April), hukuman cambuk bagi pasangan Gay (Juli), pembubaran sesi lomba pocky challenge di Magelang karena desakan ormas yang mencurigai unsur LGBT dan pembubaran Grand Final Mister dan Miss Gaya Dewata 2018 karena dianggap bernuansa LGBT (Oktober), serta penganiayaan tanpa sebab terhadap dua transpuan di Bekasi (November).
Di akhir tahun, ruang gerak kelompok LGBT semakin terbatas, sebab penolakan yang dilakukan oleh pemerintah tak hanya sebatas pernyataan, tapi melalui aturan yang diterbitkan oleh pemerintah-pemerintah daerah.
Oktober lalu, Pemkab Cianjur mengeluarkan surat edaran tentang penyampaian khotbah pada salat Jumat terkait pencegahan penyimpangan seksual LGBT.
Di Kota Padang, Wali Kota Mahyeldi Ansharullah memimpin deklarasi "menolak LGBT yang diselenggarakan pada 18 November 2018 di Gelanggang Olah Raga Haji Agus Salim, Padang, Sumatera Barat dalam rangkaian “Padang Bebas Maksiat”. Dalam acara tersebut mereka menggunakan alasan moral, penyebab bencana, hingga meyakini hal mistis yakni kerasukan jin LGBT dan mengadakan ruqyah massal.
Rabu, 28 November 2018, DPRD Kota Pariaman, Sumatera Barat mengesahkan Peraturan Daerah tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum yang memuat sanksi bagi kelompok LGBT. Saat itu, Wakil Ketua DPRD Kota Pariaman Fitri Nora berdalih bahwa Pariaman merupakan daerah tertinggi untuk LGBT.
Diprediksi Makin Kuat di 2019
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan kepada Tirto bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bentuk persekusi terhadap LGBT sepanjang 2018 semakin mengkhawatirkan. Pasalnya, terjadinya perubahan tren yang dari awalnya cuma pernyataan menjadi praktek nyata berupa persekusi.
Mei lalu, LBH Masyarakat mengeluarkan Laporan tentang “Bahaya Akut Persekusi LGBT” (PDF) berdasarkan pemantauan pada 2017.
Dalam laporan itu tertulis bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh kelompok LGBT berupa persekusi, upaya paksa dan pemidanaan, halangan atas akses pendidikan, pembubaran acara, dan sejumlah kekerasan lain.
“Di 2017/2018 itu menjelma menjadi praktik-praktik riil pengusiran, persekusi, dan diskriminasi, dan wujud diskriminasinya itu juga sekarang mewujud pada pola-pola seperti misalnya peraturan-peraturan di daerah beberapa bulan terakhir,” ungkap Ricky.
Aturan daerah memang baru diterbitkan oleh DPRD Kota Pariaman, tapi wacana pembentukan aturan yang bertujuan memberikan sanksi bagi LGBT juga dilontarkan oleh beberapa daerah lainnya seperti Depok, Kabupaten Kotawaringin Timur, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Ricky memandang praktik persekusi terhadap kelompok minoritas LGBT akan semakin parah, apalagi aparat penegak hukum dan media juga masih melakukan diskriminasi terhadap kelompok LGBT.
“Misalnya, beberapa bulan lalu ada kasus penggerebekan di Jakarta yang dibalut dengan operasi narkotika. Jadi betul memang ditemukan ada sejumlah barang bukti narkotika, namun narasi yang ditonjolkan oleh polisi dan beberapa media ini menunjukkan pesta seks sesama jenis,” katanya.
Ricky menilai narasi tersebut akan menimbulkan paranoid di masyarakat serta memunculkan sentimen negatif terhadap kelompok LGBT. "Harusnya ini dibedakan, kalau mereka menggunakan narkotika ya sudah itu clear narkotika, penggunaan narkotika bisa dilakukan oleh mereka yang heteroseksual ataupun homoseksual, jadi tidak perlu membawa-bawa identitas seksual gender atau orientasi seksual mereka,” tuturnya.
Ricky memprediksi diskriminasi itu akan semakin terasa pada 2019 karena faktor pemilu. Bukan tak mungkin, menguatnya isu LGBT belakangan ini akan menjadi barang dagangan bagi para calon presiden dan calon legislatif.
“Kami khawatir kalau nanti masa kampanye terbuka, narasi-narasi sentimen negatif yang cenderung menyudutkan dan menstigma teman-teman kelompok LGBT atau minoritas lainnya semakin marak, karena bukan tidak mungkin itu sesuatu yang sangat menjual,” kata Ricky.
Ricky juga khawatir mendatang stigma negatif LGBT tersebut akan dibungkus dengan ketakutan-ketakutan yang tak masuk akal. “Misalnya dikaitkan dengan fenomena bencana alam, sehingga kita harus banyak berdoa, dan itu dijual, dan itu laku. Ya sama seperti hukum ekonomi,” tuturnya.
Terkait peraturan daerah, Ricky mengatakan seharusnya Menteri Dalam Negeri punya kewenangan untuk membatalkan rancangan tersebut, tapi tentu saja pembatalan itu bisa membawa dampak politik. Apalagi saat ini Jokowi sedang maju sebagai capres.
“Karena Mendagri di bawah presiden langsung, berbahaya ketika ada satu kelompok yang mengusung aturan melarang LGBT dan diloloskan, kemudian oleh Mendagri diblok. Bukan tidak mungkin kelompok itu bilang pemerintahan Jokowi pro-LGBT,” ujarnya.
Editor: Windu Jusuf