tirto.id - Pada 14 November 2017 lalu, Wes Goodman, seorang politikus Republikan dari Ohio mengundurkan diri dari jabatannya. Ia kepergok mencari layanan seksual dari pria gay di situs Craigslist. Seperti dilaporkan The Independent, ia juga kedapatan mengirim dan menanggapi iklan kencan online menggunakan nama samaran "Brady Murphey" kepada seorang kolega lelaki di gedung Capitol Hill.
Pengunduran diri tersebut juga terkait hubungan seks antara Goodman dengan seorang pria di kantornya. Peristiwa ini sampai ke telinga Cliff Rosenberger, seorang anggota House of Representative dari Ohio.
Ironisnya, Goodman memiliki reputasi solid sebagai politikus anti-LGBT garis keras. Ia dikenal lantang mendorong pengesahan produk-produk hukum anti-LGBT dan kerap mempromosikan dirinya sebagai seorang “kristen konservatif” yang peduli dengan “nilai-nilai keluarga”.
Sebelumnya pada 2015, Goodman dituduh mengundang seorang remaja pria ke kamar hotelnya. Ketika terbangun sekitar pukul empat pagi, si pemuda mendapati Goodman sedang menarik ritsleting celana. Ia pun segera melarikan diri.
Seperti yang dilaporkan Independent melaporkan, setelah terkuaknya skandal tersebut Goodman pun hengkang dari Council for National Policy, sebuah lembaga konservatif yang dikepalai Tony Perkins. Perkins sendiri pernah duduk di House of Representative Louisiana selama dua periode berturut-turut, serta menentang masuknya gay dan lesbian ke dinas kemiliteran AS.
Kasus Goodman tidaklah unik. Situs web New Now Nextmenerbitkan daftar politikus Republikan yang terlibat skandal seks gay. Hal ini ironis mengingat sikap Partai Republikan yang selama ini dikenal mengusung nilai-nilai konservatif, termasuk di dalamnya sikap anti-LGBT.
Troy King adalah mantan Jaksa Agung Alabama yang gemar mengecam kaum homoseksual. Ketika masih duduk di bangku kuliah pada 1992, ia menulis di terbitan kampus bahwa keberadaan Aliansi Gay-Lesbian merupakan sebuah penghinaan terhadap universitas, mahasiswa, dan seluruh warga negara bagian Alabama. King bahkan dilaporkan pernah mencoba melarang penjualan alat bantu seks (sex toy) di Alabama.
Pada 2008, istri King menangkap basah sang suami tengah tidur berduaan bersama ajudan prianya. Sang ajudan ini diketahui setia menemani perjalanan dinas King ke luar kota.
Ada lagi kisah Roy Ashburn. Senator dari California ini punya rekam jejak positif di mata pemilih konservatif. Ia selalu menepis proposal undang-undang yang pro-hak-hak LGBT. Pada 3 Maret 2010, Ashburn kedapatan mengemudi dalam keadaan mabuk. Ia baru saja keluar dari sebuah klub gay bernama Sacramento—bersama seorang pria di mobilnya.
Di negara bagian Washington, nama legislator Richard Curtis mencuat setelah menentang sebuah undang-undang anti-diskriminasi terhadap LGBT. Tindakan Curtis ternyata menuai respons keras teman kencan prianya, yang mengancam akan akan membongkar skandal mereka berdua kepada istri Curtis. Kasus ini pun ditangani polisi. Curtis menyatakan dirinya sedang diperas oleh pria yang pernah berhubungan seks dengannya di sebuah kamar hotel di Kota Spokane.
Pada 2014, Steve Wiles maju sebagai kandidat senator dari Partai Republikan di North Carolina. Penolakan atas pernikahan sesama jenis jadi tema kampanyenya. Namun para pendukung Wiles terkejut saat menemukan fakta bahwa sang kandidat idola pernah tampil dalam balutan kostum wanita sebagai Miss Mona Sinclair di sebuah klab malam. Bahkan Wiles juga pernah jadi promotor kontes Miss Gay America 2011.
Masih banyak lagi politikus sayap kanan anti-LGBT, yang setelah ditelisik lebih lanjut ternyata kehidupan ganda sebagai seorang gay, atau setidaknya pernah berhubungan seks sesama jenis.
Di atas segalanya, kisah Roy Cohn adalah yang paling ikonik sekaligus ironis.
Cohn adalah seorang pengacara kondang Amerika. Pada 1950an, bersama Senator Joseph McCarthy, Roy Cohn ditugasi menyelidiki orang-orang yang diduga simpatisan komunis, agen spionase, dan homoseksual. Sepanjang era yang disebut Red Scare ini, masyarakat AS dibuat ketakutan oleh rumor liar penyebaran komunisme. Tak sedikit warga negara yang dipecat dari pekerjaannya akibat dituduh komunis.
Bersamaan dengan itu, gay dan lesbian pun kena imbasnya. Kaum konservatif percaya bahwa kaum LGBT adalah konspirasi Uni Soviet untuk melemahkan AS dari dalam. Pada 26 Maret 1952, New York Times memberitakan bahwa sejak Januari 1951, Kementerian Luar Negeri AS telah memecat 126 pegawai atas dasar dugaan homoseksual.”
Pejabat Kemenlu Carlisle H. Humelsine menyatakan bahwa kaum homoseksual mendatangkan “ancaman keamanan” dan bersumpah akan “menyingkirkan mereka (homoseksual)” dari pemerintahan.
Cohn didapuk untuk menyisir siapapun yang diduga komunis dan gay.
Namun di balik kegarangannya menyingkirkan LGBT dari tubuh pemerintahan, tak banyak yang tahu bahwa Cohn sendiri adalah seorang gay. Setelah periode Red Scare berlalu, Cohn sempat menjadi pengacara untuk Studio 54, sebuah klab malam yang sering dikunjungi gay, lesbian, dan trans-seksual. Cohn bahkan beberapa kali merayakan ulang tahunnya di klab ini, bersama para petinggi partai Demokrat maupun Republikan.
Tapi Cohn selalu menyangkal ketika ditanya perihal orientasi seksualnya yang hanya diketahui segelintir orang itu. Cohn terlibat dalam tim kampanye Ronald Reagan antara 1979-80. Dalam sejarah LGBT di AS, pemerintahan Reagan dikenang dengan sangat buruk karena terlambat menangani penyebaran AIDS pada dekade 1980an—bahkan mengecilkan dampaknya dengan menyebut AIDS sebagai “wabah gay”.
Pada Agustus 1986, Roy Cohn, salah seorang penasehat kepercayaan Reagan, meninggal karena AIDS.
Anti-Gay Gay Club
Pertanyaannya, mengapa sebagian tokoh publik yang dikenal sebagai pembenci gay ternyata memiliki latar belakang gay?
Journal of Personality and Social Psychology pada 2012 menurunkan hasil penelitian Netta Weinstein (University of Essex), William S Ryan (University of California, Santa Barbara) dan beberapa peneliti lainnya yang berjudul “Parental Autonomy Support and Discrepancies Between Implicit and Explicit Sexual Identities: Dynamics of Self-Acceptance and Defense”. Artikel tersebut melaporkan hasil penelitian tentang hubungan antara stigmatisasi terhadap homoseksual dalam lingkup keluarga dan sikap defensif yang ditunjukkan dengan penyangkalan akan ketertarikan sesama jenis.
Penelitian ini melibatkan 784 mahasiswa di Amerika Serikat dan Jerman. Peserta dipersilakan menilai orientasi seksual mereka dalam skala 10 point yang merentang dari gay sampai straight.
Dalam tes tersebut, para peserta diperlihatkan deretan kata dan gambar yang mengindikasikan homoseksualitas dan heteroseksualitas, misalnya gambar pasangan sesama jenis dan pasangan hetero, serta kata-kata seperti "homoseksual" dan "gay". Setelah itu, peserta diminta secepatnya mengelompokkan kata dan gambar ke dalam kategori gay atau straight. Kecepatan menjawab diukur oleh komputer.
Hasilnya, ada subkelompok peserta yang awalnya mengaku “sangat hetero” dalam skala 1-10, namun menunjukkan tingkat ketertarikan sesama jenis. Ada lebih dari 20 persen partisipan “hetero” yang menunjukkan ketidaksesuaian itu.
Studi ini pun menemukan korelasi antara sikap orangtua dalam merespons orientasi seksual anak dengan tingkat kepercayaan diri dan keterbukaan sang anak terkait orientasi seksualnya.
Jika sang anak memiliki orientasi seksual yang berbeda dan orangtua tetap mendukungnya, ia akan lebih bisa terbuka tentang orientasi seksualnya itu. Kecil kemungkinannya ia akan terjangkit homofobia. Sebaliknya, seorang anak yang mengalami konflik batin akibat tidak bisa mendamaikan identitas seksualnya dengan ketertarikan sesama jenis, serta memiliki orangtua yang suka mengontrol, akan lebih sulit menerima kaum homoseksual, bahkan memelihara prasangka terhadap LGBT.
Penelitian ini dapat menjawab pertanyaan mengapa sebagian orang yang mengecam keras LGBT ternyata punya kecenderungan homoseksual. Tentu tidak semua orang yang anti-LBGT adalah gay terselubung. Tapi sejumlah kasus menunjukkan beberapa orang homofobik berusaha keras menampik orientasi seksualnya sendiri karena mengalami tekanan dari luar atau takut tidak diterima keluarga.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf