tirto.id - Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) dan sejumlah pihak lain untuk merevisi pasal terkait kesusilaan yang termaktub dalam Pasal 284, 285, dan 292 KUHP. MK beralasan, mereka tidak punya kewenangan untuk membuat aturan baru perihal pasal kesusilaan yang diajukan.
Putusan tersebut diketok MK selepas sembilan hakim konstitusi menggelar musyawarah. Dalam musyawarah itu, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari empat hakim, yakni: Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, serta Aswanto. Sisanya, bersepakat untuk menolak opini pemohon yang pada akhirnya menggagalkan upaya pemohon guna mengkriminalisasi mereka yang “bersetubuh di luar perkawinan” dan “sesama kelamin.”
Namun, tak lama setelah MK menggagalkan upaya revisi pasal kesusilaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru berencana memperluas delik tentang tindak pidana asusila seperti “kumpul kebo” dan LGBT. Upaya perluasan sedianya akan dilakukan pada Januari mendatang usai masa reses selesai oleh Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RPKUHP).
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Nasir Djamil, mengatakan perluasan delik diusulkan sebab selama ini aturan yang ada kurang memberi efek jera bagi pelaku “kumpul kebo” dan LGBT. Menurutnya kedua perilaku tersebut menyalahi ajaran agama serta tidak sesuai 'budaya timur.'
Menelisik Riwayat Pasal 292
Salah satu pasal kesusilaan yang akan diperluas deliknya adalah Pasal 292. Dalam KUHP, pasal tersebut berbunyi bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis—yang diduga belum dewasa—bakal diancam pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal ini mulanya hanya mengatur pencabulan sesama jenis yang dilakukan orang dewasa ke anak-anak. Akan tetapi, para pemberi usul perluasan delik meminta batasan umur dalam Pasal 292 dihilangkan, sehingga nantinya siapapun yang melakukan persetubuhan sesama jenis bisa dipidanakan.
Dalam banyak catatan etnografis, keberagaman orientasi seksual adalah lumrah di Nusantara sebelum datangnya kolonialisme. Jadi, di mana persisnya 'norma ketimuran' yang diklaim AILA dan Nasir Djamil? Sebelum berbicara lebih jauh tentang polemik Pasal 292, alangkah baiknya kita mengetahui asal-usul bagaimana produk hukum ini lahir. Studi-studi sejarah menunjukkan bahwa kriminalisasi homoseksualitas adalah produk kolonialisme Belanda.
Keberadaan Pasal 292 atau kriminalisasi perkara hubungan sesama jenis (homoseksual) tidak bisa dilepaskan dari konteks hukum Belanda di masa lampau yang sampai ke Indonesia melalui kolonisasi, sebagaimana dicatat Gert Hekma dalam “Homosexual Behavior in the Nineteenth-Century Dutch Army” (1991) yang dipublikasikan Journal of the History of Sexuality.
Rumusan pasal itu dalam versi bahasa Belanda berbunyi, “De meerderjarig die met een minderjarig van hetzelfde geslacht, viens minderjarige hij kent of redelijkerwijs moet vermoeden, ontucht pleegt, wordt gestraft met gevangenisstraft van ten hoogste vijf jaren,” yang dapat diterjemahkan sebagai: “Barang siapa melakukan suatu tindakan melanggar kesusilaan dengan anak yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, yang status di bawah umurnya ia ketahui, dapat dipidana selama-lamanya lima tahun.”
Gagasan memasukkan perkara homoseksual dalam Wetboek van Straftrecth (WvS)—kelak menjadi KUHP—datang dari Pemerintah Kerajaan Belanda. Inisiasi tersebut datang bersamaan dengan keinginan pemerintah menyertakan beberapa ketentuan baru lainnya ke dalam WvS. Inisiatif pemerintah itu sempat ditentang parlemen Belanda saat masuk proses pembahasan.
Meski ditentang, pasal larangan homoseksualitas tersebut disetujui pada 20 Mei 1911 melalui Staatsblad—Lembaran Negara—Tahun 1911 No. 130. Pasal homoseksualitas juga ditambahkan ke dalam Pasal 248b WvS yang kelak menjadi Pasal 292 KUHP.
Berdasarkan catatan Hekma, undang-undang tersebut nyatanya tidak pernah dipakai sebelum akhir tahun 1930an walaupun sudah disahkan. Tidak dipakainya regulasi perihal perkara homoseksualitas itu di Hindia-Belanda agak mengherankan sebab dalam medio 1920-1930an, banyak skandal maupun persekusi yang berkaitan dengan homoseksual.
Dalam Colonialism and Homosexuality (2003), Robert Aldrich mencatat bahwa pada tahun 1936, surat kabar lokal di Hindia Belanda secara gamblang melaporkan sejumlah kasus homoseksualitas di Indonesia, tepatnya di beberapa kota Jawa termasuk Batavia.
Aldrich menuturkan, skandal pertama yang diungkap melibatkan bendahara pemerintah, L.A. Ries, yang diketahui berhubungan seksual sesama jenis dengan seseorang di bawah usia 21 tahun pada Mei 1936. Berita tertangkapnya Ries sampai juga di Belanda dan menyebabkan kehebohan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, yang mendengar berita tersebut lantas memerintahkan polisi melakukan penyelidikan serta memberantas apa yang dia sebut sebagai "dosa homoseksualitas.”
Perintah Stachouwer dilaksanakan oleh P. Dekker, Komisaris Polisi Batavia. Menurutnya, perilaku homoseksual memang tumbuh di kalangan kepolisian, akan tetapi Dekker menolak bahwa homoseksualitas dapat menyebar. Pernyataan Dekker didukung oleh sejumlah kalangan elit pemerintahan. Salah satunya adalah Perdana Menteri Belanda, Hendryk Colijn, yang berpendapat standar moralitas pejabat tidak menurun.
Namun pembelaan mereka seakan terpatahkan tatkala pada awal 1938, surat kabar De Ochtendpost dan Java-Bode menurunkan pemberitaan yang menyeret tiga pejabat senior di Surabaya berkaitan kasus homoseksual. Tertangkapnya pejabat tersebut hanya sebagian kecil gambaran dari kasus serupa yang jumlahnya lebih besar.
Dari Desember 1938 sampai Januari 1939, tercatat ada 223 orang Eropa yang ditangkap di Batavia, Bandung, Surabaya, Palembang, Medan, serta Bali berkenaan homoseksualitas. Mereka yang ditangkap berasal dari pelbagai macam latarbelakang seperti dokter, wartawan, pengusaha, pegawai negeri, tentara, inspektur polisi, hingga pensiunan pejabat.
Skandal homoseksual tersebut, menurut Aldrich, menjadi tamparan keras untuk pemerintahan Belanda di Indonesia. Aldrich menjelaskan, rentetan kasus homoseksual telah berandil dalam melemahkan posisi dan reputasi pemerintahan Belanda di Indonesia. Selain itu, Aldrich menambahkan, hubungan seksual sesama jenis yang melibatkan orang Indonesia dan Belanda menunjukkan bagaimana persoalan seksual menjadi politis mengingat Belanda menjadi pihak yang menjajah Indonesia.
Tak cuma di Belanda saja, pasal kesusilaan juga dibikin oleh pemerintahan kolonial lain seperti Inggris di Malaysia dan Singapura. Tom Boelstorff dalam Gay Archipelago (2005) menyatakan bahwa praktik kriminalisasi homoseksualitas oleh pemerintah kolonial Inggris di Malaysia dan Singapura lebih keras ketimbang Belanda.
Di Malaysia, larangan homoseksualitas diatur dalam KUHP 1936 Bagian 377A dan 377B mengenai pelanggaran tidak wajar (unnatural offences) serta Bagian 377D mengenai kemarahan terhadap tindakan yang melanggar kesusilaan (outrages of decency). Bagi mereka yang tidak mematuhi peraturan ini, hukumannya dapat 3 sampai 20 tahun penjara.
Sementara di Singapura, larangan homoseksualitas diatur dalam KUHP Bagian 377A yang menegaskan setiap laki-laki yang melakukan tindakan tak pantas di tempat umum dengan sesama laki-laki manapun akan dihukum penjara untuk jangka waktu maksimal 2 tahun.
Pada akhirnya, apabila memang DPR berhasil meluaskan delik tindakan asusila dalam Pasal 292 dan pasal-pasal lainnya, hal tersebut akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan kelompok minoritas seksual di Indonesia. Pasalnya, perluasan delik kesusilaan berpotensi melanggar hak privasi serta hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan warga lainnya bagi kelompok minoritas seksual.
Anggara Suwahyu, peneliti hukum dari Institusi for Criminal Justice Reform (ICJR), menjelaskan perluasan tafsir agar LGBT dapat dikriminalisasi dalam pasal-pasal KUHP merupakan persoalan norma yang tak perlu diatur terlalu jauh oleh negara. Ia menambahkan, hukum pidana tidak boleh mengatur terlalu jauh sampai ke urusan pribadi warga negara. Dalam penyusunan undang-undang KUHP, kriminalisasi terhadap perbuatan seksual hanya bisa dilakukan jika memenuhi beberapa syarat, salah satunya untuk pencegahan.
Sedangkan Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni mengatakan, perluasan tafsir membuat kepentingan yang hendak dicapai menjadi tidak jelas. Wahyuni justru memandang adanya polemik perluasan tafsir terhadap pasal itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia masih belum tercerdaskan dalam pendidikan seksual. Pasalnya, perbedaan orientasi seksual kerap dianggap sebagai penyakit menular dan pelakunya didiskreditkan, padahal tak semua orang dengan orientasi seksual merasa nyaman diperlakukan seperti itu.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf