tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) untuk memperluas penafsiran terhadap Pasal 284, 285 dan 292 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Peluasan penafsiran itu diajukan supaya bisa menjerat pelaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) serta para pihak yang melakukan hubungan di luar nikah supaya bisa dipidana.
Putusan MK ini disesalkan pakar hukum pidana Suparji Ahmad. Suparji menilai MK seharusnya menerima permohonan tersebut lantaran belum ada aturan pemidanaan buat LGBT dalam ketiga pasal itu.
Dalam pasal Pasal 292 KUHP, misalnya, pidana bagi perilaku LGBT hanya bisa diterapkan jika dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak. Dalam pasal itu, dijelaskan bahwa: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
Suparji mengatakan, yang terjadi bisa sebaliknya: anak-anak kepada orang dewasa. Karena itu lah kata dia, cakupan subjek hukum ketiga pasal itu harus diperluas.
“Jadi sebetulnya, yang penting harus dikabulkan dulu adalah pihak yang melakukan perbuatan cabul. Dalam hal ini perilaku menyimpang homoseksual,” kata Suparji saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (23/12/2017).
Dengan begitu, kata Suparji, pemidanaan akan berlaku pada subjek hukum yang telah terbukti melakukan perbuatan LGBT atau bahkan hanya menyukai sesama jenis. Ia menyebut, hukum pidana akan meminta pertanggungjawaban berdasarkan pada perbuatan yang dilakukan.
“Jadi dia bisa masuk delik aktif, bisa masuk delik pasif,” katanya.
Delik aktif yang dimaksud Suparji yakni delik yang karena rumusan undang-undang bersifat larangan untuk dilakukan. Sementara delik pasif ialah suatu keadaan di mana seseorang mengetahui ada tindak kejahatan tetapi orang itu tidak melaporkan kepada yang berwajib.
Jika seseorang mengaku dirinya LGBT, kata Suparji, pengakuan itu hanya masuk delik pasif lantaran harus dibuktikan dengan perbuatannya. KUHP tetap bisa digunakan buat menjerat delik pasif tersebut.
“Karena dalam KUHP pertanggungjawaban perbuatan itu juga dilihat aktif-pasifnya. Yang diperlukan sekarang adalah kriminalisasi perbuatannya dulu,” imbuhnya.
Ada Hak Privat yang Dilanggar
Soal pidana untuk tindakan LGBT ini, Anggara Suwahyu, peneliti hukum dari Institusi for Criminal Justice Reform (ICJR), punya pandangan berkebalikan dengan Suparji. Menurut Anggara, perluasan tafsir agar LGBT dapat dikriminalisasi dalam pasal-pasal KUHP merupakan persoalan norma yang tak perlu diatur terlalu jauh oleh negara.
Anggara menjelaskan, penolakan terhadap LGBT mendasarkan diri pada argumentasi moral dan etika yang pembahasannya jauh lebih luas dari hukum. “Di wilayah ini sebetulnya yang harus kita cermati kembali, wilayahnya putusan MK ada di mana? Apakah persoalan norma dan etika atau persoalan hukum?" kata Anggaran kepada Tirto.
Menurut Anggara, hukum pidana tidak boleh mengatur terlalu jauh sampai ke urusan pribadi warga negara. Dalam penyusunan undang-undang KUHP, kriminalisasi terhadap perbuatan seksual hanya bisa dilakukan jika memenuhi beberapa syarat, salah satunya untuk pencegahan.
Lagi pula, kata Anggara, pemidanaan terhadap perilaku seksual sudah diatur dalam KUHP yang ada saat ini. KUHP sudah memberi batas yang tegas bahwa perilaku seksual bisa dipidana jika dilakukan di wilayah publik. “Karenanya, ada pelanggaran asusila. Di tiga pasal yang ada di KUHP itu, sudah jelas seperti apa saja bunyinya," ucap Anggara.
Ia juga menyebut sulit untuk membuktikan pidana dalam perbuatan LGBT. Pembuktian terhadap tindakan ini, kata Anggara akan terlebih dahulu melanggar ruang privasi seseorang. "Ini kontradiktif dan bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai," jelasnya.
Jika tidak hati-hati, kata dia, kriminalisasi perbuatan LGBT itu juga berpotensi menjadi tindakan persekusi organisasi masyarakat atau kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.
Berbeda Tujuan
Rencana perluasan delik buat mempidanakan LGBT, ternyata berkebalikan dengan permohonan judicial review yang diajukan AILA ke MK. Komnas Perempuan merupakan pihak terkait dalam gugatan yang diajukan AILA ke MK.
Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni gugatan AILA terkait Pasal 284, 285 dan 292 itu awalnya buat melindungi keluarga, dari potensi perceraian dan kerusakan hubungan. Budi Wahyuni mengatakan, perluasan tafsir membuat kepentingan yang hendak dicapai menjadi tidak jelas.
Ia justru memandang adanya polemik perluasan tafsir terhadap pasal itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia masih belum tercerdaskan dalam pendidikan seksual. Pasalnya, perbedaan orientasi seksual itu dianggap sebagai penyakit menular dan pelakunya didiskreditkan, padahal tak semua orang dengan orientasi seksual merasa nyaman diperlakukan seperti itu.
Baca juga:Jejak Empat Hakim MK yang Ajukan Dissenting Opinion Putusan LGBT
Untuk itu, Budi Wahyuni mengatakan, Komnas Perempuan membentuk komunitas atau perkumpulan agar orang yang punya orientasi homoseksual kelompok tidak diperlakukan berbeda dan hak-hak dasarnya sebagai manusia kian dimarginalkan.
"Kalau tadi disampaikan bahwa ada promosi, apa salahnya? Promosi itu kan ajakan. Bukan pemaksaan. Dan teman-teman ini melakukannya sebagai bentuk solidaritas, mereka punya hak untuk mengekspresikan, untuk berkumpul" ujarnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih