Menuju konten utama

Jejak Empat Hakim MK yang Ajukan Dissenting Opinion Putusan LGBT

Dalam putusan MK soal LGBT dan perzinaan, ada empat hakim yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat.

Jejak Empat Hakim MK yang Ajukan Dissenting Opinion Putusan LGBT
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) berpose dengan hakim konstitusi seusai mengikuti prosesi pelantikan Ketua MK periode 2017-2010 dalam Sidang Pleno Khusus di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/7). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Setelah hampir setahun bersidang, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan uji materi pasal 284, 285 dan 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang beleid pidana terkait kesusilaan.

Pemohon uji materi perkara ini salah satunya Aliansi Cinta Keluarga (AILA) bersama 12 pemohon lain termasuk Guru Besar Institut Pertanian Bogor Euis Sunarti—AILA berharap sodomi, hubungan sesama jenis, hingga kumpul kebo atau perzinaan masuk kriteria tindakan kriminal.

Dalam putusan ini, ada empat hakim yang menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Keempat hakim tersebut adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto.

Keempat hakim konstitusi ini menyimpulkan seharusnya MK mengabulkan permohonan para pemohon. Mereka berpandangan konteks pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan jati diri dan identitasnya sebagai konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution) terlihat jelas bahwa nilai agama dan ketertiban umum diberi posisi dan fungsi sebagai salah satu pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk norma UU.

Manakala terdapat norma UU yang mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan atau justru bertentangan dengan nilai agama, maka norma UU itulah yang harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan nilai agama dan ajaran ketuhanan,” ujar hakim konstitusi Aswanto, dikutip dari hukumonline.com.

Aswanto berpendapat seharusnya MK bisa membatasi diri untuk tidak berlaku sebagai “positive legislator” dengan memperluas lingkup suatu tindak pidana.

Hakim yang pernah menjabat Asisten Hakim Agung ini menekankan pendapatnya bahwa norma UU dianggap mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang sifatnya “terberi” (given).

Aswanto sebelumnya menjadi guru besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Pria kelahiran Palopo, 17 Juli 1964, ini meraih gelar doktor di Fakultas Hukum Universitas Arilangga Surabaya. Ia juga tercatat pernah menjadi Ketua Panitia Pengawas Pemilu Sulawesi Selatan pada 2004, Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum Sulsel pada 2007, dan Tim Seleksi Dewan Kode Etik Mahkamah Konstitusi pada 2013.

Ia terpilih bersama dengan Wahiduddin Adams sebagai hakim MK yang baru berdasarkan hasil voting yang dilakukan 50 anggota Komisi Hukum MA.

Dikutip dari website Mahkamah Konstitusi, Wahiduddin Adams mengawali kariernya di dunia birokrasi. Sosok Wahid panggilan akrab Wahiduddin- yang sederhana, religius, dan tidak neko-neko menjadi satu faktor kesuksesan kariernya kini, seperti dijelaskan dalam profil Wahid di website MK.

Sebelum menjabat sebagai hakim MK, jabatannya sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM membawa Wahid kerap mendatangi gedung Mahkamah Konstitusi. Ia beberapa kali ditunjuk oleh Menteri Hukum dan HAM untuk menjadi kuasa hukum permanen presiden pada sidang pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan lembaga negara di MK.

Dalam pertimbangannya, hakim Wahidudin menilai pencantuman unsur sebatas anak di bawah umur atau belum dewasa dalam beleid tersebut menunjukkan ‘kemenangan’ kaum homoseksual. Menurut hakim, perilaku itu sangat tercela dan bertentangan dengan sinar Ketuhanan.

Penjelasan Wahid itu mengacu pada pasal 292 KUHP tentang perbuatan cabul hubungan sesama jenis dianggap hanya memberikan perlindungan hukum terhadap korban yang diduga belum dewasa, sedangkan pada korban yang telah dewasa tidak diberikan perlindungan hukum. Pemohon menginginkan orang dewasa yang melakukan hubungan sesama jenis dengan orang dewasa mestinya juga dihukum.

Berdasarkan pertimbangan di atas, kami berpendapat mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon,” ucapnya.

Selain Aswanto dan Wahiduddin, hakim lain yang menyatakan dissenting opinion adalah Anwar Usman dan Arief Hidayat.

Anwar Usman adalah hakim konstitusi yang menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi ke-5. Mengawali karier sebagai seorang guru honorer pada 1975. Sukses meraih gelar Sarjana Hukum pada 1984, Anwar mencoba ikut tes menjadi calon hakim.

Di Mahkamah Agung, jabatan yang pernah didudukinya, di antaranya menjadi Asisten Hakim Agung mulai dari 1997 – 2003 yang kemudian berlanjut dengan pengangkatannya menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung selama 2003 – 2006. Lalu pada 2005, ia diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian. Sedangkan Arief Hidayat pernah menjadi guru besar Fakultas Hukum Undip. Bidang keahlian Arief meliputi hukum tata negara, hukum dan politik, hukum dan perundang-undangan, hukum lingkungan dan hukum perikanan.

Arief resmi menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sejak tanggal 14 Januari 2015, setelah diambil sumpahnya pada pelantikan yang dilakukan di ruang sidang lantai 2, Gedung Mahkamah Konstitusi RI.

Anwar Usman sependapat dengan Arief Hidayat mengenai poin tentang “positive legislator” dengan memperluas lingkup suatu tindak pidana dalam perkara ini.

Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (Leip) Arsil menyoroti pertimbangan empat hakim yang memberi dissenting opinion.

Menurut Arsil, putusan MK ini sudah tepat dengan menolak permohonan karena jika dikabulkan, MK didorong menjadi lembaga yang punya kewenangan positif legislator.

Kewenangan ini menjadi bahaya tersendiri untuk hukum Indonesia lantaran MK merupakan lembaga yudikatif yang hanya punya kewenangan negatif legislator.

“Ini menimbulkan komplikasi baru dalam soal hukum,” kata Arsil kepada Tirto.

Arsil heran dengan pertimbangan Ketua MK Arief Hidayat yang dinilainya tidak mempertimbangkan konsekuensi dari pertimbangan yang sependapat dengan para pemohon. Jika permohonan dikabulkan, delik pidana akan muncul dalam putusan dan MK menjadi lembaga yang berposisi sebagai pembuat hukum, bukan lagi menghapus atau membatalkan suatu norma hukum.

Dalam konteks gugatan ini, Arsil menilai pertimbangan Hakim Konstitusi, yang mengarahkan gugatan permohon ke DPR atau pemerintah, sudah tepat.

“[Karena perluasan delik] Ini bukan soal zina atau LGBT, tapi soal tata negara,” sebutnya.

Arsil menegaskan, yang jadi persoalan bukan perbedaan pendapatnya, tetapi dasar dari dissenting opinion tersebut dianggapnya sebagai sesuatu yang kelewatan.

Baca juga: MUI Pertanyakan Putusan MK yang Tolak Kriminalisasi LGBT

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri