tirto.id - Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan bermusyawarah sebelum mengeluarkan pernyataan menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA), dan sejumlah pihak lain, untuk merevisi pasal terkait kesusilaan (pasal 284, 285, dan 292) di KUHP. Putusan MK itu menyimpulkan penolakan terhadap usulan kriminalisasi terhadap perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dan hubungan di luar nikah.
"Patut ditinjau ulang apakah ini sehat dalam berbangsa dan bernegara untuk urusan-urusan besar yang rata-rata umat dan bangsa kita sepakat masuk," kata Wakil Ketua Sekretaris Jenderal MUI Muhammad Zaitun Rasmin di kantornya, Jumat (15/12).
Putusan MK, yang diwarnai adanya perbedaan pendapat atau dissenting opionion dari sebagian hakim, itu ini sebenarnya menuai pujian dari banyak pihak. Kriminalisasi LGBT dan hubungan di luar nikah bisa memicu pemidanaan pada aktivitas privat sekaligus membuka pintu pelanggaran Hak Asasi Manusia serta persekusi terhadap minoritas gender. Apabila permohonan AILA dikabulkan, MK juga bisa menjadi lembaga yang memainkan kewenangan positif legislator dan bukan lagi negatif legislator. Artinya, jika permohonan AILA dikabulkan, MK bisa berposisi menjadi lembaga pembuat hukum.
Tapi, MUI memiliki pendapat sebaliknya dari MK. Zaitun mengaku heran atas keputusan MK karena menurutnya mayoritas warga Indonesia beragama. Orang yang beragama, dalam pandangan Zaitun, tidak mengizinkan perilaku LGBT dan hubungan di luar nikah.
Ia juga mempertanyakan kewenangan MK yang begitu besar, sehingga bisa memutuskan suatu hal seperti uji materi pasal kesusilaan. "Kita prihatin dan berharap ada sesuatu ke depan ini bagaimana caramya ditinjau. Masa nasib negara ini, DPR saja 600 orang kalau ada salah memutuskan bisa ditinjau, ini sekarang keputusan MK 9 orang, apalagi kemarin cuma 5 orang karena 4 orang menolak," katanya.
Empat hakim MK yang berbeda pendapat dengan lima lainnya adalah Arief Hidayat (menjabat Ketua MK), Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Ada pun lima hakim penolak gugatan yakni Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M. Sitompul, dan Suhartoyo.
Permohonan revisi pasal kesusilaan diajukan AILA sejak 2016, yang meminta MK memperluas subjek yang dijerat dalam pasal 284 tentang perzinaan. Mereka meminta bukan hanya orang yang sudah menikah yang dijerat pasal ini, tetapi juga yang berstatus belum menikah.
Untuk pasal 285 yang berkaitan dengan perkosaan, pihak pemohon mengajukan perluasan konteks untuk sesama jenis serta perkosaan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki. Sementara Pasal 292 yang mengatur soal pencabulan orang dewasa ke anak-anak sesama jenis, diusulkan pihak pemohon untuk dihilangkan batasan umur sehingga artinya, siapa pun yang melakukan persetubuhan sesama jenis bisa dipidanakan.
Majelis berpendapat pasal-pasal yang diajukan untuk judicial review tidak bertentangan dengan konstitusi. Kalaupun pihak pemohon ingin masalah hubungan sesama jenis diperkarakan, semestinya mereka mengajukan rancangan undang-undang yang mengaturnya ke DPR.
Dalam pertimbangannya, majelis menganggap kewenangan memperluas subjek dan konteks unsur pidana baru dalam suatu undang-undang bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi, melainkan kewenangan dari presiden dan DPR.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Addi M Idhom