tirto.id - Dalam adegan pamungkas The Imitation Game (2014), Alan Turing (diperankan oleh Benedict Cumberbatch) terlihat bingung. Mengenakan baju tidur berwarna putih dengan padanan celana serupa, Turing jalan mondar-mandir, raut wajahnya kacau, pikirannya cemas. Tak lama kemudian, Turing teringat sesuatu; kenangan saat berjuang demi negara. Seketika senyum mengembang dari bibirnya hingga pilihan menyudahi hidup muncul di benaknya.
Alan Turing, ilmuwan matematika jenius dan pemecah kode Enigma buatan Jerman meninggal dengan tragis. Pasca-perang Dunia II, hidup Turing berubah. Ia ditangkap kepolisian hanya karena dirinya gay, dijatuhi status tahanan rumah, serta dipaksa terapi hormon guna mengembalikan orientasi seksualnya seperti semula. Kesengsaraan menuntunnya mengambil jalan final: bunuh diri.
Homoseksual pada tahun 1950an adalah hal tabu. Pemerintah melarang dan merepresi segala bentuk ekspresi (yang dianggap) homoseksual.
Tapi beberapa orang mulai merintis perubahan. Suatu malam di musim panas 1954, pertemuan antara politisi Partai Konservatif David Maxwell Fyfe dan akademisi John Wolfenden menjadi langkah penting untuk perlindungan kaum homoseksual di Inggris. Dalam pertemuan itu, Wolfenden ditunjuk sebagai ketua Komite Homoseksual dan Prostitusi. Tugasnya: merumuskan produk hukum terbaru untuk kaum gay dan lesbian.
Berdasarkan catatan Wolfenden terdapat dua hal yang menjadi sumber masalah utama homoseksual di Inggris. Pertama, pandangan bahwa homoseksual adalah perilaku tidak wajar sekaligus ancaman bagi individu dan masyarakat Inggris. Kedua, sering terjadi penangkapan kepada kelompok homoseksual berlandaskan Undang-Undang Pelanggaran Seksual 1956 (yang dibuat dari perpaduan produk legislasi abad ke-19 dan common law). Dari masifnya penangkapan itu—tak jarang menggunakan provokator—itu muncul kasus lain berupa pemerasan yang dilakukan aparat kepolisian kepada gay, lesbian, dan transgender.
Baca juga: Kerugian Ekonomi Akibat Diskriminasi LGBT
Berangkat dari dua poin di atas, Wolfenden mengeluarkan sebuah laporan (Wolfenden Report) pada 1957. Ia menjelaskan bahwa perilaku homoseksual antara orang dewasa yang sama-sama setuju bukan tindakan kriminal. Selain itu, Wolfenden juga mengindikasikan ketidaksukaan publik terhadap homoseksual justru semakin menyuburkan pelanggaran.
Terjal jalan ditempuh laporan Wolfenden untuk menjadi sebuah produk hukum. Menurut Chris Ashford, profesor hukum dan masyarakat Universitas Northumbria Newcastle, selain memicu perdebatan di kalangan parlemen, laporan Wolfenden juga disangsikan oleh para pejabat di Departemen Dalam Negeri (Home Office). Mereka mengatakan, Wolfenden “tak perlu berharap akan lahirnya undang-undang” dari laporan yang diajukan. Pada akhirnya, setelah 10 tahun bergelut dengan perdebatan serta tarik ulur politik parlemen, laporan Wolfenden disetujui untuk menjadi dasar lahirnya undang-undang pelanggaran seksual yang baru dengan dukungan 101 suara.
Undang-Undang 1967 merupakan produk hukum yang relatif singkat (hanya memuat 11 bagian), walaupun judulnya panjang: “sebuah undang-undang untuk mengubah hukum Inggris dan Wales berkaitan dengan perilaku homoseksual.” Dalam Undang-Undang 1967 menyatakan tindakan homoseksual tidak lagi menjadi pelanggaran asalkan pihak-pihak tersebut berusia 21 tahun atau lebih.
Pada 1980an Margaret Thatcer sempat menyerang gagasan mengenai individu memiliki hak untuk menjadi homoseksual. Tak berhenti sampai situ, kampanye menolak homoseksual di institusi-institusi macam sekolah juga digaungkan. Belum lagi lahirnya histeria akan homophobia yang semakin menjadi-jadi akibat adanya gejolak HIV/AIDS.
Baca juga: SGRC-UI dan Penghakiman Terhadap LGBT
Pembaruan undang-undang yang terjadi pada 1967 hanya berlaku untuk Inggris dan Wales. Skotlandia masih menunggu sampai 1980 dan Irlandia dua tahun setelahnya. Namun, pembaruan pada 1967 nyatanya tidak berlaku menyeluruh. Misalnya, perilaku homoseksual dalam dinas militer masih dinyatakan tindak kriminal dan pelakunya berpotensi besar untuk dipecat dari kesatuan. Selain itu, UU tersebut hanya mengatur gay; tidak ada ruang bagi perempuan yang melakukan hubungan sejenis.
Pada akhirnya, memerlukan waktu cukup lama agar UU tahun 1967 benar-benar terealisasi dengan baik di Inggris. Dalih hukum yang digunakan untuk menjerat ilmuwan Alan Turing pada 1952 dan penulis Oscar Wilde pada 1895 (berupa “perilaku kasar yang tidak senonoh”) baru dicabut pada 2003 bersamaan dihapuskannya kriminalisasi seks anal. Dengan begitu, untuk pertama kalinya dalam 470 tahun, Inggris tidak menghukum perilaku seks homoseksual.
Lalu pada 2013 muncul Undang-Undang Pernikahan (termasuk dengan pasangan sejenis) yang terinspirasi dari Undang-Undang Hak Asasi Manusia 1998. Pada tahun 2000, batas usia pernikahan sejenis diturunkan dari yang semula 18 menjadi 16 tahun. Empat tahun berselang, Undang-Undang Pengakuan Gender disahkan. Apa yang terjadi di Inggris, nyatanya diikuti oleh negara lain di kawasan sekitar. Di Irlandia Utara, larangan seks anal dicabut pada 2008. Sementara itu, peraturan anti-homoseksual di Skotlandia dianulir pada 2009.
Pencapaian 50 Tahun dan Masalah yang Masih Dihadapi
Tahun ini, reformasi mengenai homoseksual yang tertuang dalam Undang-Undang 1967 memasuki usia setengah abad. Berbagai pencapaian sudah diperoleh selepas disepakatinya undang-undang tersebut. Menurut jejak pendapat yang dilakukan British Social Attitude, masyarakat Inggris mulai menganggap hubungan seksual dengan jenis kelamin sama adalah hal normal dan bisa diterima.
Penerimaan masyarakat Inggris terhadap homoseksual naik empat kali lipat dari jejak pendapat yang sudah dilakukan pada 1983. Apabila pada 1983 hanya 17 persen koresponden yang masih memandang hubungan sesama jenis sebagai suatu kesalahan, maka pada 2016 sebanyak 64 persen koresponden menyebutkan hubungan sejenis tidak salah.
Pada 2004, kemitraan sipil (civil partnership) telah disahkan di seluruh wilayah Inggris. Kemitraan sipil (civil partnership) terjadi ketika dua orang (termasuk sesama jenis) sepakat untuk hidup seia-sekata dengan hak dan kewajiban seperti halnya dalam pernikahan heteroseksual (laki-laki dan perempuan). Antara 2005 hingga 2015, total hampir 140 ribu orang Inggris mendaftarkan diri dalam kemitraan sipil. Pernikahan sesama jenis sampai saat ini, menurut Asosiasi LGBT Internasional (ILGA) ditetapkan sah secara hukum di 22 negara seluruh dunia. Jumlah itu hanya 11 persen dari total anggota PBB.
Sementara itu, warga usia muda (17-24 tahun) di Inggris lebih terbuka dengan statusnya sebagai gay, lesbian, biseksual, dan transgender (LGBT) dibanding dengan warga berusia tua (65 tahun ke atas). Berdasarkan angka yang dikeluarkan Kantor Statistik Nasional, persentase warga usia tua yang terbuka dengan statusnya sebagai LGBT hanya 1,7 persen dari populasi, dibandingkan dengan warga usia muda yang berada di angka 5 sampai 7 persen dari populasi.
Namun, di tengah sikap masyarakat Inggris yang lebih terbuka terhadap homoseksual atau LGBT, nyatanya diskriminasi sampai kriminalisasi terhadap kelompok ini masih marak terjadi. Menurut pengacara hak asasi manusia Alex Bailin, setelah Undang-Undang 1967 disahkan, kriminalisasi terhadap kelompok homoseksual atau LGBT melonjak tajam. Faktor penyebabnya bermacam-macam: kepanikan terkait AIDS pada 1980an sampai aktivitas seksual di fasilitas publik (seperti toilet umum) yang merupakan pelanggaran norma sosial. Bailin menambahkan, dalam aspek kehidupan tertentu pria gay akan tetap menjadi kriminal.
Arsip Kementerian Luar Negeri Inggris melalui menyebutkan terdapat 1.718 kasus homoseksual yang dianggap “tidak senonoh” dan dimasukkan sebagai pelanggaran berat pada 1989. Peter Tatchell, aktivis LGBT Inggris, lewat penelitiannya yang dilakukan pada 1974 mengatakan ada kenaikan dalam jumlah besar (sekitar 300 persen) mengenai kriminalisasi homoseksual antara 1966 (420 kasus) dan 1974 (1.711). Menurutnya, pengawasan kepada kelompok homoseksual telah peningkat drastis. Bagi aparat, ekspresi homoseksual di muka publik masih bisa dituntut dan pelakunya ditangkap.
Baca juga: Sikap Mendua Indonesia Terhadap LGBT
Pemerintah Inggris, melalui Departemen Dalam Negeri pun mengambil sikap. Untuk meminimalisir kriminalisasi terhadap kelompok homoseksual, pada Oktober 2012 dikeluarkanlah sebuah prosedur penghapusan tuntutan hukum homoseksual di masa lalu. Kementerian Dalam Negeri menyatakan ada sekitar 50 ribu pelanggaran yang terjadi pada 1950an sampai 2000. Namun, dari 50 ribu orang pelaku pelanggaran, hanya 16 ribu orang yang masih hidup hingga sekarang.
Meski demikian, dari 16 ribu yang tersisa, tidak semuanya memperoleh penghapusan tuntutan hukum masa lalu. Beberapa di antaranya tetap dianggap melanggar hukum karena berhubungan dengan orang di bawah usia 16 tahun dan melakukan aktivitas seksual di tempat umum. Dalam rentang Oktober 2012 hingga April 2016, 242 orang mengajukan penghapusan status hukum dan hanya 83 yang dikabulkan. Pemberlakuan aturan itu diubah pada 2016. Dalam perubahan tersebut, anggota keluarga dari pelaku homoseksual yang tercatat dalam arsip hukum berhak mengajukan penghapusan.
Masalah lain bagi kelompok homoseksual yang tak kalah penting ialah diskriminasi dan ujaran kebencian. Kelompok LGBT seringkali dipecat atau ditolak saat melamar pekerjaan akibat orientasi seksual dan identitas gender mereka. Mereka yang bekerja di bisnis perumahan maupun layanan barang dan jasa dikabarkan “tanpa perlindungan hukum dari tahun 2003 sampai 2007.” Tak sebatas itu, mereka yang gay atau lesbian berpotensi besar kehilangan hak asuh anak dalam kasus perceraian.
Di lain sisi, ujaran kebencian kepada LGBT kian meningkat. Menurut Mark Hamilton dari Dewan Kepolisian Nasional, selama lima tahun terakhir jumlah kebencian terhadap LGBT (homophobia) terus naik. Hamilton menambahkan, di balik naiknya ujaran kebencian terhadap homoseksual, juga dibarengi semakin tingginya tingkat pelaporan dari kelompok LGBT.
Fakta berbicara, walaupun Inggris merayakan setengah abad berlakunya reformasi Undang-Undang 1967, masih banyak negara di dunia yang menganggap homoseksual atau LGBT adalah tindakan melanggar hukum. Menurut ILGA, 72 negara melarang adanya LGBT. Masing-masing negara menerapkan bentuk pelarangan berbeda; ada yang melakukan pembatasan hukum, ada juga pula yang menghukum mati. Di antara 72 negara itu, Indonesia menyelip di antaranya meski tidak ada undang-undang yang melarang LGBT.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf