tirto.id - Wajah Nadya Karima Melati terlihat sangat lelah ketika ditemui di Reading Room, Kemang Timur, Jakarta. Setelah beberapa saat perbincangan, ia semakin sering meracau: bicara ke sana ke mari tanpa arah pasti. Matanya sering ia bulatkan, seolah berusaha menepis kantuknya. Ia mengaku sudah tiga hari tak bisa tidur.
“Kalau baik-baik saja itu ditandai dengan tiga hal; tidur nyenyak, makan enak, dan akses internet cepat, saya cuma dapat yang ketiga,” katanya.
Nadya adalah salah satu orang yang paling diburu media massa Indonesia di penghujung Januari 2016. Selain dicari-cari dan terus dihubungi para wartawan, ia juga mengaku mendapat intimidasi dari orang-orang tak dikenal melalui Facebook dan Whatsapp. Semua kekisruhan itu bermula dari munculnya tuduhan kampanye Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dari lembaga tempat Nadya bernaung.
SGRC dan Tudingan Kampanye LGBT
Nadya, wanita kelahiran 1994 ini baru saja menyelesaikan studinya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, akan segera diwisuda. Kerumitan hidup di penghujung masa studinya bermula dari Organisasi tempat Nadya aktif, Support Group and Resources Center on Sexuality Universitas Indonesia (SGRC-UI), diberitakan beberapa media sebagai organisasi yang mempromosikan LGBT.
Semuanya bermula dari poster LGBT Peer Support Network yang diadakan SGRC bersama Melela.org, yang berisi kisah dan pengalaman para insan LGBT saat membuka identitas diri kepada orang-orang terdekatnya. Poster ini tersebar viral di berbagai media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, hingga Blackberry Messenger (BBM).
Apa yang viral di media sosial kemudian ditulis oleh media massa. Sejumlah media langsung memberitakan tentang keberadaan poster tersebut seperti skandal besar di kampus. Republika, misalnya, menyediakan tag khusus untuk topik ini: LBGT masuk kampus dan LGBT serang kampus. Pada 22 Januari 2016, Republika Online menurunkan berita yang menyebut bahwa SGRC-UI sebagai “Organisasi atau komunitas bagi kalangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di kalangan mahasiswa, mahasiswi, dan para dosen.” Cap buruk langsung menempel pada SGRC.
Tak mau terseret cap buruk dari SGRC-UI, Universitas Indonesia (UI) langsung mengeluarkan pernyataan yang menepis adanya keterikatan dengan kelompok tersebut. Dalam pernyataannya yang dirilis 21 Januari 2016, pihak UI menyatakan bahwa SGRC tidak pernah mengajukan izin kepara pimpinan fakultas maupun UI ataupun pihak berwenang lain di dalam kampus UI.
“SGRC tidak memiliki izin resmi sebagai Pusat Studi/Unit Kegiatan Mahasiswa/Organisasi Kemahasiswaan baik di tingkat fakultas maupun UI,” tegas Humas dan KIP UI dalam pernyataannya.
Seketika SGRC-UI langsung dicap sebagai lembaga yang mempromosikan LGBT. Padahal, SGRC-UI adalah organisasi yang bergerak di bidang kajian seksualitas, reproduksi, dan orientasi seksual. Kegiatan mereka salah satunya adalah mengadakan pelatihan, pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual di kampus. LGBT tentu saja termasuk objek studi mereka.
Sesuai namanya, SGRC menyediakan sumber-sumber penting mengenai seksualitas dan memberi dukungan bagi para anggotanya yang memiliki masalah terkait. “Kami mengumpulkan publikasi-publikasi penting bertema seksualitas, mulai dari artikel-artikel ringan, hingga terbitan-terbitan jurnal dan buku-buku,” kata Nadya.
Nadya mengaku tidak menyangka, inisiatif SGRC membuat LGBT Peer Support Network akan berujung seperti ini. Kegiatan ini mereka niatkan untuk memberi konsultasi gratis dan dukungan bagi remaja LGBT. Niat itu terdorong oleh fakta bahwa remaja LGBT di Indonesia seringkali dipandang miring, tidak diterima keluarga dan masyarakatnya, didiskriminasi sehingga rentan mengalami depresi dan lebih jauh lagi banyak yang punya kecenderungan melakukan bunuh diri.
Komentar Pejabat
Ramainya masalah LGBT juga menuai komentar para pejabat negara. Semuanya berkomentar keras menentang LGBT. Misalnya, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M. Nasir, yang mengatakan bahwa kelompok LGBT semestinya tidak boleh masuk kampus. Menurut Nasir, LGBT bisa merusak moral bangsa.
“Kelompok LGBT tidak boleh dibiarkan berkembang dan diberi ruang segala aktivitasnya. Apalagi, komunitas LGBT disinyalir masuk ke kampus dengan kelompok kajian atau diskusi ilmiah,” kata Nasir.
Atas pernyataan ini, Menristekdikti mendapat protes keras dari sejumlah pegiat Hak Asasi Manusia. Poedjiati Tan, Sekretaris Jenderal LSM GAYa Nusantara, memulai petisi daring di Change.org dengan tuntutan agar Menristekdikti mencabut pernyataannya. Hingga awal Februari, Petisi baru ditandatangani 1.859 pendukung. Belakangan Nasir mengoreksi ucapannya sendiri. Dalam sebuah konferensi pers di kantornya, dan melaui akun Twitternya, Nasir menegaskan bahwa yang dilarang adalah mesra-mesraan kaum LGBT di lingkungan kampus.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan juga bersuara keras. Ia menegaskan pentingnya nilai agama, Pancasila, dan budaya untuk mencegah LGBT. “Untuk menjaga (LGBT) itu, maka orang tua dan guru harus sadar bahwa nilai itu harus diajarkan, ditumbuhkan, dan dikembangkan sejak usia dini. Bahkan, sebagian pakar menyebutkan sejak dalam kandungan,” katanya.
Beberapa anggota parlemen pun ikut berpendapat. Ketua MPR RI Zulkifli Hasan mengatakan, LGBT harus dilarang karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Selain Zulkifli, M. Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR RI dari fraksi PKS, dan Reni Marlinawati, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PPP juga mengatakan bahwa LBGT adalah penyimpangan dan bertentangan dengan norma-norma agama.
Tak mau ketinggalan, Walikota Bandung Ridwan Kamil juga urun komentar. Ridwan Kamil mengaku, pada dasarnya ia tidak mempermasalahkan preferensi seksual setiap orang. Namun, ia keberatan jika kelompok LGBT beraktivitas di ruang publik dan menunjukkan dengan terang identitas mereka. “Itu urusan pribadi masing-masing. Tetapi, pada saat membuka diri kemudian mengajak secara tidak langsung, menurut saya, itu yang melanggar etika dan norma, dan pasti saya tindak,” kata Ridwan Kamil yang juga berjanji akan bertindak jika mendapati kampanye LGBT di media sosial.
Hate Speech dan Inkonstitusional
Komentar para pejabat tinggi itu direspons oleh Forum LGBT Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Rabu, 27 Januari 2016, mereka menggelar pernyataan sikap atas komentar sejumlah pejabat di atas. Mereka menilai pernyataan para petinggi itu diskriminatif dan inkonstitusional.
Menurut Yuli Rustinawati, Ketua Arus Pelangi—LSM yang membela hak-hak LBGT dan anggota Forum LGBT, pernyataan-pernyataan diskriminatif para petinggi itu melanggar konstitusi, khususnya beberapa ayat dalam pasal 28 UUD 1945. “Aparatur negara seharusnya melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM warganya,” kata Yuli.
Pengacara Publik YLBHI, Pratiwi Febri, bahkan menyebut pernyataan Nasir dkk sebagai ujaran kebencian (hate speech). Pada 8 Oktober 2015, Kepala Polisi RI Jenderal Badrodin Haiti mengeluaran Surat Edaran (SE) No. SE/6/X/2015 mengenai Ujaran Kebencian. Berdasarkan edaran tesebut, ujaran kebencian adalah tindak pidana. “Sayangnya, hate speech ini ternyata tak berlaku jika berkaitan dengan kaum minoritas seperti Ahmadiyah, Gafatar, dan LGBT,” kata Pratiwi. Lebih jauh lagi, ia mengkhawatirkan pernyataan Nasir dkk dapat memicu aksi sepihak dari beberapa golongan masyarakat terhadap kelompok LGBT.
Kekerasan terhadap LGBT
Di Bandung, 25 Januari 2016, Front Pembela Islam (FPI) mulai melakukan penyisiran di sejumlah indekos di kecamatan Bandung Kulon. Tujuan FPI melakukan sweeping mendadak: mencari pasangan gay atau lesbian yang tinggal bersama. Keberadaan LGBT dianggap meresahkan warga. Di tembok-tempok fasilitas kota, FPI memasang spanduk besar bertuliskan: Lesbi dan Homo Dilarang masuk ke wilayah kami!
Menurut penelitian PEW Research Center 2013, Indonesia termasuk negara dengan tingkat penerimaan yang paling rendah terhadap homoseksualitas.Fenomena yang sama terjadi di negara-negara muslim lain. Namun,dibandingkan dengan Malaysia dan Pakistan—dua negara yang jelas-jelas melarang pernikahan sejenis melalui undang-undang, Indonesia bahkan lebih tidak toleran terhadap hubungan sesama jenis.
Penelitian PEW yang bertajuk “Global Divide on Homosexuality” ini digelar di 39 negara, melibatkan 37.653 responden. Di Indonesia, survei ini dilakukan dengan mewawancarai langsung 1.000 orang dewasa. Hasilnya, hanya 3 persen yang mendukung hak-hak kaum gay, 97 persen sisanya menyatakan bahwa gay tidak bisa diterima. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya perubahan dalam hal keberterimaan terhadap gay dalam lima tahun. Penelitian yang sama dilakukan pada 2009, hasilnya sama, 97 persen menolak gay.
Sementara penelitian LSM Arus Pelangi pada 2013 menunjukkan, 89,3 persen LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan dan perlakuan diskriminatif. Dari mereka yang diperlakukan tidak adil tersebut, 79,1 persen responden mengaku pernah mendapat kekerasan psikis, 46,3 persen mengalami kekerasan fisik, 26,3 persen kekerasan ekonomi, 45,1 persen kekerasan seksual, dan 63,3 persen merasakan kekerasan budaya.
WHO: LGBT Bukan Penyimpangan Kejiwaan
Mengapa penolakan terhadap LGBT masih begitu tinggi? Selain faktor ajaran agama, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap LGBT sebagai penyimpangan kejiwaan. Padahal, status homoseksualitas sebagai gangguan jiwa sudah dihapus dari daftar Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PPDGJ III) yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 1993. Sebelumnya, pada 1990, WHO telah mencabut homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa dalam International Classification of Diseases (ICD) edisi 10.
LGBT masih menjadi masalah yang sangat sensitif di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih sulit menerima. Kelompok LGBT menjadi kaum yang paling rentan terhadap penghakiman sepihak. Hak-hak mereka seringkali diabaikan. Sementara hukum di Indonesia tidak ada yang secara khusus mengatur perlakuan terhadap LGBT.
Bagaimanapun, setiap warga negara berhak atas perlindungan hukum. Dan setiap anggota masyarakat berhak mendapat penerimaan yang wajar dalam kehidupan sosialnya.
Menyimak pemberitaan media dalam beberapa pekan terakhir, kita bisa melihat betapa stigma masih dilekatkan kepada kelompok LGBT. Para pejabat negara yang mulia bahkan dengan suka cita ikut serta dalam usaha menyudutkan kelompok LGBT ini.
Insan LGBT tidak semestinya dihakimi, apalagi diperangi. Mereka perlu dilindungi.