tirto.id - Mari kita buka dengan fakta seperti ini.
Pada November 2016, polisi dan Front Pembela Islam (FPI) melakukan penggerebekan terhadap 13 pria yang dituding mengadakan “pesta seks gay” di Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Kabar mengenai rumor tersebut muncul kali pertama dari pesan berantai di lingkaran pengurus dan anggota FPI. Namun, ke-13 pria itu akhirnya dilepas polisi setelah mereka tidak terbukti melakukan tindak pidana.
Sembilan bulan sebelumnya, di Yogyakarta, pondok pesantren untuk waria bernama Al-Fatah ditutup oleh aparat setempat karena dianggap “tak berizin,” “bertentangan dengan nilai Islam,” dan “meresahkan warga sekitar.” LBH Yogyakarta, selaku kuasa hukum pesantren, menyebut penutupan sebagai bentuk “penghakiman secara sepihak.”
Masih pada bulan yang sama, kegiatan penyuluhan mengenai peningkatan akses keadilan bagi kelompok LGBTI di Indonesia, yang diadakan LSM Arus Pelangi di Hotel Grand Cemara, Gondangdia, Jakarta Pusat, dibubarkan oleh Polsek Menteng. Alasan polisi demi “menjaga ketertiban wilayah”, meski sebetulnya ada tekanan dari FPI. Aksi yang ditempuh polisi, menurut Arus Pelangi, “sungguh tidak beralasan."
Tahun 2017 aksi-aksi anti-LGBT makin buruk. Pada April, misalnya, Polres Kota Besar Surabaya meringkus beberapa pria yang diduga melangsungkan “pesta gay” di Hotel Oval. Aksi penggerebekan, sebagaimana diberitakan Antara, dilakukan setelah pihak polisi mendapat laporan dari masyarakat.
Selepas Surabaya lalu Jakarta, satu bulan kemudian. Polisi menangkap 141 orang yang dianggap berpartisipasi dalam “pesta gay” di Atlantis Gym & Sauna, Kelapa Gading. Penggerebekan itu memantik kontroversi sebab foto-foto korban tanpa busana—sengaja dilakukan oleh polisi—tersebar luas di media sosial (bahkan salah satu media lokal menggunakannya sebagai foto headline). Perlakuan polisi dinilai “merendahkan martabat manusia.”
Di Aceh, tempat syariat Islam dijadikan rujukan legal, dua pria diringkus polisi syariat karena dituduh melakukan hubungan seks sesama jenis. Konsekuensinya, mereka menerima hukuman cambuk 85 kali—yang dipertontonkan warga—sesuai keputusan majelis hakim Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh.
“Saksi mengintip melalui celah dinding saat ketika keduanya sedang berhubungan, lalu saksi memanggil saksi yang lain dan setelah itu kedua saksi memanggil warga. Setelah warga melihat kejadian tersebut, lalu mereka memutuskan mendobrak pintu kamar,” sebut majelis hakim dalam putusannya, seperti dilaporkan BBC Indonesia.
Aksi-aksi persekusi aparat polisi tak jua reda menjelang akhir tahun 2017. Di Bogor, pada September, 12 perempuan yang dituduh lesbian dipaksa diusir dari rumah karena “dianggap mengganggu ketenangan warga.” Pengusiran yang diklaim secara sopan itu dilakukan usai kelompok pemuda Islam setempat mengadukan kepada aparat perihal “tindakan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.”
Pada Oktober, Polres Metro Jakarta Pusat menggerebek T-1 Sauna di Ruko Plaza Harmoni Blok A, Gambir, dan meringkus 51 pengunjung laki-laki yang disebut-sebut terlibat dalam aktivitas “prostitusi gay.” Dari 51 orang, 7 di antaranya warga negara asing.
Human Rights Watch, organisasi hak asasi manusia internasional berpusat di New York, menegaskan sepanjang 2017, ada 300 orang ditangkap aparat polisi berbasis target orientasi seksual dan identitas gender.
Mereka diciduk di sejumlah sauna, kelab malam, kamar-kamar hotel, salon, dan rumah pribadi atas nama “mengganggu ketenangan masyarakat”. Human Rights Watch menyebut jumlah penangkapan itu adalah “peningkatan gila-gilaan” dari tahun-tahun sebelumnya sekaligus “rekor tertinggi di Indonesia”.
Inilah gambaran bagaimana kelompok LGBT begitu rentan dipersekusi oleh aparat polisi, imbas dari ketakutan massal yang diciptakan oleh pernyataan-pernyataan pejabat publik. Atas nama moral dan melanggar apa yang disebut “norma kebangsaan,” keadilan bagi kelompok LGBT diabaikan.
Dipermalukan dan Dijerat UU Pornografi
"Kepanikan moral pada 2016 turut membangkitkan aksi-aksi melanggar hukum yang dilakukan aparat terhadap kelompok LGBT di Indonesia,” ujar Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch Indonesia, kepada Tirto,awal Juli lalu. “Pemerintah Jokowi tak seharusnya diam saja. Ini tidak boleh diteruskan.”
Sejak gelombang penolakan terhadap kelompok LGBT ramai bermunculan pada 2016, aksi-aksi kekerasan kemudian mengiringinya, dengan intensitas yang meluas dan melebihi sekadar stigma verbal: digerebek, ditahan, dan dipermalukan di depan umum.
Dalam laporan terbaru Human Rights Watch berjudul "Takut Tampil di Hadapan Publik dan Kini Kehilangan Privasi: Dampak Hak Asasi Manusia dan Kesehatan Masyarakat dari Kepanikan Moral Anti-LGBT”, aksi-aksi represi diawali pengintaian polisi terhadap akun media sosial guna menemukan lokasi “acara.”
Setelah berhasil dilacak, polisi mendatangi lokasi, menangkapi mereka yang terlibat dalam “acara,” lalu terkadang menjejerkannya tanpa busana untuk kepentingan dipertontonkan ke media-media, serta menjadikan kondom sebagai barang bukti perilaku ilegal. Sesudahnya, mereka dijerat dengan UU Pornografi. Pola-pola seperti ini dapat dijumpai pada kasus Jakarta, Surabaya, dan Cianjur—semuanya pada 2017.
Tapi, persoalannya, penggerebekan ini bermasalah sejak dalam pikiran, dan bertentangan dengan hukum di Indonesia.
Dasar hukum UU Pornografi, misalnya. Poin utama dari UU Pornografi adalah menyasar pelaku-pelaku di muka umum. Namun, undang-undang yang kontroversial ini dipakai untuk meringkus kelompok LGBT di kamar-kamar hotel hingga rumah pribadi, yang notabene sudah termasuk ruang privat.
Anugerah Rizki Akbari, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, yang berfokus pada hukum pidana mengatakan bahwa regulasi di Indonesia tidak melarang aktivitas seksual yang dilakukan secara suka sama suka (by consent) dan tanpa kekerasan oleh warganya, baik yang heteroseksual maupun homoseksual.
Namun, ada pengecualian untuk aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang di bawah usia 18 tahun dan oleh pasangan yang salah satunya sudah terikat perkawinan dengan pihak lain. UU Perlindungan Anak dan Pasal 284 KUHP, yang mengatur perzinaan, adalah regulasi yang mengatur kedua pengecualian ini. Yang jadi masalah tatkala aktivitas seksual by consent bersinggungan dengan konteks muka umum.
“Sebenarnya bisa tidaknya UU Pornografi digunakan untuk menjerat seseorang tergantung dengan perbuatan yang dilakukan. Kalau dibahas berdasarkan terminologinya, di depan publik itu secara normatif diartikan dilakukan di depan lebih dari satu orang, baik itu di ruang tertutup dan untuk orang-orang tertentu saja maupun di tempat publik, seperti taman misalnya,” ungkap Rizki.
Ia menekankan, dalam UU Pornografi dan aturan hukum lain yang mengatur soal kesusilaan seperti pasal 282 KUHP, yang dilarang adalah menjadikan aktivitas seksual sebagai konsumsi publik.
“Kalaupun misalnya seseorang ingin berhubungan seksual dengan satu orang atau lebih, itu enggak masalah selama dikonsumsi untuk dirinya sendiri. Jadi masalah kalau tujuannya agar ditonton orang lain atau di muka umum,” tambahnya.
Ia mengungkapkan, apabila aktivitas seksual by consent dilakukan di kamar hotel, entah itu heteroseksual atau homoseksual, polisi tidak bisa memproses hukum karena tujuannya untuk konsumsi sendiri.
“Di UU Pornografi, tampaknya tidak ada pasal yang menyasar orientasi seksual tertentu. UU ini lebih berfokus pada produksi dan penyebarluasan konten, serta penyedia jasa dan pemberian fasilitas pornografi,” tegas Rizki.
Kadiv Humas Polri Setyo Wasisto dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Muhammad Iqbal tak menjawab konfirmasi dari Tirto untuk meminta penjelasan apa alasan legal polisi menangkap orang-orang yang dituduh LGBT.
Masalah selanjutnya perlakuan polisi terhadap kelompok LGBT setelah penangkapan. Contohnya dalam video Untung Sangaji, saat itu Kapolres Aceh Utara, yang menangkap dan “membina” 12 waria di lima salon. "Pembinaan" itu memaksa waria berteriak sampai suaranya menjadi seperti laki-laki, mencukur rambut mereka seperti laki-laki, dan memberi pakaian laki-laki.
Dalam kasus di Atlantis Kelapa Gading pada 2017, tatkala ratusan pria yang dianggap terlibat “pesta gay” dijejerkan tanpa busana, foto-fotonya menyebar dan bermain dalam opini publik untuk mendorong kebencian terhadap kelompok LGBT.
“Itu jelas-jelas pelanggaran hukum dan hak asasi manusia," ujar Muhammad Isnur, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, kepada Tirto. "Polisi seperti mencari kesalahan-kesalahan yang sebetulnya tidak ada dan di KUHAP [Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana] pun juga tidak dimuat. Menyebarkan foto korban, selain tidak manusiawi, juga mendorong munculnya hate speech di kalangan masyarakat, yang ditujukan pada kelompok LGBT.”
Kabidhumas Polda Metro Jaya Argo Yuwono saat ditanya Tirto mengenai beredarnya foto ratusan pengunjung Atlantis tanpa busana, justru menjawab, “Apakah ada bukti kalau yang sebarkan kepolisian?” Saat Tirto bertanya lagi bagaimana prosedur dan mekanisme kepolisian mengenai kasus Atlantis, ia menjawab: “Mohon maaf, saya sedang ada kunjungan polisi dari Taiwan.”
Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik lewat UU No. 12 tahun 2005. Konsekuensinya, Indonesia menjunjung tinggi pemenuhan HAM lewat hak kemerdekaan, kewarganegaraan, kedudukan yang sama di mata hukum, pekerjaan, berserikat dan berkumpul, hingga hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Apa yang terjadi pada kelompok LGBT di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengabaikan konstitusi tersebut. Bukannya melindungi, negara turut berperan mendorong kebencian terhadap LGBT.
“Kita harus punya strategi lain, selain memperkuat civil society, dalam memperjuangkan pemenuhan hak-hak kelompok minoritas,” ujar Lini Zurlia dari ASEAN SOGIE Caucus, lembaga nirlaba yang berpusat di Manila dan berfokus pada isu-isu LGBTIQ. “Kerjanya memang berat. Harus pelan-pelan biar napasnya panjang.”