Menuju konten utama

UU Pornografi yang Kerap Dipakai untuk Menjerat Gay

UU Pornografi beberapa kali digunakan untuk menjerat homoseksual yang melakukan aktivitas seks secara sukarela.

UU Pornografi yang Kerap Dipakai untuk Menjerat Gay
Ilustrasi kriminalisasi LGBT. FOTO/tirto.id

tirto.id - Lima laki-laki yang diduga tengah melakukan pesta di sebuah vila di daerah Cipanas ditangkap polisi di Cianjur pada hari Sabtu (13/1) lalu. Dilansir Antara, salah satu dari kelima laki-laki tersebut merupakan remaja usia 16 tahun.

Laki-laki berinisial AAW (50) yang tertangkap saat itu kemudian ditetapkan sebagai tersangka. AAW disebut sebagai pihak yang menentukan lokasi, memfasilitasi, dan menjadi penghubung pertama orang-orang yang terlibat dalam kegiatan di vila tersebut. Empat laki-laki lainnya ditetapkan sebagai saksi.

Pada Minggu (14/1), Kapolres Cianjur, AKBP Soliyah sempat mengungkapkan kepada Antara, para laki-laki yang ditangkap sehari sebelumnya akan dikenakan pasal 36 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Dalam pasal tersebut disebutkan, “Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Kendati demikian, polisi masih mendalami kasus ini untuk membuktikan apakah terdapat aktivitas prostitusi di dalamnya. Kesaksian orang-orang yang terlibat yang menyebutkan kegiatan di vila di Cipanas dilakukan secara sukarela tidak serta merta membuat polisi menyetop proses hukum terhadap mereka.

UU Pornografi memang beberapa kali digunakan untuk menjerat homoseksual yang ditangkap dalam penggerebekan. Pada Mei 2017, undang-undang ini juga dipakai untuk menjerat sejumlah laki-laki yang terlibat dalam pesta gay The Wild One yang diadakan di daerah Kelapa Gading.

Sebelumnya, di sebuah kamar hotel di Surabaya, polisi juga melakukan penggerebekan. Sebanyak 14 orang ditangkap dalam penggerebekan tersebut. Mereka dituding melanggar pasal 32, 33, dan 34 UU Pornografi dan pasal 45 UU ITE.

Kasus-kasus penangkapan gay ini mendatangkan pertanyaan, sejauh mana negara melalui polisi bisa menjamah kehidupan privat, termasuk aktivitas seksual warganya. Vila dan hotel bisa dianggap sebagai ruang personal, akan tetapi hal ini tidak menghentikan penggunaan UU Pornografi yang notabene menyasar pelaku-pelaku di muka umum atau pertunjukan.

Bagaimana sebenarnya interpretasi undang-undang ini sehingga bisa dipakai untuk menjerat sejumlah gay di Indonesia?

Sehubungan dengan hal ini, Tirto mewawancarai Anugerah Rizki Akbari, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera yang berfokus pada hukum pidana. Menurut laki-laki yang akrab disapa Eki ini, pada dasarnya, regulasi di Indonesia tidak melarang aktivitas seksual yang dilakukan secara suka sama suka (by consent) dan tanpa kekerasan oleh warganya, baik yang heteroseksual maupun homoseksual.

Namun, ada pengecualian untuk aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang di bawah usia 18 tahun dan oleh pasangan yang salah satunya sudah terikat perkawinan dengan pihak lain. UU Perlindungan Anak dan pasal 284 KUHP yang mengatur tentang perzinaan adalah regulasi yang mengatur kedua pengecualian ini.

Namun, aktivitas seksual by consent ini menjadi masalah saat bersinggungan dengan konteks muka umum.

“Sebenarnya bisa tidaknya UU Pornografi digunakan untuk menjerat seseorang tergantung dengan perbuatan yang dilakukan. Kalau dibahas berdasarkan terminologinya, di depan publik itu secara normatif diartikan dilakukan di depan lebih dari satu orang, baik itu di ruang tertutup dan untuk orang-orang tertentu saja maupun di tempat publik, seperti taman misalnya,” ungkap Eki.

Ia menekankan, dalam UU Pornografi dan aturan hukum lain yang mengatur soal kesusilaan seperti pasal 282 KUHP, yang dilarang adalah menjadikan aktivitas seksual sebagai konsumsi publik.

“Kalaupun misalnya seseorang ingin berhubungan seksual dengan satu orang atau lebih, itu nggak masalah selama dikonsumsi untuk dirinya sendiri. Jadi masalah kalau tujuannya agar ditonton orang lain atau di muka umum,” tambahnya. Ia juga mengungkapkan, kalau aktivitas seksual by consent dilakukan di kamar hotel, entah itu heteroseksual atau homoseksual, polisi tidak bisa memproses hukum mereka karena tujuannya adalah untuk konsumsi sendiri.

Infografik homoseksual

Ditanya mengenai apakah UU Pornografi ini memang dijadikan senjata untuk menangkapi homoseksual, Eki menjawab,“Di UU Pornografi, tampaknya tidak ada pasal yang menyasar orientasi seksual tertentu. UU ini lebih berfokus pada produksi dan penyebarluasan konten, serta penyedia jasa dan pemberian fasilitas pornografi.”

Kalau ada penggerebekan oleh polisi, pelaku mesti ditanyakan atas motivasi apa dia melakukan hal-hal terkait aktivitas seksual tersebut. Apakah dengan sengaja seseorang mempertontonkan diri di muka umum—sekalipun teman-temannya sendiri—dan apakah pihak yang memfasilitasi tempat dan acara memang bertujuan menyediakan jasa seks. “Perlu dicek juga apakah ada permintaan dan penawaran hal ini [jasa seks],” kata Eki.

Lebih lanjut Eki menjabarkan, biasanya, polisi mengincar pemilik atau produsen pornografi. Penggerebekan dilakukan dengan harapan polisi menemukan aktivitas pornografi, lalu menjadikan orang-orang yang ada di tempat kejadian sebagai saksi supaya bisa menangkap pemilik/produsen.

Untuk penyedia jasa atau fasilitas pornografi, Eki berpendapat bahwa pasal yang semestinya dikenakan untuk penyedia fasilitas bukanlah pasal 36, melainkan pasal 33 UU Pornografi.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Hukum
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani