tirto.id - April silam, Sina Weibo, media sosial nomor satu penduduk Cina, memblokir konten bermuatan gay. Konten yang diblokir antara lain gambar, ilustrasi, video, dan unggahan berbentuk teks.
Aksi blokir ini, sebagaimana diwartakanSouth China Morning Post, dilakukan guna “memenuhi aturan undang-undang keamanan siber” yang “menyerukan pengawasan data pengguna secara ketat.” Total, Weibo menghapus sekitar 56.243 konten "negatif", menutup 108 akun, hingga mengenyahkan 62 topik yang dinilai "melanggar standar."
Di bawah pemerintahan Xi Jinping, perusahaan internet menghadapi tekanan untuk menghapus konten yang dianggap pemerintah “tidak baik”—konten pornografi maupun politis—melalui undang-undang keamanan siber.
Aksi blokir konten ini memantik reaksi komunitas LGBT di Cina, yang menilainya sebagai diskriminasi. Setelahnya, muncul tagar perlawanan bertuliskan #Iamgaynotapervert dan slogan-slogan penolakan seperti, "Mulutku bisa diredam, tetapi cintaku tidak."
Bahkan, People’s Daily, surat kabar corong negara, menulis kritik terselubung dalam sebuah artikel. Kritik ini menegaskan bahwa gay atau biseksual “bukanlah penyakit.” Selain itu, tambah People’s Daily, kelompok gay perlu “mengambil tanggung jawab sosial sendiri dengan mengadvokasi hak-haknya.”
Dibungkam Pelan-Pelan
Pembungkaman yang menargetkan kelompok gay di Cina bukan kali ini saja. Pada Mei 2018, dua perempuan dipukuli aparat karena kedapatan hendak merayakan Hari Internasional Melawan Homofobia/Transfobia (IDAHOT).
Di Universitas Wuhan, pemangku kebijakan kampus memberi peringatan bahwa setiap mahasiswa dilarang mengikuti acara-acara solidaritas terhadap komunitas LGBT. Alasannya, “acara LGBT mungkin saja berkolusi dengan kekuatan Barat.”
“Aku percaya beberapa dosen pasti dipaksa untuk melakukan itu,” ujar Kun, mahasiswa gay di Universitas Wuhan. “Kedengarannya begitu konyol. Aku mulai berpikir untuk pindah ke negara lain yang ramah terhadap kami. Aku mencintai negara ini, tapi aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi terhadap sikap negara.”
Tak sebatas itu, pada Maret, film Call Me By Your Name yang memuat kisah homoseksual dilarang tampil dalam salah satu festival film di Cina. Dan tahun lalu, aplikasi lesbian terkemuka di Cina, Rela, ditutup pemerintah.
Pada dasarnya, LGBT tidak dilarang di Cina. Si Chen dalam “China’s Complicated LGBT Movement” menulis pemerintah telah mendekriminalisasi homoseksualitas pada 1997 serta secara resmi menghapusnya dari buku putih Standar Klasifikasi Gangguan Kesehatan Cina, yang dibuat Departemen Kesehatan.
Sejak itu, kelompok LGBT di Cina mulai “keluar” ke khalayak ramai dan mencoba mengubah persepsi publik selama ini. Survei global yang dilakukan Pew Research Center pada 2013 menyimpulkan 30 persen populasi penduduk muda mendukung homoseksualitas harus diterima, dibanding 15 persen penduduk tua yang menolak homoseksualitas.
Indikator lain, menurut survei tahun 2016 seperti dilansir Bloomberg, ada sedikitnya 70 juta gay di Cina dengan kemampuan daya beli yang ditaksir mencapai 300 miliar dolar AS per tahun. Kemudian, muncul aneka aplikasi kencan daring gay. Salah satu yang terkenal adalah Blued, dengan 27 juta pengguna.
Tak ketinggalan, ketika perayaan IDAHOT pada 17 Mei, banyak anak muda Cina terlibat dalam aksi itu dan membagikan lencana pelangi, gelang, atau selebaran, sebagai cara menunjukkan simpati dan dukungan kepada kelompok LGBT. Itu hari bersejarah karena belum pernah ada peristiwa serupa ketika orang-orang Cina secara terbuka mendukung kelompok LGBT.
Kendati begitu, dukungan dan keberadaan kelompok LGBT menemui batu sandungan dalam wujud pemerintah, yang dikomandoi Partai Komunis Cina. Pemerintah masih memandang rendah hubungan LGBT. Mereka beranggapan, relasi manusia, termasuk pernikahan, pada hakikatnya harus dibangun atas lawan jenis, bukan sebaliknya.
Walhasil, meski sudah didekriminalisasi, kelompok LGBT tetap diawasi pemerintah. Aktivitas mereka dibubarkan. Polisi menciduk pasangan gay. Beberapa teks dalam buku pelajaran masih menggambarkan homoseksualitas sebagai gangguan psikologis. Dan, karakter gay jarang ditampilkan budaya populer seperti film maupun tayangan televisi. Pemerintah juga tidak senang melihat banyak anak muda bergabung dalam gerakan sosial mendukung LGBT.
“Selama beberapa generasi, tidak ada pemberontakan yang menuntut kesetaraan hak bagi kelompok LGBT di Cina,” kata Adam Robbins, jurnalis AS yang menetap di Shenzen. “Sebaliknya, meski pemerintah tak melarang secara resmi, tapi mereka mengedepankan kebijakan ‘jangan mendorong dan jangan mempromosikan’ [LGBT].”
Represi Seksual Menghambat Penerimaan terhadap LGBT
James Palmer dalam “It’s Still (Just About) OK to Be Gay in China” menulis pengekangan media-media Cina—termasuk media sosial—oleh pemerintah memberi andil dalam represi serta pembatasan kelompok LGBT. Media-media tersebut, tulis Palmer, tidak bisa mengambil sikap selain mesti mematuhi seruan pemerintah yang menggaungkan sensor dan blokir terhadap perigal yang dianggap melenceng dari nilai-nilai sosial.
Karena media-media dipaksa tunduk oleh aturan pemerintah, hal itu berdampak pada kurangnya pendidikan seksual bagi masyarakat Cina, demikian Ma Baoli, pendiri Blued. Ia menyebut, ketika pendidikan seksual masih minim, budaya intoleransi yang menimpa kelompok LGBT semakin bertambah masif.
“Sangat mudah memperburuk diskriminasi publik terhadap minoritas seksual,” kata Ma.
Para aktivis mengatakan cengkeraman pemerintahan Xi di internet bakal meredam siar edukasi dan eksistensi kelompok LGBT dalam memperjuangkan hak-haknya. Kelompok advokasi terpaksa bersembunyi karena ketakutan dicekal aparat. Pengekangan ini juga berpotensi menambah tekanan serta menutup perlahan kesempatan kelompok LGBT tampil di publik, dan memikul stigma negatif.
“Hanya ada dua kemenangan nyata bagi gerakan LGBT di Tiongkok. Pertama, dekriminalisasi homoseksualitas dan kedua, memisahkannya dari gangguan mental. Keduanya berhasil terjadi di bawah tekanan dunia internasional," ujar Yuan Cai, fotografer paruh waktu di Shanghai sekaligus aktivis LGBT.
"Sekarang Cina jauh lebih kuat dan memutuskan untuk berurusan dengan masalah LGBT. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Mungkin bagus, [atau mungkin] lebih buruk. Kesempatan selalu berjalan dengan risiko. Kita harus memanfaatkannya dan berbicara sendiri,” tambahnya.
Pemblokiran oleh Weibo yang menyasar LGBT membuktikan pemerintah Cina tengah berusaha menempatkan isu LGBT di wilayah abu-abu. Pemerintah enggan dilihat sebagai lawan LGBT, tapi di sisi lain menolak untuk mendukung LGBT. Tanpa dukungan dari pemerintah, seberapa jauh gerakan LGBT dapat masuk ke Cina akan menjadi tanda tanya besar.
Karena bahkan jika generasi muda lebih terbuka terhadap isu-isu LGBT, budaya tradisional dan konservatif yang kuat dari keluarga dan pemerintah masih menjadi kendala. Satu hal, sebagaimana di Indonesia, perjuangan kelompok LGBT tak akan menyusut demi menuntut pemenuhan hak-hak setara sebagai warga negara.