tirto.id - Gubernur Aceh Irwandi Yusuf memastikan tak ada batasan pakaian untuk masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam ajang maraton internasional di Sabang pada Juli atau Agustus mendatang. Menurut Irwandi, peserta acara bisa menggunakan pakaian tanpa jilbab atau sorban saat berlari.
"Kita tidak katakan harus pakai jilbab untuk semua pelari, atau pakai sorban untuk pelari laki. Tapi, masyarakat peserta ini was-was. Dampaknya kepada jumlah yang mendaftar. Baru seminggu kami buka, baru 200 yang mendaftar," ujar Irwandi di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa kedua pekan kemarin.
Acara bertajuk "International Marathon of Aceh" rencananya digelar di Sabang, dengan jarak lari 42 kilometer, 21 kilometer, serta 10 dan 5 kilometer.
Irwandi berkata masih minimnya jumlah pendaftar “International Marathon of Aceh” lantaran isu seputar Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dalam beberapa waktu terakhir. Isu yang dimaksud adalah aksi Kapolres Aceh Utara AKBP Ahmad Untung Surianata Sangaji yang menangkap dan "membina" 12 waria di lima salon, akhir Januari lalu.
Irwandi memastikan tak ada batasan pakaian untuk wisatawan atau peserta acara maraton di Sabang. "Tidak ada, bikini banyak kalau mau lihat bikini," ujarnya.
Berimbas Buruk?
Miswar Fuady, sekjen Partai Nanggroe Aceh (PNA) dalam tulisannya di Serambi Indonesia, "Membangun Pariwisata Aceh" menyatakan pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi yang sedang digarap serius oleh pasangan gubernur-wakil gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah. Menurut Miswar, pariwisata menjadi satu dari 10 program prioritas pemerintah Aceh pada 2018.
Situsweb pemerintah setempat menyatakan Aceh memiliki sekitar 803 objek wisata dan 774 situs maupun cagar budaya yang tersebar di seluruh provinsi. Beberapa di antaranya Museum Tsunami, Goa Putri Pukes, Benteng Indra Patra, Kerkhoff, Rumah Adat, Benteng Jepang, hingga wisata laut di Sabang.
Pada 2016, Aceh meluncurkan branding baru pariwisata bertajuk “The Light of Aceh” atau “Cahaya Aceh.” Branding ini merefleksikan "semangat bagi seluruh masyarakat" yang disatukan melalui Syariat Islam. Pada tahun yang sama, Aceh masuk nominasi ajang Kompetisi Pariwisata Halal Nasional 2016 oleh Kementerian Pariwisata RI.
Secara umum wisata halal dapat diartikan kegiatan wisata yang khusus memenuhi kebutuhan berwisata masyarakat Islam. Dalam implementasinya, wisata halal diwujudkan paket perjalanan yang mengacu pada aturan Islam: dari perjalanan, penentuan tujuan wisata, akomodasi, hingga kuliner.
Pemerintah Aceh telah menggenjot pariwisata halal, misalnya menambah rute penerbangan, memperbaiki infrastruktur penunjang seperti jalan, hingga mengadakan kegiatan bertaraf nasional maupun internasional. Sebut saja Aceh Internasional Rapa’i Festival, Aceh Marathon International, Sail Sabang, Festival Danau Lut Tawar, Aceh International Surfing Championship, sampai Festival Pulo Aceh.
Namun, upaya menggenjot pariwisata halal berpotensi terhalang kebijakan-kebijakan yang diskriminatif, salah satunya persekusi terhadap kelompok minoritas (dalam hal ini LGBT). Persekusi oleh Kapolres Aceh Utara AKBP Ahmad Sangaji adalah segelintor contoh kasus yang pernah terjadi di Aceh.
Laporan Human Rights Watch menyatakan kebijakan pemerintah Aceh bertentangan dengan kewajiban-kewajiban Indonesia dalam menegakkan hukum internasional. Lewat Qanun Jinayah—hukum pidana Islam yang diterapkan pada 2015 dan mencakup larangan alkohol, perjudian, seks di luar nikah, dan LGBT, pemerintah Aceh telah memicu homofobia, kriminalisasi kelompok minoritas, dan menjadikan LGBT sebagai sasaran kebencian umum.
Di antara kasus yang disebut Human Rights Watch sebagai contoh “penyebaran homofobia oleh pemerintah Aceh” adalah penangkapan perempuan yang diduga berhubungan sesama jenis dan surat edaran dari pemerintah Kota Bireuen pada 2016 yang menyerukan semua pemilik usaha menolak mempekerjakan LGBT.
Teuku Kemal Fasya, dosen antropologi Universitas Malikussaleh Aceh, menyatakan aksi-aksi persekusi pemerintah Aceh kepada kelompok minoritas LGBT turut memperburuk citra Aceh di mata orang luar provinsi.
“Semua berawal dari kasus salon Januari lalu. Kasus ini menggelinding begitu cepat karena direspons oleh Komnas HAM yang menyebut aksi itu melanggar hak asasi. Tapi masalah tak berhenti sampai di situ. Meski ditentang, aksi Kapolres seolah dilegitimasi dan diperbolehkan sebab gubernur mendukung aksi persekusi ini,” kata Kemal kepada Tirto.
Aceh dipandang buruk terhadap kelompok minoritas. Citra coreng ini disinyalir Kemal berdampak pada pariwisata dan pandangan investor terhadap Aceh.
“Bagaimanapun, kelompok-kelompok fundamentalis agama di sini menyumbang terhadap opini publik luar Aceh yang menyebut Aceh tidak ramah. Ujung-ujungnya, persepsi publik turut mengubah pandangan, katakanlah, investor asing dan wisatawan. Mereka yang sedianya ingin menanamkan modal atau berkunjung ke sini jadi ragu sebab melihat Aceh tidak toleran terhadap kelompok minoritas,” ujarnya.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam laporannya menempatkan Aceh di ranking 21 dengan realisasi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) sebesar Rp410,6 miliar dari 57 proyek. Untuk PMA (Penanaman Modal Asing), Aceh menempati posisi 20 dengan realisasi investasi 98,2 juta dolar AS dari 36 proyek. Perhitungan ini berdasarkan pada Triwulan IV 2016 (Oktober-Desember) serta menyasar 34 provinsi di Indonesia.
Sementara pada Triwulan I (Januari-Maret) 2017, realisasi investasi asing di Aceh menurun. Untuk PMA, jumlahnya tak sampai satu juta dolar (0,95) dari 23 proyek dan menempati posisi buncit dari 34 provinsi. Sedangkan untuk PMDN, realisasinya naik menjadi Rp503,39 miliar dari 43 proyek.
Dalam empat tahun terakhir, jumlah wisatawan mancanegara di Provinsi Aceh naik stabil tapi turun signifikan pada 2017. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, pada 2014 wisatawan mancanegara berjumlah 22.787. Setahun berselang angkanya naik 28.375. Pada 2016, wisman yang datang ke Aceh melonjak hingga 42.222, lalu turun setahun kemudian menjadi 33.105 orang.
Wisata Halal di Nusa Tenggara Barat
Wilayah lain yang mengusung konsep "wisata halal" adalah Nusa Tenggara Barat. Pada 2015, Lombok mendapatkan penghargaan World Best Halal Tourism Destination dan World Best Halal Honeymoon Destination dalam ajang The World Halal Travel Summit/Exhibition yang diumumkan di Uni Emirat Arab. Selain itu, NTB memiliki Perda 2/2016, khusus mengatur pariwisata halal.
Destinasi wisata di NTB juga beragam, dari Pulau Kenawa, Gili Trawangan, geopark Gunung Rinjani, sampai Pantai Senggigi. Dari sisi kegiatan, NTB punya Festival Pesona Bau Nyale, Tour de Lombok, Komodo Exercise, sampai maraton Rinjani 100.
Pada 2018, Pemprov NTB sudah merencanakan 15 kegiatan pariwisata bertaraf nasional dan internasional.
Kendati mengusung konsep wisata halal, pemerintah NTB tergolong melonggarkan implementasinya. Untuk regulasi alkohol, misalnya. Seperti dilansir Radar Lombok, pemerintah Provinsi NTB melalui Biro Hukum telah memenuhi permintaan Kementerian Dalam Negeri pada 2016 terkait penghapusan Perda 4/1997 tentang Larangan, Pengawasan, Pengendalian, Penertiban, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Sebagai gantinya, alkohol masih boleh diperjualbelikan, meski sebatas di tempat-tempat tertentu seperti resor, bar, hingga hotel sesuai amanat Permendag No. 06/M-DAG/PER/1/2015.
Demikian pula untuk isu LGBT. Pada 2016, mantan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengklaim di NTB ada kelompok LGBT yang mulai mengincar anak-anak. Tak lama setelah komentar Khofifah, Wakil Gubernur NTB Muhammad Amin mengaku resah dengan LGBT serta menyebut mereka "tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama."
Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bima juga turut meminta Wali Kota Bima untuk merilis surat larangan terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan kelompok LGBT di Bima. Meski begitu, sejauh ini, pemberitaan tersebut tidak direspons pemerintah dengan pembentukan aturan pelarangan maupun aksi-aksi persekusi terhadap LGBT.
Longgarnya implementasi wisata halal di NTB sebetulnya tidak mengagetkan mengingat wilayah ini dirancang sebagai destinasi utama pariwisata Indonesia menggantikan Bali. Hal ini bisa dilihat dengan mencantumkan Lombok ke dalam 18 destinasi Visit Wonderful Indonesia serta ada dukungan penuh dari pemerintah pusat (lewat pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika). Data BPS menunjukkan selama empat tahun terakhir (2013-2016) jumlah wisman terus naik: 565.944 orang, 752.306 orang, 1.061.292 orang, sampai 1.404.328 orang.
Agak Longgar di Sabang
Aceh sebetulnya memiliki wilayah yang cenderung longgar menerapkan konsep wisata halal, yakni Sabang. Brian Padden dalam "Sabang, Surga Pariwisata yang Masih Terpendam" (dipublikasikan VOA Indonesia) menerangkan meskipun ada syariat Islam yang melarang alkohol dan mewajibkan pemakaian jilbab untuk perempuan, "kedatangan turis internasional ke Pulau Weh terus meningkat."
Kunci kesuksesan ini, tulis Padden, "terletak pada kesepakatan antara para pemilik hotel dan pemerintah setempat untuk sama-sama mengakomodir pengunjung asing dan menghormati budaya lokal."
Freddie Rousseau, mantan staf PBB dan pemilik hotel di Sabang, mengatakan: “Meskipun menurut hukum syariat, yakni minuman beralkohol dilarang, fakta bahwa saya hanya menjual minuman beralkohol kepada pengunjung internasional atau warga non Muslim membuat masyarakat juga menghargai aspek tersebut.”
Wisatawan AS bernama Mollie Hightower mengakui bikini diperbolehkan selama masih di wilayah resor (hotel).
"Sebelum saya memakai pakaian renang, saya bertanya dan memastikan bahwa dibolehkan mondar-mandir dengan bikini di pantai ini dan mereka mengatakan boleh saja di daerah resor," ucapnya.
Walaupun ada kelonggaran, ada juga beberapa aturan yang harus ditaati seperti larangan tidur bersama bagi pasangan yang belum menikah.
Sabang menjadi salah satu destinasi unggulan di Aceh. Jumlah kunjungan wisatawan ke Sabang meningkat setiap tahun. Pada 2015, jumlahnya mencapai 629.217 orang (terdiri 623.635 wisatawan lokal dan 5.582 wisman). Untuk Triwulan I (Januari-Maret) 2016, jumlah kunjungan mencapai 43.486 orang (42.800 wisatawan lokal dan 686 orang wisman).
Munawar Liza Zainal, Wali Kota Sabang saat itu, mengatakan kepada VOA Indonesia bahwa tidak akan terjadi konflik antara parawisata dan aturan syariat sepanjang wisatawan menghormati budaya setempat yang berarti, "berpakaian pantas saat mengunjungi perkampungan" dan "tidak mengadakan pesta yang bising."