tirto.id - Nama AKBP Ahmad Untung Surianata Sangaji kembali jadi sorotan. Setelah aksi heroik melumpuhkan pelaku teror pada bom Sarinah, awal 2016, kini Sangaji kembali mendapatkan sanjungan.
Untung Sangaji yang kini menjabat sebagai Kapolres Aceh Utara disambut bagai pahlawan, pada Minggu (28/1/2018) dini hari oleh sebagian warga Kabupaten Aceh Utara. Aksinya menangkap dan membina 12 waria di lima salon di Kecamatan Lhoksukon dan Pantonlabu panen dukungan.
Sangaji berbangga kepada warga saat penangkapan itu. Beredar sebuah cuplikan video saat Sangaji menyuruh anak buahnya untuk membawa waria ke kantor polisi. Para waria itu mendapatkan "pembinaan" antara lain mereka dipaksa berteriak sampai suaranya menjadi seperti laki-laki. Selain itu, rambut mereka dicukur dan diberi pakaian laki-laki.
"Petugas juga membina mereka dengan cara disuruh berlari sejenak, kemudian juga disuruh bersorak sekeras-kerasnya hingga suara pria mereka keluar,” kata Sangaji seperti dilansir Antara, 29 Januari lalu.
Ia mengklaim, operasi ini untuk mencegah meningkatnya populasi lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang dinilai akan berdampak buruk terhadap generasi muda. Namun, aksi ini bukan tanpa kritikan, Untung Sangaji akhirnya memulangkan para waria itu..
“Mereka sudah pulang ke rumah masing-masing sejak tadi siang, dan kini mereka sudah macho-macho,” kata Sangaji seperti dikutip Antara, 30 Januari lalu.
Sangaji mengklaim setelah upaya "pembinaan" tersebut, para waria itu menjurus menjadi pria sesungguhnya" walaupun belum sepenuhnya.
Tindakan Sangaji ini mendapat kritikan antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur menilai, polisi tidak mengindahkan kaidah hukum dan bertindak sewenang-wenang dalam kasus yang dilakukan oleh AKBP Sangaji di Aceh Utara.
Menurut Isnur, polisi seharusnya bisa melindungi warga dan tidak bertindak sewenang-wenang. Meski dianggap meresahkan masyarakat. Menurutnya, waria tersebut tidak melanggar hukum pidana yang ada.
Isnur menganggap, waria tidak melakukan kesalahan dengan membuka salon dan mencari rezeki. Seharusnya, polisi bisa membuktikan pelanggaran pidana sesuai prosedur yang berlaku, bukan dengan upaya penggerebekkan atau panangkapan tanpa bukti pelanggaran.
"Waria memang kesalahannya di mana? Orang itu dihukum karena perilaku, bukan karena dirinya. Tidak ada kesalahan hukum apapun atas status seseorang sebagai waria. Tidak perlu ada pembinaan-pembinaan. Jika hendak membantu, ya bantu kembangkan usahanya,” kata Isnur, kepada Tirto, Jumat (2/2/2018).
Selain menyalahi Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar HAM dalam Penyelenggara Tugas Kepolisian, menurut Isnur, aksi Sangaji juga dianggap melanggar Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan.
Sampai sekarang, Isnur juga tak menemukan peraturan daerah atau Qanun Aceh yang menganggap waria sebagai pelanggaran hukum. Padahal, Sangaji berdalih bahwa penangkapan dilakukan karena waria bertentangan dengan syariat Islam di Aceh.
"Seharusnya tidak boleh atas dasar ketidaksukaan lantas polisi bertindak semena-mena dan tidak adil," kata Isnur.
Menanggapi pro-kontra di masyarakat terkait penggerebekan waria di Aceh, Mabes Polri melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigjen Pol Muhammad Iqbal menyampaikan, bahwa Sangaji diperiksa oleh divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Polda Aceh.
Menurut Iqbal, pihaknya akan mendalami terkait tindakan Sangaji di Aceh Utara. Jika memang terbukti melanggar prosedur, maka Sangaji bisa dikenakan sanksi.
"Mekanisme sudah jelas ketika ditemukan kesalahan prosedur kami akan periksa. Ada tindakan disiplin dan kode etik profesi. Bila tidak ditemukan akan di clear-kan. Tentunya upaya-upaya komunikasi berbagai pihak akan dilakukan," terang Iqbal.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz