tirto.id - Sejak kecil, Kevin Halim, 27 tahun, sadar bahwa semestanya hanya mengenal jenis kelamin sekaligus gender perempuan atau laki-laki. Sejak dini pula, ia sadar dirinya tak masuk ke dalam dua kategori itu.
Mulai bangku taman kanak-kanak, ia sudah dirundung karena lebih banyak berteman dengan perempuan. Semakin lama, perisakan demi perisakan dirasakannya semakin kuat. Bahkan, di SMP, Kevin menjadi bulan-bulanan guru. Karena gesturnya yang feminin dan gemulai, guru sering menyindirnya.
"Ini jangan dijadikan contoh ya, ini contoh yang buruk, pokoknya kalian enggak boleh kayak gini," Kevin menirukan omongan gurunya di depan kelas. Yang dirujuk sang guru tentu Kevin, "anak laki-laki yang bertingkah seperti perempuan."
Dunia Kevin semakin suram saat ia memasuki SMA khusus laki-laki. Tak ada satu pun siswa yang mau berteman dengannya. "Kalau tugas kelompok, saya bilang ke guru saya, ‘Sudah deh, Pak, saya ngerjain sendiri saja daripada enggak ada [teman] kelompok’," paparnya.
Tentu, lebih dari sebelumnya, Kevin menjadi bahan risakan setiap hari. Bahkan, suatu hari ada yang menyimpan beha di tasnya. "Bullying ya sudahlah [terbiasa], tapi ketika beha itu dimasukin ke tas, [gue pikir] ini sudah gila kali, ya."
Setelah masuk ke perguruan tinggi, Kevin melakukan transisi. Merasa gendernya perempuan, ia pun mulai berpenampilan sebagaimana perempuan berdandan. Pada masa ini, bahkan dosen ada yang menunjukkan perilaku diskriminatif. Namun, di bangku kuliah ini, ia memiliki teman yang juga mendukungnya.
“Beberapa ada yang baik, sportif bilang, 'Sudah kamu jangan dengerin, kau fokus selesaikan kuliah aja'."
Diskriminasi di lingkungan kampus yang paling membuat Kevin jengkel adalah saat upacara yudisium. Kala itu, Kevin ditolak untuk masuk ke ruangan acara karena dirinya mengenakan dress.
“Boleh enggak kamu ganti baju, kalau kamu ganti baju, kamu masuk," Kevin menirukan ucapan panitia kepadanya. "Saya [menjawab], enggak, saya enggak bawa baju ganti." Akhirnya, Kevin pun tak mengikuti acara yudisium.
Diskriminasi dan semua perundungan itu tak mematahkan semangat Kevin untuk belajar. Menjadi transpuan tidak mempengaruhi prestasinya di dunia pendidikan. Pada 2018 ini Kevin baru saja menyelesaikan pendidikan magisternya dalam bidang studi gender di University of Aberdeen, Skotlandia.
Diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia
Kevin tak sendirian. Ia adalah salah satu bagian dari kelompok minoritas yang biasa disebut LBGTQ: lesbian, biseksual, gay, transgender, queer.
Mei 2018 lalu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat (PDF) merilis laporan tentang “Bahaya Akut Persekusi LGBT”. Isinya adalah soal tingginya sentimen publik terhadap kelompok LGBT yang mengakibatkan timbulnya tindakan pelarangan seperti diskusi di ruang akademik, diskriminasi di tempat kerja dan pendidikan.
Contohnya adalah Universitas Andalas yang membuat persyaratan bebas LGBT bagi calon mahasiswa baru. Dalam laporan itu pula, LBH Masyarakat mencatat masih ada akademisi yang melakukan diskriminasi terhadap kelompok rentan ini.
Selain di lingkungan pendidikan, hak kelompok LGBT juga kerap diabaikan dalam dunia kerja. Dalam laporan yang ditulis International Labour Office (ILO) berjudul “Pride at work: A study on discrimination at work on the basis of sexual orientation and gender identity in Indonesia” (PDF) dijelaskan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap kelompok LGBT di dunia kerja. Hal itu terjadi sejak proses lamaran kerja, tes keterampilan, dan wawancara.
Pada laporan yang dirilis pada 2016 itu, tertulis bahwa diskriminasi paling sering terjadi pada proses wawancara. Di tahap itu, pelamar pria yang berpenampilan feminin atau pelamar perempuan yang berpenampilan maskulin lebih sulit lolos
Pengalaman itu juga dialami Kevin. Ia menceritakan pengalamannya kala melamar di sebuah perusahaan startup. Mulanya, pewawancara yang merupakan pekerja bagian Human Resources Development (HRD) itu tertarik dengan kepandaian Kevin. Bahkan, HRD itu yakin bahwa Kevin mampu jadi manajer sebelum masa 5 tahun kerja. Namun, keyakinan itu runtuh saat Kevin mengungkapkan bahwa dirinya adalah transpuan.
"Bapak, Anda harus tahu bahwa saya adalah trans," kata Kevin kepada sang pewawancara.
Meski akhirnya diterima, pewawancara itu menjelaskan bahwa sebenarnya perusahaan itu keberatan dengan gender Kevin. Menurut mereka, transpuan kerap diasosiasikan dengan pekerja seks.
Kinerja Kevin baru diakui oleh perusahaan tersebut setelah ia mengundurkan diri dan pindah ke United Nation Development Program (UNDP), sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kevin menyayangkan tingginya diskriminasi di lingkungan pendidikan dan pekerjaan yang kerap dialami oleh kelompok LGBT. Padahal, menurutnya, kesempatan-kesempatan tersebut bisa meningkatkan kualitas hidup bagi mereka.
Diskriminasi Buruk bagi Ekonomi
Diskriminasi terhadap minoritas bukan hanya melanggar hak-hak dasar manusia. Hal itu juga berpeluang membikin ekonomi terpuruk. Pada 2017, M.V. Lee Badgett, bersama dua rekannya melakukan penelitian berjudul “LGBT Exclusion in Indonesia and Its Economic Effects” (PDF). Studi itu menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap LGBT di lingkungan kerja adalah praktik buruk yang dapat mempengaruhi produktivitas ekonomi.
Badgett, dkk mengatakan bahwa praktik itu membuat orang yang memiliki keterampilan malah kehilangan kesempatan kerja yang baik. Karena kecakapannya tak terwadahi, kelompok LGBTQ akhirnya bekerja di sektor-sektor informal yang sama sekali tak sesuai dengan keahlian mereka, misalnya pekerja seks.
Dalam hal ini, masyarakat umum "galau". Kerap menolak kelompok trans pada pekerjaan formal, tetapi melihat prostitusi waria sebagai hal yang harus diberantas.
Contoh nyata yang terjadi di Aceh pada Januari 2018 lalu. Sebanyak 12 waria dari sejumlah salon di Kabupaten Aceh Utara ditangkap oleh polisi syariat. Alasannya: polisi akan membina mereka menjadi pria. Bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya, jika mereka ditangkap saat melakukan pekerjaannya?
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani