Menuju konten utama

Nyeri yang Tak Diakui: Bias Gender di Dunia Medis

Hormon, beban pikiran, dan kondisi emosional acap kali dijadikan kambing hitam saat perempuan menyampaikan keluhan kesehatan. Mengapa begitu?

Nyeri yang Tak Diakui: Bias Gender di Dunia Medis
Header Diajeng Bias Gender Layanan Medis. foto/istockphoto

tirto.id - "Ah, itu cuma stres. Istirahat saja, nanti juga sembuh.”

"Oh, rambut rontok itu karena hormon. Habis ini juga tumbuh lagi."

Saat memeriksakan diri ke penyedia layanan kesehatan, apa kamu pernah menerima respons yang terkesan menyepelekan kondisi sakitmu seperti di atas?

Kenyataan pahit tentang bias gender masih dirasakan perempuan di seluruh dunia, tak terkecuali dalam mendapatkan akses layanan kesehatan yang baik.

Artikel BBC tahun lalu melaporkan dua pertiga perempuan di Australia pernah mengalami bias atau diskriminasi gender saat menerima pelayanan kesehatan.

Temuan ini didapat setelah pemerintah federal Australia menggandeng tim ahli untuk mengungkap "misogini medis".

Laporan tersebut menyebutkan, selain keluhan sakit yang diabaikan atau misdiagnosis, banyak perempuan diperlakukan secara diskriminatif saat berada dalam kondisi paling rentan, seperti selama persalinan atau pemeriksaan intim.

Kepada BBC, enam perempuan berbagi pengalaman mereka.

Saat berkonsultasi tentang keluhan kesehatannya, mereka mengaku pernah disebut “cemas”, “memaksa”, bahkan “histeris”.

Nadiah Akbar, salah satu perempuan yang diwawancarai, bercerita bahwa dokter di Singapura pernah mendiagnosis kelelahan ekstrem yang dia alami disebabkan oleh stres karena kesibukannya sebagai ibu.

"Tes kemudian menunjukkan bahwa itu adalah kanker tiroid," tulis BBC dalam laporannya.

Dikutip dari laman Northwell Health, studi ilmiah di Academic Emergency Medicine (2008) menemukan bahwa perempuan yang pergi ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan keluhan nyeri perut parah harus menunggu hampir 33 persen lebih lama daripada laki-laki dengan gejala sama.

Ahli ginekologi di Katz Institute for Women's Health, Stephanie Trentacoste McNally, MD sepakat mengenai adanya bias gender di dunia medis.

Menurut dia, saat ini masih ada kepercayaan di komunitas medis bahwa keluhan kesehatan dari perempuan berkaitan dengan hormon atau sekadar pikiran di kepalanya.

Di masa lalu, kata McNally, histeria merupakan diagnosis medis yang lazim untuk perempuan. Setiap kali perempuan menunjukkan emosi-emosi yang “tidak pantas”, seperti kecemasan, marah, atau hasrat seksual, mereka disebut mengidap histeria.

"Selama berabad-abad, diyakini bahwa rahim itu sendiri adalah penyebab gejala-gejala ‘histeris’ pada perempuan, " kata McNally kepada Northwell Health.

McNally menyayangkan hormon masih sering dijadikan kambing hitam ketika perempuan menyampaikan keluhan kesehatan.

"Hormon tidak membuat kita cemas atau kesal—sikap merendahkan itulah yang membuat kita cemas atau marah," ujarnya.

Spesialis jantung di Katz Institute for Women's Health, Jennifer Hermina Mieres, MD menambahkan, beberapa gejala sakit perempuan acap kali dianggap sebagai psikosomatis—sakit fisik yang disebabkan pikiran.

Mieres bercerita tentang pengalamannya menangani pasien perempuan dengan keluhan tekanan di dada dan kesulitan mempertahankan stamina saat berolahraga.

Dokter-dokter sebelumnya meminta pasien tersebut agar tidak khawatir. Kondisinya disebut sebatas kombinasi gejala perimenopause dan stres akibat tekanan pekerjaan.

Tak semudah itu percaya, pasien itu pun meminta pendapat alternatif dari Mieres, yang menyarankannya untuk menjalani tes stres sederhana dan pemindaian kalsium arteri koroner.

"Ternyata, ada plak di beberapa arterinya. Gejalanya bukan disebabkan oleh hormon dan kecemasan—melainkan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung koroner tahap awal," papar Mieres.

Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sekaligus Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, PhD, bias gender di ranah medis disebabkan oleh berbagai faktor, akan tetapi utamanya tentu berkaitan dengan stereotip gender.

Narila menjelaskan, tenaga kesehatan bisa saja menilai perempuan lebih emosional dan terlalu berlebihan dalam menyikapi rasa sakit.

Perempuan bisa juga dianggap memiliki toleransi terhadap rasa sakit yang lebih rendah daripada laki-laki. Padahal perempuan dan laki-laki jelas memiliki perbedaan secara fisiologis.

"Perempuan mengalami menstruasi, melahirkan, menyusui. Pengalaman reproduksi perempuan dan laki-laki sudah sangat berbeda, akan tetapi kemudian dianggap sama saja. Ini akan berdampak pada cara memberikan pelayanan kesehatan yang terpengaruh bias gender," kata Narila.

Tak hanya itu, kata Narila, bias gender di dunia medis juga terjadi karena selama ini lebih banyak pedoman dan penelitian kesehatan yang dibuat berdasarkan perspektif laki-laki dan kurang mempertimbangkan sisi perempuan.

"Sehingga lagi-lagi perempuan berada dalam situasi tidak menguntungkan. Terkadang tidak diperhitungkan atau dianggap penting pendapatnya termasuk dalam hal pelayanan kesehatan yang diterimanya," paparnya.

Narila menyinggung pula belum optimalnya edukasi soal perspektif gender untuk calon tenaga medis.

Selain itu, masih ada faktor bias terkait akses kesehatan laki-laki dan perempuan.

Contohnya, program Keluarga Berencana (KB). Perempuan kerap ditanya apakah keinginannya menggunakan jenis KB tertentu sudah dapat persetujuan dari suami.

Dalam beberapa kasus, ada suami yang tidak mengizinkan istri menggunakan jenis KB yang diinginkan. “Padahal, itu tubuh perempuan—yang akan menanggung dampak [program KB] juga perempuan.”

Budaya patriarki yang masih kental, kata Narila, turut menyuburkan bias gender di dunia medis.

Pada akhirnya, yang Narila sayangkan, bias gender dapat berdampak pada kurangnya akurasi atau ketepatan diagnosis pada pasien.

Header Diajeng Bias Gender Layanan Medis

Header Diajeng Bias Gender Layanan Medis. foto/istockphoto

Narila mengungkapkan beberapa hal yang dapat diupayakan untuk mengatasi bias gender yang mungkin terjadi di dunia medis.

Ia menyuarakan urgensi untuk lebih meningkatkan pemahaman soal gender di kalangan tenaga medis sejak masa pendidikan dan pelatihan.

Terkait penelitian dan penyusunan pedoman kesehatan, Narila mengingatkan pentingnya keterlibatan laki-laki dan perempuan yang berimbang, sehingga hasilnya kelak tidak sekadar memenuhi kebutuhan salah satu gender.

"Jika perlu, buatlah penelitian yang memang fokus pada perbedaan treatment antara laki-laki dan perempuan, sehingga pengobatan akan lebih baik dan tidak bias gender," jelasnya.

Selanjutnya, penting untuk meningkatkan representasi perempuan dalam kepemimpinan atau pengambil keputusan terkait pelayanan kesehatan.

Selain itu, kata Narila, masyarakat acap kali belum menyadari pengalaman mereka saat mendapatkan misdiagnosis dari dokter.

"Oleh karena itu, kesadaran soal kesetaraan dan tidak boleh adanya bias gender termasuk dalam pelayanan kesehatan, perlu dikampanyekan dan diedukasi kepada masyarakat," tuturnya.

Terakhir, pemerintah perlu lebih gencar dalam mengupayakan kebijakan kesehatan berperspektif gender. Narila mengatakan, pengarusutamaan gender menjadi dasar dalam implementasi kebijakan, termasuk kebijakan layanan medis.

"Karena bagaimana pun juga kesetaraan gender dalam berbagai aspek, termasuk layanan kesehatan atau medis, merupakan isu penting yang perlu dicapai targetnya dalam SDGs," pungkas Narila.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Putri Annisa

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Putri Annisa
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih