tirto.id - Sekitar 50 meter ke utara Pasar Beringharjo, Yogyakarta, ada sebuah gapura setinggi 11 meter. Warnanya merah bercampur hijau. Sejenak saja melihat cat dan menicum kayunya, saya mengira gapura bertuliskan "Kampoeng Ketandan" dalam tiga aksara—Jawa, Latin, Mandarin—itu berumur tua. Padahal, ia baru saja melepas masa balitanya.
Ketandan merupakan kawasan pecinan di Yogyakarta. Gapura Kampoeng Ketandan, begitu orang menjulukinya, dibuat pada 2013. Penggagasnya ialah Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC).
Gerbang Kampoeng Ketandan memiliki tiga atap yang berjajar dari utara ke selatan. Bentuknya khas atap rumah Tionghoa. Di salah satu kayu bercat merah, ada gambar beberapa naga berwarna emas.
Menurut arsitek Wiwi Tjiook dalam makalahnya yang berjudul "Pecinan as an Inspiration" (2017), warna merah dan hijau Gerbang Kampoeng Ketandan merupakan simbol akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Keraton identik dengan warna hijau, sementara Tionghoa identik dengan warna merah. Atap bergaya rumah khas Tionghoa dan gambar naga menyimbolkan kekuasaan, ketidaktakutan, dan kejujuran.
Asal Mula Ketandan
Kemunculan kawasan Ketandan ditelaah Joni Purwohandoyo dan kawan-kawan dalam Pariwisata Kota Pusaka: Mendayagunakan Aset Pusaka, Menyejahterakan Masyarakat (2018). Joni dkk. menuliskan bahwa kawasan Ketandan berkembang antara 1811-1830. Perkiraan kurun itu didasarkan pada muncul dan tidaknya Ketandan di dua peta. Ia belum termaktub dalam peta Yogyakarta yang terbit pada 1811. Kawasan itu baru "muncul" di peta terbitan 1830.
Orang-orang Tionghoa masih tinggal di Ketandan pada 1869, tetapi perlahan-lahan sebagian dari mereka pindah ke kawasan pecinan yang baru. Kawasan pecinan baru tersebut terletak di sebelah utara Tugu Yogyakarta, tidak jauh dari Jalan Poncowinatan sekarang. Di Poncowinatan, ada sebuah kelenteng bernama Zhen Ling Gong.
Menurut Abdul Wahid dalam makalah "Proses Menjadi (Tidak) Indonesia?" yang dimuat dalam Identitas dan Postkolonialitas Indonesia (2003), ada 758 orang Tionghoa dewasa tinggal di Yogyakarta pada 1808. Jumlah tersebut mencakup 0,36 persen dari seluruh penduduk dewasa Yogyakarta kala itu.
Pada 1860, jumlah Tionghoa yang ada di Yogyakarta sebanyak 2.032 orang. Lalu, 45 tahun kemudian, jumlah itu meningkat. Anggota parlemen Belanda H.H. van Kol yang berkunjung ke Yogyakarta pada 1905 mencatat ada 4.200 Tionghoa hidup di sana.
Selain di wilayah Ketandan dan Poncowinatan, sejumlah orang Tionghoa juga masih tinggal di Pejaksan dan Beskalan—wilayah pemusatan yang dibikin sejak awal abad ke-19.
"Kenyataan bahwa kecenderungan memilih tempat tinggal yang banyak orang Tionghoanya memang masih ada, namun perkembangan mutakhir menunjukkan bahwa kelas menengah Tionghoa lebih memilih tempat tinggalnya berdasarkan kelas sosial," sebut Abdul Wahid.
Orang Cina di Sekitar Keraton
Keberadaan orang Tionghoa di Yogyakarta sudah setua umur kota yang didirikan Hamengkubuwana I itu. Semasa awal berdirinya Kesultanan Ngayogyakarta, ada seorang kapitan Tionghoa di Mataram bernama To In.
"Dengan diangkatnya seorang kapten [kapitan] Tionghoa dapat diperkirakan bahwa pada waktu itu terdapat suatu komunitas Tionghoa yang cukup mapan di kota baru tersebut," sebut Abdul Wahid.
Selain To In, salah satu tokoh Tionghoa yang tidak bisa dilepaskan dari narasi sejarah Yogyakarta adalah Tan Djin Sing.
Tan Djin Sing mengabdi sebagai kapitan Tionghoa di Karesidenan Kedu pada 1793-1803. Sejak September 1803, Tan Djing Sing didapuk sebagai kapitan Tionghoa di Yogyakarta. Dia berkawan dengan Surojo, putra mahkota Hamengkubuwana II.
Laki-laki berayah mantan kapitan Tionghoa di Kedu itu fasih berbicara Hokkien, Melayu, Jawa, serta mempelajari bahasa Belanda dan Inggris. Berkat kemampuan itu, Tan Djing Sing berperan sebagai mediator antara perwakilan resmi Eropa dan keraton. Saat keraton diserang Inggris pada 19-20 Juni 1812, Tan Jing Sing tidak hanya bertindak sebagai kawan, tapi juga menjadi penerjemah dan konsultan politik Surojo.
"Ia bertindak sebagai salah satu utusan rahasia terakhir dalam negosiasi dengan Inggris [John Crawfurd] yang berakhir dengan perjanjian rahasia 12 Juni 1812 yang menjamin naik takhtanya putra mahkota [Surojo]," sebut Peter Carey dalam makalah seminalnya, "Changing Javanese Perceptions of The Chinese Communities in Central Java, 1755-1825 " (1984, PDF).
Setelah Surojo naik takhta dan bergelar Hamengkubuwana III, Tan Djin Sing ditunjuk sebagai bupati. Bahkan, setahun berikutnya, pada Desember 1813, dia masuk Islam.
Bergelar Raden Tumenggung Secadiningrat, Tan Djin Sing membawahkan seribu kepala keluarga. Menurut Peter Carey, "kebanyakan wilayah orang-orang itu berada di bekas perkebunan nila dan lada VOC dari Lowanu di Bagelen timur."
Namun, situasi politik di Yogyakarta berkata lain. Pakualam I kecewa dengan pengangkatan Surojo. Bahkan, ada laporan bahwa dia ingin meratakan pemukiman orang-orang Tionghoa pada 1812. Informasi itu keburu bocor sehingga Tan Djing Sing belakangan meminta prajurit Sepoy menjaga kediamannya.
Tan Djin Sing benar-benar jatuh ketika Surojo wafat pada November 1814, dua tahun setelah menjabat sultan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan