Menuju konten utama

Putus Sekolah Akibat Perang di Suriah, Yaman, dan Afghanistan

Pada 2017, sebesar 22 persen dari 25 juta anak usia enam sampai 15 tahun di 22 negara tidak sekolah karena konflik yang berkecamuk.

Putus Sekolah Akibat Perang di Suriah, Yaman, dan Afghanistan
Anak-anak yang terluka berada di sebuah rumah sakit di kota Douma, Ghouta Timur, di Damaskua, Suriah, Jumat (23/2). ANTARA FOTO/REUTERS/Bassam Khabieh

tirto.id - Nyaris tidak ada masa depan bagi para anak-anak yang hidup di daerah konflik. Kekejaman yang dipertontonkan orang dewasa telah merenggut segalanya, termasuk hak untuk mendapat pendidikan.

Ghadeer, perempuan muda yang ada di Raqqa, Suriah, hidup dalam bayang-bayang perang sipil sejak 2011. Masa-masa belajar dan bermain di sekolah bersama teman sebaya terpaksa harus ditinggalkan. Menikah menjadi fase yang harus dilalui dengan terpaksa.

“Di kotaku, sulit bagi seorang gadis untuk belajar," kata Ghadeer kepada UNICEF pada September 2016 lalu. “Aku kehilangan tiga tahun masa sekolah, jadi aku memutuskan meninggalkan sekolah, menikah dan mengurus keluarga.”

Selain Ghadeer, UNICEF mencatat Hadi yang ketika diwawancarai berusia 14 tahun. Ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah sebelum kelas sembilan. Hadi harus bekerja menghidupi keluarganya dalam situasi perang. “Selama beberapa tahun terakhir, saya bekerja dan mempersiapkan ujian.”

Meski berada di kondisi sulit, Hadi masih menunjukkan minta belajar yang besar. “Saya mengandalkan buku dan belajar mandiri.” jelasnya lagi.

Di kota lain di Suriah, ada Batoul dari Idlib. Ia menjelaskan bahwa situasi di tempat tinggalnya mencekam hingga ke persekolahan sejak kelompok bersenjata memberlakukan kontrol baru terhadap pendidikan.

Batoul terpaksa tidak masuk sekolah selama satu bulan lantaran ketakutan. Waktu itu, sebuah kelompok bersenjata menutup sekolah dan memperkenalkan kurikulum baru.

Ada pula Ahmad, pemuda berusia 19 tahun yang masih menunjukkan tekad kuat untuk terus sekolah, meski kondisinya tak jarang diliputi aksi pengepungan dan suara desing peluru.

“Kami belajar di bawah kepungan dan kami sering kelaparan. Kami biasa belajar di siang hari, karena tidak ada listrik, bahkan lilin, yang memungkinkan kami membaca di malam hari,” kata Ahmad yang tengah bersiap mengikuti ujian kelas 12.

Nama-nama responden disamarkan untuk menjaga privasi dan keamanan. Ada banyak lagi cerita pilu yang akan didapat ketika mengorek keterangan dari para bocah Suriah.

Tahun 2016 menjadi titik paling kritis dalam tragedi kemanusiaan di Suriah. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2016 menyebutkan, sekitar 13,52 juta orang, termasuk di antaranya enam juta anak, membutuhkan bantuan dan perlindungan kemanusiaan.

Sekitar 6,5 juta orang, termasuk 2,8 juta anak-anak, terpaksa mengungsi dari kampung halamannya. Lebih dari dua juta anak dan remaja Suriah tidak sekolah. Satu dari empat sekolah kondisinya rusak, hancur atau sedang diduduki oleh kelompok bersenjata. Satu dari empat anak Suriah berisiko mengalami gangguan kesehatan mental.

Krisis semakin diperparah lagi oleh serangan kelompok-kelompok bersenjata yang bertikai ke bangunan sekolah, rumah sakit, jaringan air, pembangkit listrik, tempat ibadah, aset ekonomi dan infrastruktur sipil lainnya.

Anak-anak perempuan menghadapi kerentanan tambahan seperti paksaan pernikahan dini karena keadaan dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya, termasuk risiko kekerasan berbasis gender.

Tak Hanya di Suriah

Anak-anak di daerah konflik lainnya bernasib sama seperti anak-anak di Suriah. Hak mereka untuk mendapat pendidikan di sekolah tercerabut.

Sejak invasi AS pada 2001, Afghanistan dilanda perang sipil. Data UNICEF pada Juni 2018 menyebutkan, 3,7 juta anak-anak berusia antara 7 sampai 17 tahun di Afghanistan tidak bersekolah.

Kondisi tersebut tidak bisa dilepaskan dari situasi keamanan yang masih memburuk di seluruh penjuru negeri. Belum lagi ditambah kemiskinan dan diskriminasi terhadap anak perempuan yang makin mendorong anak-anak untuk putus sekolah sejak 2002.

Anak-anak perempuan masih menyumbang populasi tak sekolah terbesar (60 persen). Di beberapa provinsi terparah seperti Kandahar, Helmand, Wardak, Paktika, Zabul, dan Uruzgan, populasi anak perempuan yang tak sekolah mencapai 86 persen. Praktik pernikahan dini yang memengaruhi peluang anak-anak untuk bersekolah dan mengenyam pendidikan adalah faktor yang semakin memperburuk keadaan.

Di tengah suramnya dunia pendidikan dan sekolah di Afghanistan, rupanya masih ada kabar baik:85 persen anak laki-laki dan perempuan yang sejak bersekolah dari Sekolah Dasar menempuh pendidikan sampai tingkat akhir. Tantangannya kini adalah membuat anak-anak mulai bersekolah dari tingkat yang paling dasar.

Sejak 2015, Yaman dilanda perang sipil. Human Rights Watch (HRW) merilis laporan, sepanjang 2017 ada 85 serangan udara dari kelompok koalisi pimpinan Arab Saudi yang menewaskan hampir 1.000 warga sipil. Peluru dan bom juga menghantam rumah, pasar, rumah sakit, sekolah dan masjid. Ada indikasi kejahatan perang selama rentetan serangan brutal tersebut.

Pada tahun yang sama, Arab Saudi berjanji untuk mengurangi kerugian dampak perang yang dialami warga sipil Yaman. HRW mencatat memang ada penurunan kerusakan dan jumlah korban, dengan korban tewas 55 warga sipil, termasuk 33 anak-anak.

Anak-anak Yaman turut direkrut sebagai pasukan bersenjata di kubu pro-pemerintah Yaman. Agustus 2017, PBB mencatat 1.702 kasus perekrutan anak-anak sejak Maret 2015, 65 persen di antaranya dilakukan oleh kelompok Houthi dan pro-Saleh.

Perlindungan untuk perangkat pendidikan yang meliputi siswa, guru dan sekolah di Yaman pun makin mendesak. Pada Oktober 2017, Yaman mendukung deklarasi sekolah aman yang berkomitmen melindungi seluruh perangkat pendidikan dengan menerapkan pedoman perlindungan sekolah dan universitas dari ancaman konflik bersenjata.

Di negara bagian Rakhine, Myanmar, pemerintah mempersekusi etnis Rohingya dan melahirkan arus pengungsi ke negara-negara tetangga. Laporan UNICEF 2017 (PDF) menyebut, sebanyak 453.000 anak-anak berusia 4 sampai 18 tahun dari komunitas Rohingya yang mengungsi di Bangladesh membutuhkan akses pendidikan. Angka tersebut membuat UNICEF membuka 228 pusat pembelajaran dan pendidikan dasar non-formal di sekitar permukiman pengungsi.

Anak-anak di Afrika Timur juga putus atau tidak sekolah karena konflik di negaranya masing-masing. Menurut laporan Norwegian Refugee Council (NRC) pada September 2017, di Sudan Selatan yang masih didera perang sipil, ada 2,2 juta anak putus sekolah. Lebih dari 70 persen anak Sudan Selatan kehilangan akses pendidikan, dan lebih dari sepertiga bangunan sekolah rusak atau hancur karena perang.

Di Somalia, konflik yang telah berlangsung lebih dari dua dekade dan bencana kekeringan membuat hampir dua juta anak usia sekolah tidak lagi bisa mengenyam pendidikan. Sekitar 30 persen anak Somalia menyelesaikan empat tahun sekolah dengan melawatkan periode sekolah dasar.

Uganda menampung lebih dari satu juta pengungsi dari Sudan Selatan. Lebih dari setengahnya adalah anak-anak. Sekitar 40 persen dari anak-anak usia enam sampai 13 tahun tidak terdaftar di jenjang SD dan 80 persen tidak terdaftar di sekolah menengah.

infografik putus sekolah akibat perang

Padahal, pendidikan dapat menyelamatkan nyawa anak-anak terlantar. Sekolah dapat mencegah anak-anak bergabung dengan kelompok bersenjata. Di sekolah, anak juga diajarkan cara-cara menyelamatkan diri dari ranjau darat dan bom.

Dalam rangkuman laporan UNICEF per September 2017, disebutkan bahwa 27 juta anak-anak di 27 negara yang terkena konflik terpaksa putus sekolah. Dengan tingkat pendidikan rendah atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali, anak-anak dan remaja yang sedang mengungsi dari konflik lebih rentan terhadap eksploitasi. Status para pengungsi juga lima kali lebih mungkin untuk putus sekolah dibandingkan anak-anak lainnya.

Sudan Selatan menjadi negara dengan tingkat putus sekolah tertinggi di jenjang SD (72 persen). Disusul Chad (50 persen) dan Afghanistan (46 persen). Tiga negara tersebut juga mencatatkan rekor jumlah perempuan yang tak sekolah: Sudan Selatan (76 persen), Afghanistan (55 persen) dan Chad (53 persen).

Sejauh ini UNICEF berperan menjalankan program-program di negara-negara yang terdampak konflik dan memberikan akses pendidikan ke anak-ana, termasuk melatih para guru, merehabilitasi sekolah dan membagikan peralatan sekolah.

Kegagalan memberikan kesempatan belajar untuk anak-anak yang tercerabut aksesnya ke pendidikan akibat konflik punya konsekuensi yang besar baik bagi individu dan masyarakat.

“Tanpa pendidikan, bagaimana anak-anak akan mencapai potensinya dengan maksimal dan berkontribusi pada masa depan, stabilitas keluarga, komunitas dan ekonomi mereka?” tutur Josephine Bourne, Kepala Pendidikan UNICEF.

Baca juga artikel terkait KONFLIK SURIAH atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf