tirto.id - Sekolah-sekolah yang dibangun pemerintah Belanda, setelah Politik Etis dilancarkan van Deventer dan kawan-kawan di awal abad XX, ditujukan untuk mencetak tenaga kerja murah. Pemerintah kolonial tak perlu membayar mahal pekerja dari Eropa. Setelah sekolah-sekolah dasar, sekolah menengah dibangun. Begitu pun sekolah tinggi macam sekolah tinggi hukum Recht Hoge School di Jakarta (Fakultas Hukum UI) dan sekolah tinggi teknik Techniek Hoge School di Bandung (ITB sekarang). Sebelum abad XX, sekolah dasar, sekolah kedokteran, sekolah pertanian dan sekolah guru juga dibangun oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial memang ingin punya kuli terdidik, sementara orang-orang terpandang ingin anak-anak mereka jadi orang terpandang juga. Jadilah sekolah-sekolah yang dibangun pemerintah kolonial Belanda itu diisi anak-anak pembesar terpandang. Sedangkan kebanyakan petani tak punya kesadaran sekolah. Jika pun sekolah hanya sekolah rakyat tiga tahun yang hanya mengajarkan baca tulis. Uang sekolah terlalu mahal, sementara makan sehari-hari saja sulit.
Kesempatan bersekolah bagi anak-anak petani atau orang miskin lain justru terbuka setelah Indonesia merdeka. Melihat enaknya kerja di kantor dan tidak berpanas-panas, banyak petani bermimpi anaknya kerja di kantor dan tidak mencangkul lagi seperti dirinya. Para petani pun bekerja keras menyekolahkan anaknya setinggi mungkin agar bisa bekerja di kantor dan jadi orang terpandang. Tujuan itulah yang membuat masyarakat ketika itu nyaris tidak terpikir mencintai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apa yang ditanamkan pemerintah kolonial terwarisi oleh sebagian besar orang Indonesia sekarang. Bersekolah agar bisa jadi pegawai, atau kuli terhormat. Hanya segelintir dari mereka yang kemudian jadi ahli atau peneliti.
Peneliti di Zaman Kolonial
Menjadi cendekia bukan cita-cita tulus kebanyakan orang Indonesia. Inilah mengapa jumlah peneliti Indonesia tergolong sedikit. Plagiasi karya tulis di berbagai lembaga pendidikan pun nampak jadi hal biasa. Sebab tujuan belajar bukan lagi menemukan hal baru. Kecuali memperoleh ijazah dan nilah bagus agar bisa bekerja di lembaga bergaji besar.
Tradisi jadi peneliti di Indonesia lemah, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berkembang. Sudah umum jika para pemuda kuliah di universitas lebih banyak agar mereka bisa masuk ke jajaran birokrasi. Begitulah pemikiran warisan kolonial itu terpelihara hingga sekarang. Padahal universitas sudah bertebaran di Indonesia sekarang ini. Bahkan ratusan orang Indonesia sudah dikirim ke luar negeri untuk kuliah. Namun, Indonesia tidak memiliki banyak peneliti. Jumlah peneliti di Indonesia sendiri tergolong kurang. Menurut dari LIPI 2015, hanya terdapat 9.308 peneliti Indonesia, yang tersebar di lembaga-lembaga pemerintahan.
Setelah abad XX, sudah muncul orang Indonesia yang bergelut dengan penelitian. Ada Husein Djajadiningrat, yang merupakan peneliti dengan disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913), di bawah bimbingan Snouck Horgronje. Setelahnya, Husein menjadi peneliti dan penyusun kamus Aceh. Pekerjaan itu mengharuskan dia tinggal setahun dari 1914 hingga 1915 di Aceh. Sejak 1919, bersama Purbacaraka, dia mendirikan Djava Instituut. Di tahun 1924, Husein mnejadi Guru Besar di Recht Hoge School Jakarta. Dia mengajar bahasa daerah dan hukum Islam. Belakangan, Husein pun masuk birokrasi kolonial seperti abangnya, Achmad Djajadiningrat.
Setahun sebelum Husein menjadi doktor di Leiden, seorang pemuda Ambon bernama Jacob Bernadus Sitanala baru saja lulus dari sekolah kedokteran kolonial bernama STOVIA. Menurut buku 100 Tahun Kebangkitan Nasional, yang disusun Bambang Eryudhawan dan kawan-kawan, Sitanala hadir di sekolah berasrama tersebut sejak 18 Januari 1904. Nomor stambuknya: 243. Menurut koran lawas Slompret Melajoe edisi 6 Agustus 1910, Sitanala aktif di perkumpulan orang Ambon seperti Ambonsch Studiefonds. Sitanala pernah dikirim ke Merauke untuk ikut menangani penyebaran penyakit seks menular di sana.
Menurut De Indische Courant 2 November 1927, Sepulang dari Negeri Belanda, Sitanala fokus meneliti soal penyakit lepra di beberapa rumah sakit lepra di Jawa. Di tahun 1940, Sitanala diangkat menjadi Kepala Pemberantasan Penyakit Lepra. Setelah Indonesia merdeka, Sitanala termasuk pendiri Palang Merah Indonesia (PMI). Karena fokusnya terhadap penyakit lepra, namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit khusus lepra di Tangerang. Begitu pun nama jalan di depan rumah sakit.
Lulusan STOVIA tahun 1916 bernama Achmad Mochtar setelah menjadi dokter di Panyabungan bertemu WAP Schuffner yang sedang meneliti malaria. Ia kemudian dikirim ke Universitas Amsterdam. Pada 1927, dia menyangkal leptospira sebagai penyebab penyakit kuning. Dia ditempatkan di Lembaga penetilian Eijkman. Achmad Mochtar pun menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi Direktur Eijkman. Di zaman Jepang, Achmad Mochtar pasang badan melindungi kawan-kawannya, karena dituduh membuat vaksin yang membunuh ratusan romusha di Klender. Belakangan dia dieksekusi mati Jepang dan dikubur di Ancol.
Selain tokoh berpendidikan yang menjadi peneliti dan belakangan jadi penemu di Indonesia, ada sosok Mujair yang layak mendapat perhatian. Cerita soal dirinya tersebar di media online. Diceritakan bagaimana seorang bapak Mujair menemukan ikan tersebut di pesisir selatan pantai Jawa Timur. Lalu ikan laut itu dibawanya dan dibudidayakannya di kolam. Ikan itu bisa hidup dan berkembang biak. Ikan itu lalu diberi nama Mujair seperti nama pemiliknya. Usaha Mujair itu terjadi di era kolonial. Barangkali apa yang dilakukannya adalah coba-coba dan tak merasa dirinya peneliti.
Era Kemerdekaan
Jauh setelah era Achmad Mochtar dan Sitanala, setelah Indonesia merdeka adalah era baru peneliti Indonesia. Di tahun 1950an, muncul generasi baru peneliti Indonesia. Bidangnya tak hanya di bidang biologi, tapi bidang teknologi juga berkembang. Peneliti Indonesia yang sohor adalah Samaun Samadikun. Samaun peneliti di bidang elektro.
Menurut Amru Hydari Nazif dalam buku Profesor Samaun Samadikun Sang Petani Silikon Indonesia (2008), bersama Prof. Kensall D. Wise, Samaun berhasil mematenkan sebuah metode untuk membentuk area ketebalan sebuah silicon wafer sesuai yang diinginkan. Tahun 1975, Paten mereka yang dijuduli: Method fpr Forming regions of Predetermined thickness in Silicon itu dikabulkan US Patent and trademark Office (USPTO). Nomor paten mereka adalah: 3.888.708. Penemuan itu tidak saja didasarkan pada pemahaman utuh karakteristik silikon. Tapi juga merupakan kiat-kiat yang bisa diterapkan dalam industri. Penemuan ini, adalah awal dari kedekatan dunia elektronika dengan dengan dunia kedokteran. Berupa transducer dan piranti ukur lain dalam biomedika.
Di bidang kontruksi ada Tjokorda Raka Sukawati yang terkenal dengan konstruksi sosrobahu untuk membuat jalan layang. Selain itu ada nama Sedyatmo, yang pada 1962, menemukan sistem pondasi cakar ayam. Sistem ini memungkinkan sebuah jembatan bisa dibangun di tanah yang labil. Landasan pacu bandara Soekarno Hatta Jakarta bahkan menggunakan sistem pondasi cakar ayam juga. Sedyatmo merupakan lulusan ITB tahun 1934. Setelah bekerja di Pekerjaan Umum, dia menjadi pengajar ITB sejak 1950.
Di antara para peneliti Indonesia, Baharudin Jusuf Habibie adalah bintangnya. Dia memegang 46 hak paten di bidang teknologi penerbangan. Salah satunya adalah crack progression untuk menguji keretakan. Temuan ini berguna dalam rangka mengurangi keretakan pesawat sehingga kecelakaan pesawat bisa tertanggulangi. Belakangan, Habibie yang lama bekerja di perusahaan penerbangan Jerman, akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Habibie kemudian menjadi direktur Industri Pesawat Terbang Nusantara lalu menjadi Menteri Riset Teknologi.
Beberapa tahun terakhir orang Indonesia berbangga atas penemuan sistem telekomunikasi 4G berbasis Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM). Khoirul Anwar , lulusan ITB yang bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang, dianggap penemunya.
Itulah segelintir orang-orang hebat Indonesia yang mendedikasikan dirinya sebagai peneliti. Bagi mereka, sekolah bukan sekadar untuk menjadi pegawai. Lebih dari itu, sekolah adalah tempat mencari ilmu, menggali lebih dalam pengetahuan, sebelum akhirnya menemukan hal-hal yang spektakuler dan berguna bagi kebanyakan masyarakat. Sayangnya, tidak banyak yang mencari jalan seperti mereka.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti