tirto.id - Pada 2016, pemerintah menaikkan dana riset atau penelitian di Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan (Kemenristek Dikti) hingga 100 persen atau dari hanya Rp800 miliar menjadi Rp1,53 triliun. Kenaikan anggaran riset ini diharapkan mampu menaikkan kapasitas penelitian di perguruan tinggi sehingga menaikkan daya saing di ASEAN.
“Kami menargetkan perguruan tinggi Indonesia bisa masuk dalam 500 universitas terbaik di dunia. Saat ini, posisi perguruan tinggi Indonesia masih di atas 500. Sehingga dosen harus dipacu untuk melakukan penelitian, apalagi kita sudah diharapkan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),” jelas Reviewer Hibah Penelitian Kemenristedik Dikti, Prof Didik Sulistyanto, seperti dilansir dari Antara.
Kemampuan dosen Indonesia untuk membuat jurnal memang masih kurang, apalagi untuk yang berbahasa Inggris. Padahal, jurnal dalam bahasa Inggris merupakan salah satu kunci agar penelitian mereka diakui secara internasional.
Selain keterampilan menulis lemah, publikasi ilmiah yang dilakukan oleh peneliti juga masih kurang. "Dalam setahun penelitian yang dipublikasikan di Indonesia maksimal hanya sekali, padahal jika melihat negara-negara lain, seperti Tiongkok publikasi ilmiah bisa mencapai tiga hingga empat kali dalam setahun," kata Didik.
Karena itu, perguruan tinggi diharapkan bisa memberikan pendampingan terhadap dosen yang melakukan penelitian, terutama bagi dosen pemula agar penelitian yang dihasilkan bisa digunakan bagi masyarakat luas, baik itu berupa produk atau sistem statistik.
Jumlah jurnal di Indonesia dinilai masih kurang bagi masyarakat luas. Dalam sebuah skala, satu jurnal digunakan untuk 410 ribu penduduk di tanah air. Sedangkan di Singapura satu jurnal paten digunakan untuk 200 orang.
"Dari ribuan proposal yang diajukan ke kami, yang diterima secara internasional hanya 5 persen saja, karena proposal yang diajukan hanya sedikit serta dinilai kurang mendalam, sehingga peran perguruan tinggi sangat penting bagi keberlangsungan para peneliti," ujarnya.
Sementara Muhammad Dimyati, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristekdikti mengungkapkan, jumlah karya ilmiah orang Indonesia di jurnal internasional masih sangat minim. “Tahun 2015, kita berhasil memublikasikan 5.421 karya ilmiah di jurnal internasional," katanya, seperti dilansir Antara.
"Itu sudah melebih target yang ditetapkan, yaitu 5.008," lanjutnya.
Secara peringkat, Indonesia ada di tangga nomor 52 dari total 229 negara. Dibanding Singapura saja Indonesia kalah telak. Pada 2014, menurut data www.scimagojr.com, Indonesia menerbitkan 5.499 jurnal ilmiah pada publikasi-publikasi internasional. Tak hanya kalah dari Singapura, negara ini juga kalah dari Malaysia dan Thailand. Tiga negara itu menghasilkan angka masing-masing 17.198, 25.330, dan 12.061 jurnal.
Bukan hanya tak menonjol di lingkup ASEAN, Indonesia juga dikalahkan negara-negara yang tengah mengalami konflik seperti Mesir, Pakistan, dan Ukraina, yang masing-masing peneliti di negaranya memproduksi 14.196, 10.541, dan 9.218 jurnal ilmiah. Itupun masih ada catatannya. Dari lima ribuan naskah jurnal yang dipublikasikan, tak semua berasal dari riset terbaru. Kebanyakan di antaranya berasal dari makalah seminar.
Jumlah jurnal ilmiah peneliti Indonesia yang dipublikasikan secara internasional memang mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir. Pada 2009, Indonesia menghasilkan 1.950 tulisan yang dimuat jurnal internasional. Pada 2010, angka itu meningkat lagi sebanyak 32,62 persen, menjadi 2.586 jurnal.
Tahun berikutnya ada 3.187 jurnal yang terbit, naik sebesar 23,63 persen. Pada 2012, peningkatan terjadi lagi dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi 3.752 jurnal atau 17,36 persen. Pada 2013, Indonesia menghasilkan 4.881 jurnal sebelum akhirnya meningkat jadi 5.499 pada 2014.
Meski jumlah naskah akademik asal peneliti Indonesia mengalami pertumbuhan positif setiap tahunnya, jumlah pengutipan atas karya-karya itu menurun. Padahal, dikutipnya suatu tulisan ilmiah oleh naskah lainnya merupakan indikator kualitas dari tulisan ilmiah itu.
Pada 2009, ada 19.496 jurnal yang mengutip hasil karya ilmiah peneliti Indonesia. Pada 2010 angka itu turun 20,49 persen menjadi 15.502. Tahun berikutnya turun lagi sebesar 16,20 persen menjadi 12.990 pengutip. Pada 2012 turun menjadi 9.735 persen atau turun 25,06 persen dari tahun sebelumnya. Lantas pada 2013 turun lagi jadi 5.772 pengutip atau 40,71 persen. Penurunan tertinggi dan titik paling rendah kualitas jurnal penelitian Indonesia terjadi pada 2014. Ketika itu, hanya ada 1.388 pengutipan saja, turun drastis 76,04 persen dari tahun sebelumnya.
Anehnya, pemerintah melalui Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti cukup berbangga dengan meningkatnya jumlah publikasi karya ilmiah di jurnal internasional. Daya saing Indonesia dari sisi inovasi dan pendidikan tinggi dianggap membaik. Padahal, kenyataannya daya saing Indonesia secara umum merosot, yang tadinya menduduki peringkat ke-34 tahun lalu turun ke peringkat ke-37 pada tahun ini.
Jika jurnal ilmiah bisa menjadi tolok ukur kualitas pendidikan tinggi dan inovasi suatu bangsa, bagaimana dengan jumlah lulusan program doktoral?
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J Vermonte, pernah menulis tentang pemikiran strategis dan kemampuan berpikir ilmiah bangsa Indonesia dan jumlah pemilik gelar PhD dan doktor di negeri ini. Philips menyebut, Cina telah memiliki 800 ribu doktor, sedangkan India 600 ribu. Sementara Indonesia disebut hanya memiliki 30 ribu doktor.
Jumlah doktor di Indonesia tersebut jauh dari jumlah ideal berdasarkan jumlah penduduk, yaitu 160 ribu doktor. Yang lebih menarik lagi, komposisi doktor di Indonesia sungguh ajaib: 80 persennya berasal dari bidang kajian ilmu agama, ilmu hukum, dan ilmu ekonomi.
“Tak heran kita ngomongin dan ribut agama melulu atau ngomongin [...] pelanggaran hukum atau mafia hukum ini itu terus, jarang ngomongin sains, teknologi dan industri,” tulis Philips.
Sementara Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa menilai hasil riset peneliti Indonesia belum dihargai bangsa sendiri yang terbukti dari kecilnya anggaran pemerintah dan swasta untuk mengapresiasi penelitian anak negeri.
"Riset dan pengembangan hasil riset peneliti Indonesia masih belum dihargai bangsa sendiri, hasilnya penelitian yang strategis itu dibeli oleh negara lain," katanya.
Ia mengatakan dana riset dan pengembangan di Indonesia belum sampai 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang membutuhkan dana sekitar Rp110 triliun, karena dana riset di Indonesia hanya mencapai 0,08 persen.
Khofifah mengatakan, penghargaan terhadap hasil riset tidak hanya mengandalkan dana APBN, tetapi dibutuhkan peran serta sektor swasta. Di Cina, Malaysia, maupun beberapa negara lain, mewajibkan sektor swasta menyediakan anggaran tertentu untuk penguatan penelitian.
"Sektor swasta masih terus kami dorong karena mereka yang bisa memberikan perbaikan dari seluruh produk-produk kita ketika berkompetisi di lini manapun. Kondisi ini, berbeda jauh dari capaian Pemerintah Malaysia yang sudah mengalokasikan dana riset 5 persen dari PDB yang tidak hanya dari pemerintah, namun juga banyak perusahaan," tuturnya.
Menurut dia, sekitar 16 tahun lalu, Cina sudah mencapai 10 persen pendapatan dari produk hasil penelitian dan pengembangan anak negerinya. Ia sering menemukan banyak elemen bangsa ini belum siap berkompetisi, ketika produk penelitian ditawarkan ke instansi tidak ada respons.
Ia mengungkapkan produk riset itu akhirnya dibeli luar negeri, karena penghargaan Indonesia pada keilmuan, sains murni maupun terapan masih belum ada, sehingga riset belum menjadi referensi berbagai kebijakan. Seluruh kementerian, lembaga, swasta harus didorong memberi apresiasi produk keilmuan.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti