Menuju konten utama

Aktivis Palestina Awdah Hathaleen Tewas Ditembak di Tepi Barat

Aktivis Palestina, Awdah Hathaleen, tewas ditembak pemukim Israel, Yinon Levi. Simak sosok Awdah Hathaleen yang juga terlibat di film No Other Land (2024).

Aktivis Palestina Awdah Hathaleen Tewas Ditembak di Tepi Barat
Owdeh Hathaleen. x/@Tweettowhoo

tirto.id - Awdah Hathaleen, aktivis Palestina, tewas ditembak pemukim Israel bernama Yinon Levi pada Senin (28/7/2025). Awdah Hathaleen dikenal sebagai aktivis anti-pendudukan yang terlibat dalam pembuatan film No Other Land (2024).

Dalam insiden tersebut, Yinon Levi—pemukim Israel yang mendapatkan sanksi dari Kanada, Inggris, dan AS karena perilaku kekerasan—melakukan penyerangan di desa Umm al-Khair di Tepi Barat.

Saudara ipar Awdah, Alaa Hathaleen, memberikan kesaksian bahwa pelaku penembakan Yinon Levi tiba-tiba datang mendekat dan melepas tembakan secara sporadis.

"[Levi] langsung mulai menembaki semua orang secara acak. Kami bilang padanya, 'Ada banyak orang di sini, ada anak-anak, jangan tembak!' Tapi dia tetap menembak. Awdah bahkan tidak terlibat," katanya, dikutip dari The Guardian.

Namun, melansir Aljazeera, setelah sempat ditangkap oleh kepolisian Israel, Yinon Levi dikeluarkan dan mendapat status tahanan rumah oleh pengadilan Israel pada Selasa (29/7).

Siapa Awdah Hathaleen, Aktivis Palestina yang Tewas Ditembak?

Awdah Hathaleen adalah seorang aktivis terkemuka Palestina di wilayah Tepi Barat. Ia merupakan salah satu tokoh akar rumput yang menolak pendudukan Israel dengan tetap tinggal di sana.

Sebagai aktivis, namanya dikenal luas, tak terkecuali oleh publik di luar Palestina. Ia selalu membuka pintu rumahnya untuk para aktivis pro-Palestina ketika datang ke Tepi Barat yang diduduki. Di rumahnya itu, Awdah membantu para aktivis memahami situasi yang tengah terjadi di Tepi Barat.

Hal tersebut sebagaimana ia lakukan ketika menjadi konsultan untuk pembuatan film dokumenter No Other Land (2024) yang memenangkan penghargaan Oscar tahun ini.

Kebiasaannya membantu para aktivis dari luar memahami situasi itu kemudian membuatnya menjadi guru bahasa Inggris di sekolah lokal di sana.

Awdah wafat meninggalkan tiga anaknya yang masih belia, yakni Watan berusia lima tahun, Muhammad berusia empat tahun, dan Kinan berusia tujuh bulan. Kepada Aljazeera, saudara ipar Awdah, Alaa Hathaleen, mengenang sang aktivis sebagai sosok ayah yang baik.

"Ia ayah yang begitu baik. Anak-anaknya menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya daripada ibu mereka," katanya.

Melansir Aljazeera, pada hari terbunuhnya Awdah, penduduk desa Umm al-Khair tengah memprotes pengiriman alat berat berupa kendaraan pengeruk tanah ke pemukiman ilegal Israel.

Mereka sebelumnya telah bersepakat tentang jalur yang dapat digunakan alat berat agar tak merusak infrastruktur desa. Namun, pengemudi alat berat justru melindas pipa air yang dapat menggelinding ke wilayah desa.

Ketika warga desa berkumpul untuk memprotes hal tersebut, operator alat berat justru menggunakan pengeruk untuk memukul kepala salah satu dari mereka.

Awdah tak ada di tempat keributan terjadi. Ia berada di 10-15 meter dari sana, menyaksikan dari halaman balai desa.

Di tengah keributan tersebut, suara tembakan tiba-tiba terdengar. Yinon Levi menarik pelatuk dan menembak secara sporadis. Pada saat itulah Awdah tertembak.

Pada Selasa, sehari setelah kematian Awdah, warga desa Umm al-Khair dan para aktivis dari berbagai wilayah di dunia berkumpul di lokasi terjadinya penembakan, tempat Awdah terakhir kali bernapas.

Mereka berkumpul untuk mengenang Awdah karena jasad aktivis tersebut masih ditahan oleh kepolisian Israel dan belum dikembalikan ke pihak keluarga untuk dikuburkan secara Islam.

Kematian Awdah Hathaleen menambah daftar panjang korban tewas dalam serangan pemukim dan militer Israel ke orang-orang Palestina di Tepi Barat sejak 7 Oktober 2023.

Pada hari yang sama dengan kematian Awdah, LSM Israel bernama B'Tselem merilis laporan tentang kejahatan genosida yang dilakukan oleh negara Zionis itu di Gaza.

Dalam laporannya itu, B'Tselem menyatakan bahwa genosida yang terjadi di Gaza dibarengi dengan peningkatan serangan kepada orang Palestina di Tepi Barat.

"Serangan-serangan ini termasuk pembakaran, pencurian, penyerbuan dan pengambil-alihan rumah, ancaman bersenjata, pemukulan, dan lainnya," tulis B'Tselem.

Dalam laporan B'Tselem, serangan tersebut "terjadi dengan dukungan pemerintah Israel dan lembaga penegak hukum", sementara para pemukim pelaku kekerasan kerap kali "dilengkapi peralatan militer lengkap".

Hingga 29 Juli 2025, lebih dari 1.000 orang Palestina di Tepi Barat tewas akibat serangan, termasuk 205 anak-anak. Ini belum termasuk korban pihak Palestina di wilayah Gaza.

Baca juga artikel terkait INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Rizal Amril Yahya

tirto.id - Flash News
Kontributor: Rizal Amril Yahya
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Dicky Setyawan