Menuju konten utama

Pro Kontra Keinginan Jokowi Mengganti PNS dengan Robot

Peran PNS tidak semua bisa tergantikan robot. Selain itu, infrastruktur penunjang untuk merealisasikan program ini belum siap.

Pro Kontra Keinginan Jokowi Mengganti PNS dengan Robot
Ilustrasi kecerdasan buatan. REUTERS/Fabrizio Bensch

tirto.id - Wacana pemerintah akan mengganti manusia dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sudah terdengar sejak dua tahun lalu. Tepatnya saat Presiden Joko Widodo memangkas jabatan eselon III dan IV. Kala itu, Kemenkeu menjadi kementerian pertama yang menjalankan kebijakan ini. Sedikitnya ada 112 pejabat eselon Kemenkeu yang kini berstatus pegawai fungsional.

“Yang eselon III dan IV akan kami potong dan kami putuskan diganti dengan AI,” kata Jokowi di Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, Kamis 28 November 2019.

Jokowi beralasan pemangkasan jabatan eselon tersebut tidak hanya bertujuan untuk memangkas birokrasi yang menghambat perizinan, tapi juga sebagai langkah awal Jokowi mengganti PNS dengan robot.

Dua tahun berselang, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo kembali melempar isu yang sama. Tjahjo sebut rencana menggunakan robot dalam sistem administrasi pemerintahan adalah tak lain untuk mempercepat inovasi dalam pelayanan kepada masyarakat.

“Keinginan Pak Jokowi PNS diganti dengan robot bukan berarti PNS-nya terus dipangkas, terus kita buat robot,” kata Tjahjo, Rabu (1/12/2021).

Sementara itu, Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Hukum dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Satya Pratama mengatakan, ke depannya pemerintah akan lebih banyak menggunakan teknologi digital dalam memberikan pelayanan kepada publik. Atas dasar itu jumlah PNS akan dikurangi secara bertahap dan digantikan dengan robot.

“Saat ini pemerintah sedang melaksanakan tranformasi digital dalam pelayanan yang diberikan oleh dan manajeman ASN. Sebenarnya upaya digitalisasi telah dilaksanakan sejak beberapa tahun ke belakang,” kata Satya saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (2/12/2021).

Satya menjelaskan, kebijakan tersebut mulai seruis dilakukan saat ini mengingat situasi yang tidak pasti dan kompleks serta pandemi COVID 19.

“Maka transformasi tersebut dipercepat. Sebenarnya jumlah ASN saat ini di Indonesia terus menurun karena PNS yang pensiun tidak sebanding dengan jumlah yang direkrut. Namun halnya dengan transformasi penggunaan IT dan digitalisasi pelayanan publik, maka diharapkan pelayanan publik/masyarakat dapat terus berjalan dengan baik. Jadi kedepannya formasi PNS akan tidak gemuk, karena penggunaan IT dan digitalisasi pelayanan publik,” kata dia.

Satya mengatakan, dengan pelaksanaan reformasi birokrasi, saat ini jabatan eselon III dan IV sudah dihapuskan, diganti dengan pejabat fungsional. Formasi ini diharapkan dapat membuat PNS bekerja lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan pelayanan serta tugas dan fungsinya.

“Pekerjaan yang sifatnya administratif, rutinitas, dan repetitif serta memiliki prosedur operasi standar yang jelas menurut peraturan prundang-undangan yang berlaku dapat digantikan dengan teknologi,” kata dia.

Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Zudan Arif Fakrullah pun ikut buka suara. Ia menjelaskan, PNS berkualitas memadai tidak akan tergantikan dengan sistem kecerdasan buatan yang menggunakan mesin robot.

“PNS yang berkualitas tidak akan tergantikan oleh robot ataupun mesin. Tetapi kalau PNS yang tidak berkualitas, maka pasti tergantikan. Jadi ini untuk memotivasi dan memacu para ASN agar menjadi ASN yang berkualitas," kata Zudan seperti dikutip Antara.

Zudan mengatakan beberapa sektor dalam lingkup instansi pemerintah yang masih memerlukan kehadiran ASN dalam bentuk sumber daya manusia (SDM). “Dalam banyak hal, ASN tidak bisa tergantikan, seperti yang terkait dengan empati, kerja sama, dan kemanusiaan. Itu sampai saat ini belum bisa tergantikan oleh robot atau mesin," terang dia.

Sementara jenis sektor pekerjaan ASN yang tergantikan dengan mesin saat ini, kata dia, antara lain pekerjaan yang berkaitan dengan pengawasan teknis, operator, dan mekanis.

“Contoh yang sudah banyak tergantikan itu adalah penjaga tol, kemudian nanti yang mengawasi, seperti penjawab mesin itu operator. Lalu untuk hal bersifat mekanis, yang bersifat terus-menerus itu nanti fungsinya bisa digantikan dengan mesin," jelas dia.

AI Hanya Jadi Support System

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah mengatakan, efisiensi pasti terjadi namun tidak akan terjadi dalam sekala besar. AI hanya akan menjadi support system untuk memaksimalkan kinerha PNS saat ini.

“Kebutuhannya itu lebih kepada tupoksi yang bersifat spesifik yang bisa keterkaitan dengan AI. Misalnya chat booth di kementerian CS ya. Jadi fungsi dari PNS, kan, memberikan pelayanan pada masyarakat. Kalau yang sefisik ahli, eggak mungkin [tergantikan]. AI sebagai hanya support system saja,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (2/12/2021).

Selain itu ada permasalahan lain yang perlu diproteksi, yaitu skema dan perlindungan data masyarakat. Jika seandainya sistem kerja dan pendataan dilakukan melalui robot, maka perlu ada aturan yang melindungi keamanan data pribadi warga.

“Kan ini ada beberapa kasus [data] bocor, seiring program ini baiknya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi juga harus dirampungkan dulu biar aman,” kata Rusli.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal. Ia menjelaskan peran PNS tidak bisa tergantikan dengan robot. Selain itu, infrastruktur penunjang untuk merealisasikan program ini juga belum siap.

“Kita lihat infrastruktur yang ada ya belum memungkinkan. Kan dia butuh infrastruktur, butuh investasi transisi ke AI ini. Pemerintah pusat bisa, tapi kalau pemerintah daerah jelas tidak mampu ya, hanya daerah tertentu saja. Sangat terbatas,” kata dia kepada Tirto.

Ia pun mengatakan, kebijakan mengenai pemangkasan PNS eselon III dan IV dan diganti dengan robot juga perlu dikaji ulang. Pasalnya dalam struktur di jabatan tersebut diisi oleh orang-orang yang memahami teknis program.

“Jadi memang enggak semua kementerian gemuk, jadi ini filosofinya kementerian dan lembaga pemerintah itu gemuk-gemuk. Tapi enggak semua gitu, ada yang enggak gemuk berbanding terhadap tugasnya sehingga kalau nanti dipangkas sampai eselon III, nah itu akan banyak fungsi-fungsi yang tidak bsia dijalankan. Yang besar itu, kan, eselon III yang tahu teknis,” jelas dia.

Selain itu, Faisal menilai pensiun dini tidak bisa serta merta dilakukan karena PNS-PNS tua yang saat ini menjabat memiliki pengalaman di bidang pemecahan masalah.

“Mereka, kan, pengambil kebijakan. Kalau experience-nya orang dalam mengambil kebijakan itu enggak tergantikan. Melihatnya jangan hanya sejauh mana mereka paham IT, tua lantas enggak bermanfaat. Tapi mereka punya pengalaman dan pengetahuan karena mereka sudah lama di sana,” kata dia.

Anggaran Gaji PNS Membebani APBN

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan efisiensi dengan program pensiun dini bisa diterapkan oleh pemerintah bila serius ingin mengganti PNS dengan robot. Hal ini semestinya bisa dilakukan pemerintah, kata Bhima.

“Program pensiun dini ini artinya negara menganggarkan anggaran yang cukup besar karena program pensiunnya itu tetap perlu diberikan karena hak bagi ASN, tapi jumlah ASN yang didorong untuk pensiun dini ini harus ditingkatkan,” kata dia kepada Tirto, Kamis (2/12/2021).

Bhima menjelaskan, anggaran negara untuk menggaji PNS cukup menjadi beban. Berdasarkan data terkini, belanja pegawai pemerintah untuk membiayai PNS adalah sekitar 15% dari total belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebesar Rp2.714,2 triliun.

Berdasarkan APBN 2022 yang sudah disahkan DPR, belanja pegawai tahun depan mencapai Rp400 triliun. Atau di bawah sedikit dari anggaran pendidikan dalam APBN 2021 yang sebesar Rp542,831 triliun atau 20% dari total belanja di dalam APBN.

“Ini gimmick saja, berulang yang intinya adalah ingin efisiensi demi hemat anggaran. Tapi pada praktiknya kan pemerintah enggak punya keberanian bahkan untuk memangkas belanja pegawai. Belanja pegawainya masih gemuk dan menggerogoti anggaran negara. Kalaupun pemerintah serius sama ini, harusnya dari dua tahun lalu program ini sudah dipetakan, ke mana? Gimana? Kan ini belum matang,” kata dia.

Jika negara serius untuk melakukan efisiensi dan optimalisasi kinerja PNS, kata Bhima, program pergantian ke robot ini bisa membuat negara hemat belanja pegawai sampai 50 persen. Maka dari itu, ia mendorong keseriusan yang akan dilakukan pemerintah untuk membuat optimalisasi kerja PNS melalui AI.

“Ini yang harus didorong. Kalau mau bahasannya efisiensi dan optimalisasi, sebenarnya ada di tingkat atas. Kalau mau efisiensi jangan nambah wakil menteri. Pemerintah enggak konsisten, masih setengah hati untuk melakukan digitalisasi. Kalau AI ini dijalankan bisa 50 persen fungsi PNS bergeser ke digital. Misalnya tukang cap gitu saja kerjanya,” terang dia.

Baca juga artikel terkait KECERDASAN BUATAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz