Menuju konten utama

Petaka Tarif Trump dan Kecemasan RI Gagal Negosiasi

Tarif resiprokal 32 persen yang diumumkan Trump, sebelum negosiasi dengan RI berakhir, dianggap kegagalan pemerintah dalam diplomasi transaksional.

Petaka Tarif Trump dan Kecemasan RI Gagal Negosiasi
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyerahkan surat nominasi saat ia memberi tahu Presiden Donald Trump bahwa ia telah menominasikannya untuk Hadiah Nobel Perdamaian, selama jamuan makan malam bilateral, di Gedung Putih di Washington, D.C., AS, 7 Juli 2025. REUTERS/Kevin Lamarque

tirto.id - Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk tetap memberlakukan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap seluruh produk Indonesia menjadi kenyataan pahit yang selama ini dikhawatirkan pemerintah.

Negosiasi panjang dan berbagai proposal yang diajukan Indonesia—mulai dari komitmen impor komoditas pangan dan energi hingga janji investasi—tak mampu meredam niat proteksionis Trump. Sementara negara-negara tetangga seperti Thailand dan Kamboja justru berhasil meloloskan penurunan tarif.

Jika negosiasi tahap lanjutan yang saat ini masih berlangsung berujung kegagalan, perekonomian Indonesia berada di tubir jurang pelemahan.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin, menyatakan bahwa kebijakan tarif Trump ini akan sangat mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar global, khususnya Amerika Serikat.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 nilai ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam mencapai 28,18 miliar dolar AS, naik 9,27 persen dibanding tahun sebelumnya. Angka ini menunjukkan betapa pentingnya pasar AS bagi perdagangan Indonesia, dengan kontribusi mencapai 9,65 persen terhadap total ekspor nasional.

“Penurunan daya saing karena tambahan tarif dikhawatirkan bisa berpengaruh pada penurunan permintaan terhadap produk ekspor kita, yang pada akhirnya akan berdampak kurang baik bagi industri di dalam negeri, khususnya yang berorientasi ekspor” ujar Saleh kepada Tirto, Selasa (8/7/2025).

Ia menjelaskan bahwa industri yang selama ini sangat tergantung pada pasar AS, seperti tekstil, elektronik, alas kaki, dan perikanan, adalah sektor-sektor yang paling rentan. Industri-industri ini umumnya bersifat padat karya, menyerap banyak tenaga kerja, dan selama ini berjalan dengan margin keuntungan yang ketat.

Tambahan beban tarif sebesar 32 persen akan membuat produk mereka lebih mahal di pasar AS dibanding produk serupa dari negara pesaing seperti Thailand, Vietnam, atau Kamboja.

Saleh menambahkan bahwa risiko terbesar dari pemberlakuan tarif ini bukan hanya soal laba yang tergerus, tetapi juga dampak sosialnya yang bisa memicu lonjakan pengangguran. Sektor tekstil dan alas kaki, misalnya, menyerap lebih dari 3,6 juta tenaga kerja. Jika buyer global mulai memindahkan kontrak produksinya ke negara-negara dengan tarif lebih rendah, maka pemutusan hubungan kerja secara massal bisa saja terjadi.

Ia pun menyoroti bahwa keputusan ini datang di saat yang tidak tepat, mengingat industri manufaktur nasional tengah mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut. Dalam kondisi seperti ini, tekanan eksternal seperti kebijakan tarif akan semakin memperparah kondisi industri yang sudah melemah.

Sebagai solusi jangka pendek, Saleh mendorong pemerintah untuk memberikan insentif atau bantuan langsung kepada industri terdampak guna menjaga stabilitas produksi dan tenaga kerja. Selain itu, ia menggarisbawahi pentingnya strategi jangka panjang berupa diversifikasi pasar ekspor. Menurutnya, Indonesia tidak boleh terus-menerus menggantungkan nasib ekspor pada negara-negara tradisional seperti Amerika Serikat.

“Pemerintah perlu mulai melakukan penjajakan dengan pasar-pasar nontradisional, seperti negara-negara di kawasan Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur, dan Amerika Selatan. Hal yang tak kalah penting adalah mengoptimalkan produk di dalam negeri , misalnya melalui kebijakan TKDN pada sektor pengadaan pemerintah,” tutur Saleh.

Sementara itu, Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa persoalan yang dihadapi Indonesia kali ini bukan semata soal kebijakan Trump yang keras, melainkan karena kegagalan diplomasi dan negosiasi dari pemerintah Indonesia sendiri.

Ia menyebut bahwa keputusan tarif 32 persen ini adalah bukti nyata dari kegagalan tim ekonomi Indonesia dalam melindungi kepentingan nasional.

Menurutnya, klaim pemerintah bahwa negosiasi berjalan intensif menjadi tidak relevan ketika hasil akhirnya justru menempatkan Indonesia pada posisi terburuk. Negara tetangga seperti Thailand dan Kamboja berhasil menurunkan beban tarif mereka dari awalnya 36 dan 49 persen menjadi hanya 10 persen, sementara Indonesia tetap berada di angka 32 persen.

“Ini bukan sekadar kegagalan teknis. Ini adalah kegagalan strategis. Kegagalan kepemimpinan Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani Indrawati Cs dalam membela kepentingan strategis rakyat Indonesia,” tegas Achmad.

Ia mengibaratkan tarif 32 persen ini seperti memasang ransel penuh batu di punggung atlet yang hendak berlari dalam lomba global. Dalam perdagangan internasional, selisih margin lima persen saja sudah bisa memindahkan kontrak ke negara lain. Dengan perbedaan tarif setinggi ini, Indonesia langsung tertinggal di garis start.

Achmad menilai, tim negosiasi Indonesia terlalu mengandalkan intensitas pertemuan tanpa menyusun peta jalan yang berbasis kepentingan nasional maupun preferensi kebijakan Donald Trump. Padahal, surat resmi Trump sudah jelas menyebut bahwa tarif dapat berubah jika Indonesia bersedia membuka pasar nasional bagi produk Amerika atau menyesuaikan kebijakan dagangnya.

“Ini diplomasi transaksional. Strategi yang lazim di dunia perdagangan global. Namun pemerintah tampak tidak menyiapkan counter-offer yang layak. Mereka menunggu belas kasihan AS, tanpa memberikan nilai strategi bagi Indonesia,” ujar Achmad.

Kesalahan lain yang menurutnya sangat mencolok adalah kegagalan memanfaatkan posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia. Dalam konteks industri kendaraan listrik dan rantai pasok mineral kritis global, seharusnya hilirisasi nikel bisa dijadikan alat tawar strategis yang kuat dalam negosiasi. Namun, tak ada tawaran investasi atau konsesi yang disodorkan untuk membuat AS bersedia menurunkan tarif.

Selain itu, struktur birokrasi domestik dan kebijakan non-tarif yang tak efisien juga memperburuk posisi Indonesia. Ketidakpastian hukum, proses perizinan yang lambat, dan hambatan TKDN justru menjadi beban yang menutup peluang kerja sama.

Achmad juga menyoroti tim negosiasi yang tidak terkoordinasi dan minim transparansi kepada publik. Ia menyebut hal ini sebagai akar kegagalan, sebab seharusnya negosiasi perdagangan seharusnya dikelola layaknya tim sepak bola dengan pelatih dan strategi bersama.

Namun dalam kasus ini, setiap kementerian seolah berjalan sendiri-sendiri tanpa arahan taktis yang terpadu.

Yang membuat posisi Indonesia makin lemah adalah kekosongan posisi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat yang sudah terjadi selama hampir dua tahun sejak Rosan Roeslani mundur pada Juli 2023. Dalam diplomasi tarif yang memerlukan kehadiran, intensitas, dan akses politik tinggi, ketiadaan duta besar menjadi kerugian besar. Tidak ada figur yang memiliki otoritas untuk membuka akses negosiasi, menjalin lobi, atau menyampaikan proposal strategis secara terus-menerus.

“Ini bukan sekadar kelalaian. Namun menurunkan posisi tawar Indonesia di panggung global,” tambag Achmad.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa konsekuensi dari kegagalan ini bukan sekadar diplomatik, tapi juga strategis bagi perekonomian nasional. Target surplus perdagangan Indonesia sebesar 40 miliar dolar AS di tahun ini bisa buyar.

Sebabnya jelas: pasar AS yang selama ini menyumbang lebih dari 10 persen ekspor non-migas akan menyusut. Penurunan volume ekspor akan menekan penerimaan devisa, membuat nilai tukar rupiah lebih rentan, dan pada akhirnya melemahkan daya beli masyarakat.

Achmad menyimpulkan bahwa Indonesia butuh tim ekonomi baru yang lebih kuat, terkoordinasi, dan mampu merespons dinamika perdagangan global secara adaptif dan strategis. Menurutnya, kegagalan kali ini adalah momentum untuk mengevaluasi kepemimpinan ekonomi nasional yang selama ini terlalu reaktif dan minim strategi.

“Kalau kita terus membiarkan pola seperti ini, masa depan industri Indonesia akan terus terancam. Kita hanya akan jadi penonton dalam arena global. Butuh pemimpin ekonomi yang tidak hanya pintar teori, tapi tangguh di meja perundingan,” kata Achmad.

Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto, mengaku terkejut dengan keputusan Donald Trump yang memukul Indonesia dengan tarif resiprokal 32 persen, sebelum tenggat waktu negosiasi berakhir pada Rabu (9/7/2025). Pasalnya, dalam periode negosiasi, tim negosiator telah menyampaikan seluruh dokumen yang dibutuhkan, bahkan Trump menyebut Indonesia sebagai negara yang terbaik.

Meski demikian, ia menjelaskan bahwa tarif 32 persen tersebut bukan bea masuk final yang harus ditanggung Indonesia saat mengirimkan barang-barang ke AS. Sebab, dari surat yang dikirimkan Trump, tersirat pernyataan bahwa Gedung Putih masih membuka ruang negosiasi dengan Indonesia.

Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah masih mempertahankan posisinya dalam proses negosiasi dengan Gedung Putih. Terlebih, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto—sebagai salah satu anggota tim negosiator—juga tengah bertolak ke Washington D.C untuk bertemu dengan Secretary of Treasury, Scott Bessent; USTR Head, Jamieson Greer; dan Secretary of Commerce, Howard Lutnick.

“Jadi, artinya ini masih kebuka mereka juga menginginkan respon positif dari kita dan kita tentu juga berharap kita dapat deal (tarif) yang lebih baik,” jelas Haryo di kantornya, Rabu (9/7/2025).

Haryo percaya, dalam menetapkan tarif untuk Indonesia ini, pemerintah AS telah mempertimbangkan secara global dan bukan lagi per negara. Sebagai contoh, pemerintah AS bisa jadi memiliki pertimbangan yang berbeda saat memukul tarif 27 persen kepada Vietnam, sedangkan Indonesia mendapat tarif bea masuk lebih tinggi.

“Pemerintah AS menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia juga tidak perlu kecewa dengan pemerintah AS, kami pun juga menyampaikan bahwa pemerintah AS juga tidak perlu kecewa dengan Indonesia,” jelas dia.

Baca juga artikel terkait TARIF TRUMP atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra & Dwi Aditya Putra
Penulis: Hendra Friana