Menuju konten utama

Perbedaan Politik Dinasti & Dinasti Politik Beserta Contohnya

Berikut perbedaan politik dinasti dan dinasti politik beserta contohnya di Indonesia. 

Perbedaan Politik Dinasti & Dinasti Politik Beserta Contohnya
Ilustrasi pemilu Indonesia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Menjelang Pemilu 2024 di Indonesia, penting untuk memahami perbedaan dinasti politik dan politik dinasti. Sebab, dua istilah tersebut akan sering muncul dalam pembahasan perpolitikan di Indonesia.

Merujuk pada laman resmi Mahkamah Konstitusi, politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait hubungan keluarga.

Misalnya, kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Ayah dapat diwariskan kepada anaknya. Sistem politik dinasti jamak diterapkan dalam sebuah kerajaan.

Politik dinasti ini, sebagai proses regenerasi kekuasaan bagi keluarga tertentu saja. Di mana kekuasaannya hanya mementingkan keluarganya untuk terus mempertahankan kekuasaan.

Sementara sistem dinasti politik mempunyai definisi yang berbeda. Merujuk tulisan Hilda Zuhdi dalam jurnal berjudul Pengertian Dinasti Politik menjelaskan, bahwa dinasti politik merupakan kekuasaan yang didapatkan dengan cara primitif, karena mengandalkan darah keturunan beberapa orang.

Dinasti politik membuat sebuah pemerintahan tidak berjalan secara efektif, adil, inklusif dan jujur. Sebab, cara kerja dinasti politik hanya memberikan kekuasaan kepada saudara dan kerabatnya saja.

Senada dengan Zuhdi, menurut Zulkieflimansyah dalam laman resmi MK, dampak negatif dari adanya dinasti politik akan sulit mewujudkan cita-cita demokrasi.

Pasalnya, tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif.

Sehingga, dengan adanya Dinasti Politik, kata Zulkieflimansyah, kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme begitu tinggi.

Contoh Politik Dinasti di Indonesia

Berdasarkan tulisan Winda Roselina Effendi yang berjudul “Dinasti Politik dalam Pemerintahan Lokal Studi Kasus Dinasti Kota Banten” menjelaskan, bahwa politik dinasti telah terjadi di Banten.

Dinasti politik di Banten terjadi mulai dari Gubernur hingga Wali Kota, dikuasai oleh satu keluarga yang sama. Padahal, Banten tetap menerapkan pemilihan secara langsung. Artinya demokratisasinya berjalan dengan baik.

Hanya saja, pemilihan secara langsung masih didominasi oleh pendukung elit politik lama yang masih mempunyai loyalitas tinggi.

Selain itu, berkuasanya keluarga Atut karena mempunyai sumber kekayaan yang melimpah. Sehingga bisa membangun kekuasaan secara turun temurun tanpa menghilangkan nilai demokrasi tersebut.

Pada tahun 2020, Pilar Saga Ichsan maju sebagai Wali Kota Tangsel. Pilar merupakan anak dari Wali Kota Serang Ratu Tatu Chasanah.

Sedangkan Ratu Tatu Chasanah merupakan adik dari eks-Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Tiga nama tersebut, menurut Winda, masih mempunyai hubungan darah alias masih satu keluarga.

Dengan modal kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki oleh Pilar. Ia berhasil menang dalam kontestasi Pilwalkot Tangsel 2020. Pilar bersama dengan Benyamin Davnie, berhasil meraup suara terbanyak, dengan raihan suara 40.9 persen.

Di tahun yang sama pula, Ratu Tatu Chasanah ibunya Pilar, juga maju dalam Pilkada tahun 2020. Ia berhasil mempertahankan kursi sebagai Wali Kota Serang untuk periode kedua.

Dinasti Atut tidak berhenti di situ, menantunya Ratu Atut Chosiyah juga maju dalam kontestasi Pilkada 2020. Menantunya tersebut bernama Tanto Earsono Arban, maju sebagai Calon Wakil Bupati Pandeglang berpasangan dengan Irna Narulita.

Dalam pencalonan menjadi Wakil Bupati, Tanto berhasil menang. Mengungguli suara dari kandidat lainnya. Tanto meraup 63,6 persen suara.

Menurut Winda, fenomena politik dinasti yang terjadi di Banten karena beberapa alasan. Pertama, karena macetnya kaderisasi partai politik dalam menjaring calon kepala daerah berkualitas.

Sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik.

Kedua, karena masyarakat ingin menjaga kondisi status quo di daerahnya. Di mana menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekatnya.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Sulthoni

tirto.id - Politik
Kontributor: Sulthoni
Penulis: Sulthoni
Editor: Alexander Haryanto