Menuju konten utama

Arti Politik Dinasti, Tujuan & Apakah Melanggar Konstitusi?

Berikut adalah arti dan tujuan politik dinasti, apakah melanggar konstitusi?

Arti Politik Dinasti, Tujuan & Apakah Melanggar Konstitusi?
Ilustrasi pemilu Indonesia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Barangkali Anda sudah tidak asing lagi dengan istilah politik dinasti. Pasalnya, fenomena ini cukup marak terjadi di Tanah Air. Namun demikian, masih banyak yang belum mengetahui istilah itu secara mendalam, berikut penjelasannya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dinasti diartikan sebagai keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga.

Sementara menurut pengertiannya, politik dinasti adalah sistem kekuasaan politik yang dilakukan sekelompok orang yang masih mempunyai hubungan darah.

Politik dinasti sangat identik dengan zaman kerajaan. Hal itu karena pemerintahan akan diturunkan dari ayah ke keturunan selanjutnya.

Tujuan politik dinasti adalah supaya kekuasaan atau pemerintah tetap dipegang orang-orang yang masih keluarga. Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan keluarga incumbent (petahana) untuk maju sebagai calon kepala daerah.

MK menyetujui beberapa tuntutan tentang dilegalkannya politik dinasti. Khususnya yang berhubungan konflik kepentingan dengan petahana.

Lembaga tinggi negara tersebut menilai bahwa Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pasal 7 huruf r mengarah pada tindakan diskriminasi. Selain itu, juga bertolak belakang dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 ‎j ayat 2.

MK ‎menganggap bahwa kalimat “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” terlalu subjektif. Oleh karena itu, dapat menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Disisi lain, tampil menjadi calon kepala daerah adalah hak konstiusional.

Adapun dampak negatif dari politik dinasti, antara lain:

1. Membuat partai politik (parpol) menjadi mesin politik yang akan menghambat fungsi ideal parpol. Hal itu menyebabkan tidak ada tujuan lain selain kekuasaan. Selain itu, parpol akan mencalonkan caleg hanya berdasarkan popularitas dan kekayaannya supaya bisa menang.

Sehingga memunculkan caleg “dadakan” dari golongan artis, pengusaha, dan “darah hijau” (politik dinasti). Di mana seluruhnya tidak melewati tahapan kaderisasi terlebih dahulu.

2. Dampak kedua merupakan konsekuensi logis dari dampak pertama, yaitu kesempatan masyarakat yang dapat menjadi kader kompeten dan berkualitas menjadi tertutup.

Rotasi kekuasaan hanya sekitar kalangan para elit serta pengusaha. Hal itu dapat menimbulkan terjadinya negosiasi dan konspirasi terkait kepentingan dalam melakukan kewajiban kenegaraan.

3. Cita-cita demokrasi akan sulit untuk diwujudkan. Hal itu disebabkan oleh pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance) tidak bisa direalisasikan. Selain itu, menurunnya fungsi yang berupa kontrol kekuasaan.

Jika fungsi kontrol kekuasaan berjalan tidak efektif, maka dapat memperbesar peluang terjadinya penyelewengan dalam kekuasaan. Beberapa di antaranya adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Contoh Politik Dinasti di Indonesia

Meskipun banyak terjadi di tempat lain, Provinsi Banten menjadi salah satu yang menjalankan praktik politik dinasti di Indonesia. Contohnya adalah Gubernur Banten periode 2007-2012 Ratu Atut Chosiyah.

Terdapat 9 orang yang menjabat di setiap “kerajaannya” dalam keluarga besar Ratu Atut Chosiyah. Tercatat suaminya adalah anggota DPR. Lalu anaknya merupakan anggota DPD.

Adapun menantu Ratu Atut Chosiyah menjabat sebagai anggota DPRD Kota Serang. Kemudian adiknya adalah anggota DPRD Banten. Selanjutnya ada ibu dan adik tiri Ratu Atut Chosiyah yang masing-masing adalah wakil wali kota Serang dan anggota DPRD Kabupaten Pandeglang.

Selain itu, juga ada ibu tiri Ratu Atut Chosiyah lainnya yang merupakan anggota DPRD Kota Serang. Terakhir, ada adik ipar politisi berusia 61 tahun itu, Airin yang menjabat sebagai Walikota Tangerang Selatan.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Tifa Fauziah

tirto.id - Politik
Kontributor: Tifa Fauziah
Penulis: Tifa Fauziah
Editor: Alexander Haryanto