Menuju konten utama
Round Up

Kasus Ade Yasin Makin Menebalkan Perilaku Korup Dinasti Politik

Kasus Ade Yasin menegaskan bahwa dinasti politik yang dibangun dari biaya kontestasi politik yang mahal hanya melahirkan pimpinan daerah yang korup.

Kasus Ade Yasin Makin Menebalkan Perilaku Korup Dinasti Politik
Bupati Bogor, Ade Yasin selaku Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (ANTARA/M Fikri Setiawan)

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah. Kali ini, tim penindakan komisi antirasuah menangkap Bupati Bogor Ade Yasin.

“Benar, tadi malam sampai Rabu (27/4/2022) pagi, KPK melakukan kegiatan tangkap tangan di wilayah Jawa Barat,” kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (27/4/2022).

Selain Ade Yasin, tim penindakan KPK juga menangkap sejumlah orang. Salah satunya adalah pemeriksa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat. Hal ini dikonfirmasi Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.

KPK pun tengah melakukan pendalaman dan pemeriksaan setelah penangkapan tersebut. Hingga Rabu malam pukul 21.20 WIB, KPK belum mengumumkan kronologi dan posisi kasus yang menjerat adik eks Bupati Bogor sekaligus mantan napi korupsi Rahmat Yasin itu.

Lagi-Lagi Dinasti Politik

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko menilai, penangkapan Ade Yasin mengingatkan tentang korupsi yang berkaitan dengan dinasti politik di Indonesia. Ia menilai, dinasti politik berkorelasi dengan biaya kontestasi politik sehingga mengarah pada tindakan koruptif.

“Sekali lagi menegaskan bahwa dinasti politik yang dibangun dari biaya kontestasi politik yang mahal hanya melahirkan pimpinan daerah yang korup," kata Wawan kepada reporter Tirto.

Kasus dinasti politik yang akhirnya membuat kepala daerah masuk bui bukan hanya kasus Ade Yasin dan Rahmat Yasin di Bogor. Di Provinsi Banten, ada Ratu Atut Chosiyah (eks gubernur) bersama adiknya Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Atut dan Wawan tersandung kasus korupsi alkes dan akhirnya dipenjara.

Contoh lainnya adalah kasus Wali Kota Cimahi 2012-2017, Atty Suharti yang juga menyeret suaminya, Itoc Tochija. Suami-istri ini tersandung kasus korupsi pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi tahap II pada 2017.

Lalu ada kasus Yan Anton Ferdian, mantan Bupati Banyuasin 2013-2018. Anton ditangkap terkait proyek pengadaan di Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin pada 2016. Nasib Anton mirip dengan ayahnya Amiruddin Inoed, yang merupakan Bupati Banyuasin sebelumnya yang juga tersandung kasus korupsi.

Kemudian ada Bupati Kutai Kertanegara 1999-2010 Syaukani Hasan Rais. Syaukani tersandung kasus korupsi proyek pembangunan Bandara Samarinda Kutai Kartanegara. Pada 2010, anak Syaukani, Rita Widyasari resmi menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara hingga akhirnya tersandung kasus korupsi dan gratifikasi pada 2017.

Wawan memandang politik dinasti sulit untuk diberantas. Ia menegaskan, hak memilih dan dipilih adalah salah satu sandungan penghapusan politik dinasti.

“Mengatur dinasti politik sangat susah sekali ya, karena berkaitan dengan hak memilih dan dipilih. Tetapi bisa masuk dengan pengaturan konflik kepentingan dan pendidikan politik warga," kata Wawan.

Hal senada diungkapkan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Bonyamin Saiman. Ia menilai, kasus Ade Yasin membuktikan korupsi dinasti keluarga Yasin besar di Bogor. Oleh karena itu, Bonyamin menyarankan agar Bogor dimekarkan menjadi beberapa kabupaten.

“Selama ini Kabupaten Bogor dipimpin bupati apalagi dari dinasti Ade Yasin ini, sebelumnya Rahmat Yasin banyak godaan dan kemudian ada dugaan korupsi ini,” kata Boyamin dalam keterangan, Rabu (27/4/2022).

Bonyamin menambahkan, “Maka supaya kabupaten ini tidak terlalu kaya raya karena wilayahnya luas dan dekat Jakarta dan termasuk kawasan puncak, maka harus dipecah menjadi minimal 3 atau 2 (kabupaten) lah paling tidak, sehingga nantinya tidak akan menggoda kepala daerah untuk melakukan korupsi lagi karena terlalu kaya rayanya daerah ini.”

Selain soal korupsi politik dinasti, Bonyamin mengritik kinerja KPK. Secara penindakan, Bonyamin mengapresiasi. Akan tetapi, kinerja KPK masih belum maksimal karena belum menangkap koruptor skala besar.

“Sekali lagi saya mengatakan terbukti premis saya bahwa KPK hingga detik ini beraninya hanya dengan bupati dan level-level yang sederajat atau bahkan di bawahnya. Karena kemarin juga katanya mau ngurusi dana desa, jadi KPK saat ini, ya levelnya hanya bupati ke bawah. Ini sesuatu yang menurut saya kurang membanggakan sebenarnya," kata Bonyamin.

Sebagai catatan, tindakan tangkap tangan yang dilakukan KPK menurun setelah dipimpin Firli Bahuri dan pelaksanaan revisi UU 19/2019 tentang KPK. Aksi tangkap tangan terakhir yang dilakukan KPK adalah saat penangkapan Bupati Langkat Terbit Rencana Peranginangin pada Januari 2022. Selebihnya, penangkapan dilakukan dengan metode konferensi pers penahanan diikuti pengumuman tersangka.

Bonyamin sepakat bahwa KPK perlu menindak semua aksi korupsi dengan prinsip zero tolerance terhadap korupsi. Akan tetapi, KPK seharusnya bisa melakukan penindakan korupsi pada pelaku dengan jabatan lebih tinggi serta uang yang lebih besar. Ia membandingkan dengan Kejaksaan Agung yang mampu mengungkap korupsi minyak goreng.

“Ini Kejagung mampu mengungkap (kasus korupsi besar seperti minyak goreng) tetapi KPK belum dan seperti tidak melakukan apa-apa, seperti tidur, maka tetap berharap momentum ini KPK masih mampu menunjukkan taringnya ke depannya untuk memberantas korupsi yang lebih besar dan lebih tinggi levelnya,” kata Bonyamin.

"Saya tahu masih banyak di level-level di atasnya (kasus Ade Yasin) itu dugaan korupsi masih banyak dan itu mestinya KPK mampu menjangkau ke sana," tegas Bonyamin.

Bonyamin juga mengkritik pernyataan Firli soal pencegahan korupsi. Ia menilai, kasus Ade Yasin harus menjadi pemicu bukti rencana kerja KPK dari sisi pencegahan sesuai kampanye Firli. Kasus ini harus menjadi momentum pencegahan kepala daerah untuk melakukan rasuah.

“Ini harus memperbaiki tata kelola dan sistem yang lebih baik supaya lebih antikorupsi,” kata Bonyamin.

Wawan juga menilai kinerja KPK lemah jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum lain. Situasi ini, kata Wawan, diakui berkaitan dengan revisi KPK yang dianggap melemahkan kondisi KPK.

“Betul sekali, kita bandingkan dengan APH lain yang juga menangani kasus korupsi yang menyita perhatian publik sehingga OTT sebagai salah satu instrumen menjadi biasa saja dan wajar, jika dibandingkan dengan kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi," tutur Wawan.

Wawan mengatakan, “Inilah bentuk pelemahan KPK yang dalam revisi UU KPK 30/2002 tentang hilangnya Pasal 11 b yang konstruksinya KPK punya kewenangan untuk menangani korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat.”

Ia menilai penindakan KPK menjadi lemah. Kini, KPK seolah tidak tahu tujuan dalam penindakan. "Jadi KPK dalam penindakannya tercerabut dari problem korupsi yang sesungguhnya. Artinya hanya mengejar kerugian keuangan negara, padahal bisa juga mengejar kerugian perekonomian negara, karena korupsinya mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat misalnya," tutur Wawan.

Meski demikian, Wawan menegaskan kasus Ade Yasin perlu diperhatikan. Meski KPK belum mengungkapkan kepada publik soal kronologi dan duduk perkara kasus Ade Yasin, ia khawatir korupsi berkaitan dengan hasil audit.

“Yang menarik adalah OTT Ade Yasin ini bersama dengan beberapa orang dari kanper BPK Jabar. Sehingga patut diduga terkait upaya audit dan/atau pemberian opini yang menjadi kewenangan BPK kepada sebuah lembaga/instansi tersebut. Bisa saja mengarah ke situ dugaannya. Tapi ya kita tunggu preskon dari KPK," kata Wawan.

Baca juga artikel terkait OTT BUPATI BOGOR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz