tirto.id - Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menilai langkah pemerintah untuk menghapus tunggakan iuran BPJS Kesehatan adalah kebijakan pro rakyat. Namun, dia mengimbau pemerintah untuk tak hanya membuat kebijakan populis semata tanpa pembenahan sistematik.
Diketahui, rencana itu untuk menyasar sekitar 23 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari kelompok Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), atau peserta mandiri. Kebijakan pemutihan tersebut ditargetkan selesai paling lambat akhir November 2025.
“Penghapusan tunggakan memang penting untuk mengembalikan hak konstitusional warga sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (3) UUD 1945. Tetapi langkah ini harus diiringi reformasi layanan dan pengawasan yang lebih ketat,” ujar Edy dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (16/10/2025).
Menurut Edy, banyak peserta mandiri ingin kembali aktif, tetapi terhambat oleh tunggakan iuran. Dengan adanya pemutihan, mereka dapat membayar iuran kembali tanpa beban masa lalu. “Kebijakan ini justru bisa menambah pemasukan riil dan membantu mengatasi potensi defisit JKN,” katanya.
Edy menambahkan, penghapusan tunggakan juga dapat menertibkan status peserta penerima bantuan iuran (PBI). Selama ini, sebagian peserta mandiri yang menunggak dialihkan menjadi PBI yang iurannya ditanggung pemerintah. “Dengan pemutihan, peserta yang mampu bisa kembali menjadi peserta mandiri, sehingga PBI benar-benar diperuntukkan bagi warga miskin,” tuturnya.
Lebih jauh, Edy melihat kebijakan ini memiliki dimensi keadilan sosial. “Kalangan mampu sudah pernah mendapat pengampunan pajak lewat tax amnesty. Maka pemutihan JKN menjadi bentuk keadilan negara bagi rakyat kecil,” tuturnya.
Meski demikian, Edy menegaskan, keberhasilan program JKN tidak hanya diukur dari jumlah peserta aktif, tetapi juga dari mutu layanan dan integritas sistemnya.
“Kalau layanan kesehatan membaik, masyarakat akan rela membayar iuran rutin. Tanpa itu, pemutihan hanya akan menjadi wacana populis tanpa efek jangka panjang,” katanya.
Edy juga mendorong agar Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Sanksi Pelanggaran Kepesertaan JKN diperluas penerapannya. Saat ini, sanksi administratif baru berlaku untuk pengurusan SKCK dan SIM. “Sanksi perlu diperluas agar peserta menengah ke atas juga merasa bertanggung jawab. Prinsip gotong royong dalam jaminan sosial tidak boleh hanya menjadi jargon,” terangnya.
Edy pun memperingatkan bahwa kebijakan pemutihan harus diikuti langkah pembenahan menyeluruh. “Jangan jadikan ini sekadar hadiah politik. Pastikan kebijakan ini menegakkan keadilan, memperkuat layanan, dan menjaga keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional,” ucapnya.
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































