tirto.id - Raut wajah Oetojo Oesman tegang. Bahunya merendah, matanya memerah. Seraya memegang cangklong, menteri kehakiman di periode terakhir pemerintahan Soeharto itu terbata-bata ketika memberi pernyataan kepada para wartawan yang menunggunya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.
Senin, 6 Mei 1996, pukul lima sore, kabar Eddy Tansil kabur dari Cipinang menyentak media-media tanah air. Kabar itu membawa persoalan besar bagi Oetojo. Apalagi sebulan sebelumnya ia melakukan inspeksi dan mendapati sang koruptor kelahiran Makassar itu menikmati keistimewaan di penjara: tempat tidur beralas kasur, televisi dan kipas angin.
“Saya yang bertanggung jawab,” kata Oetojo sehari kemudian kepada Majalah Tiras edisi 16 Mei 1996.
Oetojo tak bisa menutupi amarahnya. Ia segera membentuk tim. Perburuan terhadap Eddy Tansil dikembangkan dalam skala internasional, termasuk menggandeng Kroll Associates, perusahaan yang menangani kejahatan penipuan, bermarkas di New York.
Tim itu mungkin yang terbesar pernah dibentuk negara Indonesia hanya untuk mengejar seorang koruptor Eddy Tansil. Lewat instruksi Presiden Soeharto, tim melibatkan lintas lembaga dan badan intelijen. Meski begitu, hasilnya memble. Eddy Tansil tak pernah tertangkap, bahkan hingga saat ini.
Eddy Tansil memang lihai dalam segalanya. Sukses menilep duit negara dalam perkara kredit macet Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) pada 1994 sebesar Rp1,3 triliun—atau setara Rp11,5 triliun dengan nilai inflasi sekarang. Sukses kabur dari penjara yang seharusnya ia jalani selama 20 tahun. Sukses bikin pemerintahan Orde Baru malu di tengah sorotan tajam atas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dari rezim itu.
Sebelum kabur ke luar negeri, ia sempat-sempatnya membeli oleh-oleh di Holland Bakery Gajah Mada, Jakarta Pusat, berpamitan kepada keluarga dan anak buahnya, mendatangi rumah sekaligus kantornya di Pecenongan—hanya 1 km dari Istana Merdeka.
“Waktu itu dia panggil semua karyawan ke lantai dua. Ia mengucapkan terima kasih dan menyalami semua karyawan,” kata Iwan Sugandhi mengenang peristiwa 23 tahun lalu.
Iwan adalah anak buah kepercayaan Eddy, yang bekerja sejak pertengahan 1980-an saat Eddy dan bapaknya, Harry Tansil, berbisnis perakitan sepeda motor.
Kami menemui Iwan pada Maret 2019 di sebuah lokasi di Pasar Baru, Jakarta Pusat. Namanya diseret-seret dalam perkara pembobolan Bapindo.
Seorang office boy seperti Iwan terdata sebagai pemilik saham di salah satu perusahaan Eddy Tansil. Iwan sempat menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Ia kemudian dibebaskan karena memang tidak tahu-menahu. Namanya sengaja dicatut. Saat kami menemuinya, Iwan kini bekerja sebagai tukang ojek yang biasa mangkal di Stasiun Gondangdia.
Saat Eddy mengucapkan salam perpisahan, kenang Iwan, seluruh pegawai kantor tak menduga sang patron bakal bikin geger satu negara.
“Kagetnya setelah besok-besoknya pas baca di berita bahwa dia kabur,” katanya.
Mengubah Penampilan di Penjara
Punya koneksi ke lingkaran dekat penguasa, Eddy Tansil sudah mempersiapkan diri buat kabur dari penjara Cipinang. Dua bulan sebelum jadi subjek pemberitaan panas politik yang makin bikin keropos legitimasi rezim Soeharto, ia sengaja mengubah penampilannya.
Foto-foto dari seorang penyidik senior kepada kami memperlihatkan perubahan penampilan Eddy Tansil. Foto pertama Eddy berwajah gempal dengan rambut pendek. Foto kedua rambutnya gondrong dan berkumis.
Soal perubahan drastis penampilan Eddy itu dibenarkan Humprey Djemaat. Ayah Humprey, yakni Gani Djemaat, adalah pengacara Eddy Tansil, sementara Humprey diperbantukan menangani kasus ini.
Humprey biasa mengunjungi Eddy di penjara. “Saya perhatikan memang banyak berubah. Enggak biasanya dia panjangkan rambut, jenggot, dan kumis,” ucapnya.
Sebagaimana seorang patron, Eddy juga masih bebas mengatur bisnis dari penjara. Keluarganya bisa kapan saja mengunjungi selnya. Salah seorang mantan penyidik yang menangani perkaranya berkata Eddy Tansil pandai memainkan kelemahan supremasi hukum negara kita dengan menyuap pegawai rendahan. Ia juga memakai pengaruh kedekatannya dengan pejabat di Indonesia. Ia tak pernah menerima hukuman masuk sel isolasi meski banyak sipir tahu ia sering bolak-balik penjara untuk kepentingan pribadi.
“Semua orang tahu dia dekat dengan siapa,” kata eks penyidik itu kepada kami.
Maka, menggabungkan kekuatan uang dan koneksinya dengan lingkaran pejabat, Eddy Tansil bisa melenggang ke luar Indonesia, persis setelah ia mempersiapkan segalanya.
Kabur lewat Batam Menuju Singapura
James Filgo, detektif swasta yang dikontak Steve Vickers, pemimpin Kroll Associates, untuk terlibat dalam tim memburu Eddy Tansil, berkata buron kelas kakap itu sangat mungkin kabur via Batam. Dari daerah pantai utara Jakarta, Eddy Tansil diyakini dijemput sebuah perahu motor yang membawanya ke Batam. Dari sana dia menuju Singapura.
Muskil jika Eddy Tansil melarikan diri via pesawat. Eddy memiliki paspor dengan nomor D375269 yang diterbitkan imigrasi pada 5 Maret 1993 di Jakarta. Tapi pihak imigrasi di bandara tidak mendeteksi pergerakannya.
Filgo sudah lama bermukim di Indonesia, saat ini ia membuka jasa biro konsultan keamanan. Pada 1996, ia menguntit keluarga Eddy selama berbulan-bulan. Ia berharap Eddy lengah dan membocorkan informasi keberadaanya kepada keluarga.
“Jujur, itu kasus lama sekali. Saya lupa. Dan data-datanya sudah tidak saya pegang lagi,” katanya dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih kepada kami.
Meski lupa atas setiap detail yang ia kerjakan dalam kasus ini, Filgo masih mengingat temuan menariknya. Ketika berkunjung ke Batam, informannya mengatakan penjaga perbatasan memang membiarkan Eddy menyeberang ke Singapura. Sebabnya, Eddy memiliki “surat sakti” dari seorang pejabat di Jakarta. Bagi si petugas, menahan Eddy hanya akan membikinnya celaka.
“Ia bisa kabur gara-gara sebuah surat. Saya tak tahu surat itu dari siapa. Tapi hal ini sudah rahasia umum, kan, di Indonesia?” ucapnya.
Laporan utama Majalah Tiras menulis dua hari setelah kabur, koruptor kelas kakap itu sempat menelepon anak angkatnya yang tinggal di kawasan perumahan elite di Simprug Golf, Jakarta Selatan. Kontak telepon itu menunjukkan Eddy berada di Singapura.
Kenapa Eddy kabur via Singapura, keterangan Filgo menjadi logis. Sebelum melarikan diri, istri dan keluarga Eddy Tansil sudah menghilang lebih dulu di Jakarta dan diketahui berada di Singapura.
Di negara itu, lima anak Eddy bermukim: Bernard, Jennifer, Leonard, Virgina, dan Yessica. Sejak terjerat kasus pembobolan uang negara, Eddy memboyong keluarganya ke Singapura. Jennifer bahkan bersekolah di sana sejak sekolah dasar. Saat Eddy kabur, ia baru masuk SMP.
Di Singapura, keluarga Eddy Tansil tinggal di alamat Blok 938 Bedok North AV.4/10. Sayangnya, pemerintah Indonesia bergerak amat lamban. Ketika didatangi otoritas Kedubes Indonesia, keluarga Tansil sudah menghilang.
Padahal, keluarga Eddy Tansil di Singapura terpantau berada di apartemennya terakhir kali pada 9 Mei 1996. Sementara kabar Eddy Tansil kabur dari penjara Cipinang sejak 6 Mei. Artinya, ada jeda tiga hari sebelum Eddy memboyong keluarganya meninggalkan Singapura.
Setelah tiba di Singapura, bagaimanapun, sang buron tak perlu khawatir lagi. Indonesia dan Singapura tak punya kerja sama ekstradisi. Demikianlah, Eddy Tansil memperhitungkan pelariannya dengan lihai dan matang.
Sejak itu muncul anekdot dan sarkasme yang menobatkan Eddy Tansil sebagai atlet lari tercepat di dunia. Sang buron koruptor triliunan rupiah itu lari secepat kilat dan selama 23 tahun tak pernah ada seorang pun yang bisa mengejarnya.
=========
Laporan ini dikerjakan sejak akhir tahun 2018. Mengulik dokumen pengadilan Eddy Tansil dalam kasus Bapindo pada 1994 serta menelusuri dokumen-dokumen perusahaan dan melacak pemberitaan yang menulis kiprahnya, Arbi Sumandoyo dan Aqwam Fiazmi Hanifan dari tim In-depth Tirto mewawancarai puluhan narasumber, mulai dari eks-pegawai Eddy Tansil, para pejabat intelijen dan jaksa senior di Indonesia, pejabat China, hingga lingkaran saudaranya, baik di Makassar sampai di Hong Kong dan Tiongkok.
Kami menerima informasi lanjutan mengenai Eddy Tansil maupun buronan koruptor lain, sila kontak email: aqwam@protonmail.ch.
Penulis: Arbi Sumandoyo & Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam