Menuju konten utama
Melacak Eddy Tansil (4)

Sisi Lain Eddy Tansil: Filantropi Keluarga China Kaya

Dikenal penjahat di Indonesia, keluarga Tansil tersohor sebagai dermawan di kampung asalnya di Fuqing.

Sisi Lain Eddy Tansil: Filantropi Keluarga China Kaya
Ilustrasi: Patung Hendra Rahardja di sebuah kampus lokal di Fuqing sebagai tanda jasa dia yang peduli pada pendidikan. Patung dibuat mirip seperti patung pendiri Republik Rakyat Tiongkok Mao Zedong. tirto.id/Lugas

tirto.id - Setelah kabur dari Indonesia pada 1996, Eddy Tansil mendapatkan keistimewaan dan perlindungan di kampung halamannya di Fujian. Bagi pria yang punya nama Chen Zihuang (陈子煌) ini, keberuntungan itu tidak datang dengan tiba-tiba.

Di kampung halamannya di Fuqing, sebuah kota setingkat kabupaten di selatan Fuzhou dan utara Putian di Provinsi Fujian, tercipta memori kolektif bahwa Eddy Tansil berasal dari keluarga perantauan yang sukses dan kaya sekaligus patriotik dan dermawan. Citra ini dibangun keluarga Tansil sejak pertengahan 1980-an saat diaspora orang-orang Fujian, termasuk orang Hokchia di Fuqing, terpanggil untuk pulang kampung membangun halamannya.

Situs resmi pemerintah Fuqing bahkan menyebut sifat dermawan ini membuat keluarga Tansil sering diundang untuk bertemu dengan pejabat tinggi di Beijing, dari Perdana Menteri Li Peng, Sekjen Partai Komunis China Jiang Zemin, dan Menteri Luar Negeri Qian Qichen.

Saking spesialnya keluarga ini dalam peradaban masyarakat Fujian, pada salah satu panel sebuah museum diaspora di Fuqing, yang berdiri pada Juli 2018, ada waktu khusus menceritakan kisah sejarah keluarga Tansil.

Reputasi manis keluarga Tansil ini membuat Eddy menikmati keberuntungannya. Dan untuk nasib baiknya ini, Eddy harus berterima kasih kepada sang kakak, Hendra Rahardja, serta tentu ayahnya, Harry Tansil.

Edi Tansil HL 2

Sisi kedermawanan keluarga Tansil di Fujian, terutama Hendra Rahardja, abang Eddy Tansil, membuat mereka dekat dengan pemimpin Tiongkok. (Foto: Tim Riset Tirto)

Harry Tansil, Patriotik yang Membangun Fasilitas Publik

Lahir di Fuqing pada Oktober 1913, Harry Tansil (陈德发) atau Chen Defa/Tan Tek Hwa diajak saudara iparnya, Jiang Guanghua (江光华), bermigrasi ke Makassar saat umurnya 21 tahun.

Perkumpulan klan Hokchia—sebutan bagi orang Fuqing yang dibedakan lewat dialeknya dengan keluarga migran lain dari Fujian—dikenal sebagai perantau tangguh. Mereka adalah pengambil risiko alami. Generasi Hokchia berkelana ke pantai-pantai jauh, didorong mimpi jadi orang kaya atau setidaknya berkehidupan lebih baik ketimbang masa depan suram yang menggelayuti kampung halaman mereka.

Kontur alam Fuqing amatlah muram. Daerahnya tidak cocok untuk pertanian. Tak banyak lahan bisa ditanami sebab tercemar garam pekat air laut. Saat itu sistem irigasi belum sebagus sekarang.

Kondisi menyedihkan ini dirangkum dalam peribahasa setempat: “Jiu nian han, yi nian zai”—sembilan tahun kekeringan, setahun bencana banjir. Artinya, tak pernah ada masa-masa menyenangkan. Karena itu banyak orang Fuqing memilih merantau, termasuk Harry Tansil.

Melalui kerja keras, Harry sukses jadi orang kaya di Indonesia, memulainya lewat bengkel sepeda. Pada dekade 1950 dan 1960-an, ia banting setir dan menjadi pemilik Bank Benteng.

Usahanya kolaps, lalu beralih bisnis ke industri perakitan sepeda motor dan mobil. Salah satu merek yang pernah dibesutnya adalah saat jadi importir Bajaj dan Kawasaki. Usaha ini dikelola bersama anak bungsunya, Eddy Tansil, saat itu masih berumur 20-an.

Setelah 47 tahun merantau, pada November 1981, Harry berkunjung ke kota kelahirannya di Fuqing.

Harry membangun banyak fasilitas di tanah moyangnya, dari jalan, irigasi, sekolah, hingga rumah sakit. Sumbangan ini mencakup kebutuhan sekunder. Pada 1990-an, untuk memenuhi kebutuhan booming TV kabel, ia membangun stasiun relai TV untuk Kota Fuqing senilai 220 ribu dolar AS. Selama 10 tahun, sebelum kematiannya pada Juni 1991, total sumbangan Harry Tansil untuk kampung halamannya mencapai 25 juta dolar AS.

Bagi orang Hokchia dan komunitas diaspora Fujian, pertalian keluarga tak mesti terikat darah. Mereka yang terikat oleh tongxiang—dari desa yang sama—dianggap sebagai kerabat. Saat mencapai puncak kesuksesan, Harry tak segan membangun kampung halamannya di Xinyi, kota kecil di wilayah Kabupaten Fuqing.

Ia sering memberi hadiah kepada penduduk desa berkali-kali. Pada 1981, setiba di China, Harry membagikan mesin jahit merek butterfly kepada setiap ibu rumah tangga.

Pada 1983, bersama putra tertuanya, Hendra Rahardja, ia membagikan sepeda pancal merek Phoenix Feng Huang dan satu cincin emas senilai 100 renminbi—setara Rp203 ribu dengan kurs saat ini—kepada setiap keluarga di kampung halamannya di Fuqing.

Sejak 1984, bapak dan anak itu bahkan rutin memberikan angpao kepada penduduk miskin. Data statistik oleh peneliti lokal menyebut saat itu hampir sepertiga penduduk Xinyi mendapatkan bantuan dari keluarga Tansil.

Sebagai pengakuan atas kontribusi Harry Tansil dan Hendra Rahardja, pemerintah Provinsi Fujian memberikan ‘Medali Emas’ pada 1990. Apresiasi sama datang dari Beijing. Secara personal, Harry Tansil mendapatkan Penghargaan ‘Lue Yu Yingcai’ pada 1984 atas upayanya di bidang kesehatan.

Edi Tansil HL 4

Pada 1983, Harry Tansil bersama putranya, Hendra Rahardja, membagikan sepeda pancal merek Phoenix Feng Huang kepada keluarga-keluarga di kampung halamannya di Fuqing. (Foto: Tim Riset Tirto)

Hendra Rahardja, Filantropis Peduli Pendidikan

Peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya menurun kepada Hendra Rahardja, yang di Indonesia dikenal koruptor kelas kakap tapi di Fuqing sebagai sang dermawan tiada tara.

Hendra Rahardja, putra pertama Harry Tansil dan kakak Eddy Tansil, termasuk dalam daftar buronan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ia mencuri uang negara Rp1,9 triliun dan divonis penjara seumur hidup saat jadi buron ke luar negeri. Hendra terdeteksi berada di Australia. Belum sempat menjalani hukuman, ia meninggal pada Januari 2003.

Meski namanya buruk di Indonesia, tidak di kampung halamannya. Hendra dipuja bak manusia setengah dewa. Sampai-sampai, saking loyal berderma untuk kampung kelahirannya, Hendra dibuatkan patung monumen yang menjadi landmark sebuah universitas negeri di Fuqing. Mengenakan setelan jas suite, Hendra dinarasikan Sang Bapak Bijaksana.

Patungnya terbuat dari batu pualam putih dan setinggi 3 meter—bentuknya mirip patung pendiri Republik Rakyat Tiongkok Mao Zedong. Ia dipajang di dekat pintu masuk Fujian Normal University. Selain memiliki kampus di Fuzhou, universitas ini memiliki cabang di Fuqing. Ia adalah universitas tertua di Fujian, salah satu perguruan tinggi berbasis ilmu keguruan terfavorit di China.

Kami mengunjungi kampus ini pada awal Desember 2018. Area kampus luas dan mewah untuk ukuran kabupaten. Area bangunan mengisi 15 hektare di atas lahan 400 hektare. Ia memiliki beragam fasilitas, dari belasan gedung kelas, puluhan laboratorium, asrama bagi siswa, guru dan pegawai, perpustakaan, auditorium serta gelanggang olahraga, terdiri dari kolam renang dan stadion mini. Fasilitas ini membuat universitas tersebut jadi salah satu kampus vokasi terbaik di Tiongkok.

Edi Tansil HL 1

Patung Hendra Rahardja, kakak tertua Eddy Tansil, di depan kampus, mirip bentuknya dengan patung pendiri RRT Mao Zedong. Masyarakat setempat di Fuqing menyebut Hendra Bapak Kebijaksanaan berkat sumbangsihnya dalam bidang pendidikan. (Foto dan Tim Riset Tirto)

Sebelum diambilalih oleh Fujian Normal University pada 2016, aset kampus semula dimiliki Sekolah Teknik Qiao Xing. Kampus berbasis teknik ini didirikan oleh keluarga Hendra pada 1983. Nama “Xing” dari “Qiao Xing” diserap dari nama Hendra Rahardja, yang memiliki nama China “陈子兴” (Chen Zixing/Tan Tjoe Hing). Karena itulah monumen Hendra dipajang di kampus.

Totalitas Hendra mengembangkan pendidikan di Fujian membuat penduduk dan pejabat lokal terkesima. Data keuangan internal sekolah menyebut total uang yang ia sumbangkan secara bertahap demi membangun fasilitas pendidikan di kampus ini mencapai 100 juta renminbi—setara Rp203 miliar dengan kurs saat ini.

Donasi Hendra tak mengalir ke satu sekolah saja. Ia juga menjadi donatur tetap SMA dan SD Jialing Qiaoxing, salah satu sekolah perintis di Fuqing. Pada 1996, ia menyumbang 6,5 juta renminbi buat membangun fasilitas Zixing Teaching Building di Universitas Fuzhou.

Pada saat adiknya Eddy Tansil menjalani persidangan akibat kasus pembobolan Bapindo, 4 Desember 1995, Hendra masih menyumbang 5,7 juta renminbi untuk membangun fasilitas sekolah di Fujian.

Apa yang mengesankan adalah beberapa hari sebelum ia meninggal pada Januari 2003. Di tengah kondisi bisnisnya yang hancur akibat krisis ekonomi dan terseret kasus BLBI yang membuat aset-asetnya disita negara Indonesia, Hendra masih menyempatkan menyumbang dua mobil dan 1 juta renminbi (setara Rp2,3 miliar dengan kurs saat ini).

Usai Hendra wafat, keluarganya masih rutin berdonasi, terutama anaknya, Budiman Rahardja. Di Tiongkok, sosok yang dipanggil Chen Yuan Shou (陈元寿) ini punya posisi terhormat. Sekarang, Budiman menjadi anggota Komite Dewan Konferensi Permusyawaratan Politik Rakyat Tiongkok di Fujian—semacam MPR di Indonesia.

Selain Budiman, Eddy Tansil dikabarkan sering mengunjungi dan menyumbang operasional sekolah-sekolah yang dulunya dibangun oleh kakaknya.

“Jika Anda ingin tahu informasi tentang dia, Anda bisa datang ke Qiao Xing,” ucap Gong Chunqi, Direktur Great Wall Asset Management cabang Fuzhou, ibu kota Fujian, perusahaan keuangan yang pernah berseteru dengan Eddy Tansil.

Sayangnya, saat kami mendatangi sekolah itu, tak ada yang mengetahui kabar Eddy Tansil. Sejak aset sekolah dialihkan, tak ada lagi pegawai lama yang bekerja di sana. Namun, sesekali waktu, Eddy Tansil datang untuk mengunjungi kampung halamannya di Desa Xinyi.

Infografik HL Indepth Eddy Tansil

Infografik Pengaruh Keluarga Tansil di China. tirto.id/Lugas

Eddy Tansil, Sang Dermawan yang Ditakuti

Kabur ke China tak bikin kehidupan Eddy Tansil sulit. Ia justru menikmati kejayaan berkat jalan yang sudah dikembangkan oleh sang bapak, Harry Tansil, dan sang kakak, Hendra Rahardja.

Dalam konferensi perkumpulan China Rantau Fujian Tongxiang ke-4, diadakan di Fuzhou pada 16 Mei 2004, Eddy Tansil secara personal diberi plakat penghargaan dari pemerintah Fujian. Ia masuk ke dalam daftar 23 pengusaha perantauan Fujian yang menyumbang lebih dari 10 juta renminbi.

Tindakan dermawannya tak kalah loyal ketimbang ayah dan abangnya. Di kampung halamannya di Fuqing, Eddy Tansil dikenal sosok religius. Namanya disebut sebagai donatur proyek revitalisasi Kuil Shizu di Kota Honglu, yang menelan 14 juta renminbi (setara Rp28,4 miliar dengan kurs saat ini) pada awal 1986.

Tiga tahun kemudian, pada 1989, Eddy Tansil yang saat itu baru saja mendapatkan pinjaman dari Bapindo, tak segan menyumbang 8,6 juta renminbi (setara Rp17,5 miliar) untuk merevitalisasi Kuil Wanfu di kaki Gunung Huangpi, daerah pinggiran Fuqing.

Nama Eddy Tansil harum sebagai pengusaha yang turut andil membangun kembali bangunan kuil tersebut, dari Shanmen hingga Daxiong Hall. Kuil Wanfu merupakan kuil bersejarah saat Dinasti Tang pada 789 Masehi. Terletak sekitar 20 kilometer dari kediaman leluhur Eddy Tansil di Xinyi, kuil ini sempat terbakar dan semakin hancur pada akhir Dinasti Qing. Ia mulai dipugar kembali pada medio 1983. Kuil tersebut menjadi salah satu warisan nasional pemerintahan Tiongkok untuk agama Buddha.

Kami mendatangi kuil itu pada awal Desember tahun lalu dan mendengar kisah kedermawanan Eddy Tansil dari Wong, petugas keamanan Kuil Wanfu. Wong lahir di Indonesia dan kemudian pindah ke kota kelahirannya di Fuqing pasca-peristiwa 1965.

Wong tahu Eddy pernah menyumbang untuk pembangunan kuil ini saat dewan negara dan pemerintah Provinsi Fujian meminta para diaspora asal Fuqing memugar kuil tersebut.

“Tapi dia tidak pernah lagi ke sini,” kata pria yang lahir di Jakarta ini.

Ingatan mengenai Eddy Tansil juga melekat dalam benak Huang Feng Mei (黄峰梅), yang satu kampung dengan Eddy. Saat ini Huang berumur 40 tahun. Pada medio 1980-an, ia masih remaja. Ia masih ingat ketika keluarga Tansil datang, satu kampung pasti mengerubungi mereka.

“Mereka biasa bawa gerobak lalu membagikan barang-barang secara gratis ke kami. Waktu itu aku diberi cincin,” ucapnya sembari menunjukkan jari manisnya.

Edi Tansil HL 3

Eddy Tansil saat disambut di Fuqing dan di sebuah kuil. (Foto: Tim Riset Tirto)

Di kampung halaman Xinyi, Eddy Tansil cukup dikenal. Pada 1987, ia dan ayahnya, Harry Tansil, mengembangkan industri agronomi bertujuan sosial. Bekerja sama dengan pemerintah setempat, mereka membentuk perusahaan perkebunan Golden Key Fruit Farm untuk menanam dan menjual komoditas buah lengkeng. Proyek ini dilakukan di atas lahan 100 hektare yang mencakup 30.000 pohon.

Banyak petani lokal terbiasa menanam ubi jalar, kacang tanah atau kedelai kemudian pindah menanam lengkeng. Lengkeng dianggap lebih menghasilkan dan tahan panas. Ia juga membuat Gunung Yupan yang semula tandus menjadi lebih hijau.

Pada 1989, keluarga Tansil membuka peternakan babi di kaki gunung. Kotoran babi dijadikan pupuk bagi pohon. Perpaduan ini mendorong keuntungan bagi penduduk lokal. Setelah kematian Harry Tansil, pengelolaan perusahaan ini dikontrol oleh Eddy Tansil. Perusahaan ini tutup pada 1996.

Semua orang di Fuqing terkesima atas pencapaian kekayaan dan kedermawanan Eddy Tansil. Namun, di sisi lain, ada persepsi yang memisahkan Eddy Tansil dari ayah dan abangnya. Orang Fuqing akan terbuka dan ceria saat membicarakan kisah Harry Tansil dan Hendra Rahardja.

Seorang warga Fuqing bernama Huang mengingatkan kami agar berhati-hati saat menyebut nama Eddy Tansil. Ia sosok yang disegani sekaligus ditakuti, ujarnya.

Huang sedikit kebingungan menemukan padanan kosakata dalam bahasa Mandarin yang tepat untuk menggambarkan “kehati-hatian” yang dimaksudnya. Kami kemudian mengetik satu kata pada aplikasi kamus dan menyodorkannya kepada Huang. Ia langsung mengangguk dan tersenyum, lalu mengakhiri perbincangan dan pamit.

Kata yang kami tunjukkan kepadanya adalah “黑手党”— artinya, kurang-lebih, "mafia."

Baca juga artikel terkait EDDY TANSIL atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan & Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan & Arbi Sumandoyo
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan & Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam