tirto.id - Adelin Lis, terdakwa kasus pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara akhirnya ditangkap di Singapura setelah menjadi buron belasan tahun. Kejaksaan Agung kemudian membawa pulang Adelin Lis ke Indonesia pada Sabtu, 19 Juni 2021.
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), perbuatan Adelin Lis telah memperkaya PT KNDI (Keang Nam Development Indonesia) dan diri sendiri serta merugikan negara sebesar Rp 119.802.393.040. Adelin Lis sudah kabur 14 tahun dari proses eksekusi penjara.
Penangkapan Adelin Lis tentu menjadi catatan sejarah karena pemerintahan Indonesia di era Presiden Joko Widodo kembali menangkap buronan di luar negeri. Sebelumnya, pemerintah berhasil menangkap buronan koruptor kasus Bank Bali Djoko Tjandra, hingga tersangka pembobolan Bank BNI Maria Pauline Lumowa.
Meski demikian, bukan berarti pemerintah dan penegak hukum Indonesia bisa bersenang diri. Sebab, masih banyak buronan lain yang masih berkeliaran, bahkan berada di luar negeri.
Hingga kini, terdapat deretan nama buronan kasus korupsi lawas yang belum berhasil ditangkap penegak hukum Indonesia seperti Eddy Tansil (buronan kasus penggelapan uang 430 juta dollar AS yang terakhir terlacak di Tiongkok); Hanggoro Wendaretno (buronan koruptor Rp37T yang divonis 16 tahun yang terakhir berada di Singapura; Anton Tantular (buronan kasus korupsi Century); Hendro Wiyanto (Dirut PT Anta Boga, kasus korupsi bailout Century, terakhir terlacak di Singapura).
Terkini, buronan yang masih hangat menjadi perbincangan adalah Sjamsul Nursalim (salah satu obligor BLBI yang diduga melakukan tipikor, tetapi kasus dihentikan); dan buronan KPK Harun Masiku. Harun Masiku adalah politikus PDIP yang menjadi buron KPK sejak Januari 2020. Harun Masiku merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan Anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024.
Kinerja Penegak Hukum Loyo saat Kejar Buronan?
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi berpendapat ada beragam faktor para buronan ini tidak dapat ditangkap oleh penegak hukum atau tersentuh penegak hukum Indonesia.
Dari kacamata hukum, kata dia, faktor pertama adalah permasalahan regulasi dalam KUHAP yang membagi kewenangan penyidikan, penuntutan, dan vonis hukum. Pembagian tugas ini ternyata memicu masalah ketidakharmonisan hubungan antar-instansi penegak hukum, kata Afandi.
“Masalahnya dari diferensiasi fungsional ini masing-masing gak mau tunduk pada satu sama lain. Jadi antar-subsistem peradilan pidana ini akhirnya menimbulkan ego sektoral," kata Afandi kepada reporter Tirto, Selasa (22/6/2021).
Hal tersebut, kata Afandi, belum termasuk lembaga yang khusus berhubungan dengan dunia internasional seperti pembahasan Mutual Legal Asistance yang dilakukan Kemenkumham maupun kehadiran interpol di Indonesia. Masalah lain yang jadi perhatian adalah belum termasuk soal perjanjian ekstradisi antar-negara untuk mengekstradisi tahanan atau napi yang berada di luar negeri.
Afandi menuturkan, ego sektoral tersebut berupa upaya untuk menonjol dan enggan bekerja sama dengan penegak hukum lain. Sebagai contoh, Maria Pauline Lumowa yang dibawa oleh Kemenkumham adalah hal yang tidak tepat. Ia beralasan, Maria adalah buronan dengan status tersangka kepolisian yang seharusnya menjadi tanggung jawab kepolisian.
Faktor lain yang menjadi pemicu adalah masalah anggaran, kata Afandi. Ia mengutip hasil penelitian di masa lalu bahwa uang eksekusi kejaksaan pada 2016-2017 hanya sekitar Rp250 ribu per orang di pidana umum. Padahal risikonya bila ada terdakwa atau terpidana yang melarikan diri, mereka akan diaudit dan dapat catatan jelek.
“Daripada dia risiko dan anggaran gak ada, kalau pun dia mau nyari buronan dia harus 'cari uang' karena anggarannya cuma Rp250 ribu di pidana umum. Pidana khusus kayak korupsi juga tidak banyak sebenarnya,” kata Afandi.
Afandi lantas membandingkan upaya pengejaran buronan yang dilakukan Kejaksaan dengan upaya KPK dalam mengejar Muhammad Nazaruddin. Eks Bendahara Umum Partai Demokrat itu ditangkap tidak lama karena KPK mensupervisi pengejaran Nazaruddin yang dilakukan kepolisian dan memaksa korps Bhayangkara untuk mengejar hingga akhirnya eks bos Permai Group itu ditangkap di Kolombia.
Faktor lain yang juga menjadi perhatian adalah gengsi politik instansi, kata Afandi. Faktor ini merupakan alasan lanjutan dari ego sektoral dan anggaran. Ia beralasan, tidak sedikit penegak hukum berusaha mencari panggung dengan memamerkan hasil penangkapan buronan.
Upaya mencari panggung tersebut berujung agar menjaga atau bisa meminta anggaran tambahan dalam mengejar buronan, kata Afandi. Namun, ada keengganan untuk mendengarkan permintaan penegak hukum lain.
Sebagai contoh, kata Afandi, napi yang buron merupakan pekerjaan kejaksaan selaku eksekutor, tetapi juga bisa melibatkan kepolisian. Namun polisi lebih memilih tidak ikut karena khawatir anggaran pengejaran buronan mereka yang terbatas dipakai.
Menurut Affandi, masalah penanganan hukum sebenarnya sudah ada solusinya, yakni pembentukan KPK, yakni penyatuan atap antara penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Hal ini mempersingkat upaya penanganan perkara dan mempermudah dalam proses pengejaran buronan.
“Sebenarnya kita sudah punya contoh ideal yang kemudian kemarin setelah Undang-Undang [Nomor 19] 2019 menjadi kacau dan itu [penangkapan Nazaruddin] ada contoh kasus yang berhasil. Nazaruddin toh bisa KPK,” kata Afandi.
Afandi menambahkan, “Artinya kalau kejaksaan dan kepolisian dimerger jadi satu, kemudian siapa center of excellence ditentukan dari sekarang itu memang akan efektif.”
Tak Punya Hubungan Politik Mumpuni
Ahli Hubungan Internasional Universitas Jember M. Iqbal mengatakan, Indonesia sebetulnya memiliki kapasitas mumpuni dalam upaya diplomasi dan kerja sama internasional. Ia mengatakan, Indonesia sangat diperhitungkan dalam dunia internasional pada situasi lobi, negosiasi, dan diplomasi, tetapi sulit dalam bertindak.
“Kalau boleh di-rank secara kasar itu, 5 besar dunia, strategi diplomasi Indonesia masuk di situ. Top five. Hanya ketika faktor eksternalnya ini misalnya kesepakatan perjanjian ekstradisi antar-negara, yang kedua rezim kekuasaan yang sedang berkuasa itu apakah kemudian juga tergolong sebagai rezim yang korup misalnya, yang ketiga faktornya buronan koruptor ini terkait dalam menjalankan bisnis dari kelompok konglomerasi,” kata Iqbal kepada reporter Tirto, Selasa (22/6/2021).
Iqbal menjelaskan, Indonesia tidak punya kuasa jika ada kelompok tertentu yang melindungi para buronan tersebut. Kelompok yang tidak terlihat ini, Iqbal mengutip pendapat Ross Tapsell dan Jeffrey Winters, disebut sebagai kelompok oligarki. Kelompok oligarki ini dekat dengan penguasa negara lain karena memiliki "modal" dalam bernegosiasi dengan petinggi negara tempat dia berlindung.
Iqbal lantas mengaitkan dengan kecepatan penangkapan Nazaruddin. Ia mengingatkan, Nazaruddin tidak terlibat atau dekat dengan penguasa di negara lain. Nazaruddin tidak seperti Djoko Tjandra yang mempunyai koneksi dengan Perdana Menteri Malaysia M. Najib, sehingga Nazaruddin lebih mudah ditangkap, kata dia.
“Alasan politisnya seperti itu, sehingga ada kekuatan pemodal dari bisnis kelompok taipan misalnya yang memang juga punya peran untuk memberikan garansi kepada penguasa tempat perlindungan para koruptor ini supaya mengamankan juga,” kata Iqbal.
Oleh karena itu, Iqbal mengatakan, permasalahan dalam upaya mengejar buronan di luar negeri bukan pada faktor lembaga penegak hukum atau pemerintah Indonesia, tetapi bagaimana untuk melobi negara tempat buronan kabur agar mau melepaskannya.
“Kalau mau jujur bahwa jika penyidik kepolisian atau penyidik KPK atau kejaksaan itu punya jejaring yang kuat dengan interpol itu, saya kira sudah sangat benar. Artinya kecanggihan diplomasi internasional kita dalam masalah hukum, dalam masalah pelanggaran korupsi itu sudah sangat bagus," kata Iqbal.
“Cuma apakah kemudian dia menjalankan bisnis yang sifatnya kolutif itu yang seringkali menjadi kendala lamanya seseorang yang divonis sebagai koruptor ternyata menjadi buron dalam waktu yang sangat lama," tutur Iqbal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz