tirto.id - Liem Tjoen Ho seperti anak Tionghoa kebanyakan. Ia lahir dari keluarga pedagang. Pada 1940-an ayahnya pernah berdagang kopi dan lada di Lampung. Di daerah itu pula Tjoen Ho dilahirkan pada 1942. Orang Tionghoa di Lampung banyak terdapat di Teluk Betung. Majalah Informasi menyebut pada 1951 ayahnya mendirikan pabrik remiling (penggilingan) karet di ujung selatan pulau Sumatra itu.
Laki-laki yang disebut-sebut pernah belajar bisnis di Inggris ini terjun ke dunia usaha yang tidak jauh dari karet. Sejak masih muda, pada 1969, Tjoen Ho mula-mula ikut berbisnis ban sepeda dan becak. Dia bergabung dengan NV Hok Thay Hin—yang didirikan Tan Kin Soei dan Zainal Junaid sejak 24 Agustus 1951—dengan modal Rp3 juta. Kemudian jadilah PT Gajah Tunggal. Pabriknya tidak jauh dari Jakarta. Liem Tjoen Ho kemudian jadi bosnya, dengan jabatan direktur utama.
Bisnis Liem Tjoen Ho bukan tanpa saingan. Sebelum ada Gajah Tunggal, bahkan sebelum NV Hok Thay Hin, pabrik ban Goodyear sudah ada di Bogor sejak 1935. Seiring dengan makin banyaknya kendaraan bermotor dengan ban karet yang berseliweran di jalan, maka ban makin dibutuhkan.
Situs resmi Gajah Tunggal menyebut sejak awal, bahkan sebelum dipegang Tjoen Ho, perusahaan ini memproduksi ban luar dan ban dalam. Pada 1971 Gajah Tunggal bekerjasama dengan perusahaan Jepang Inoue Rubber Company. Sejak 1973 perusahaan itu memproduksi ban sepeda motor. Tahun 1981 Gajah Tunggal berkongsi dengan Yokohama Rubber Company untuk membuat ban kendaraan niaga dan penumpang. Dari situ muncullah ban bermerek Yokohama. Produk Gajah Tunggal pun berkembang. GT Radial adalah salah satu produk terkenal dari perusahaan berlambang gajah ini.
Ketika Tjoen Ho mengurus ban, istrinya, Go Giok Lian alias Itjih, mengurus kaus singlet. Pabrik singlet mereka bernama PT Mozambique yang berkedudukan di Jakarta Barat. Robert Hornaday dalam Cases in Strategic Management (1994) menyebutkan, “tahun 1976, Itjih mendirikan Softex, sebuah perusahaan produk kertas yang tumbuh menjadi penghasil jaringan dan pembalut wanita terbesar di Indonesia” (hlm. 242).
Produk Softex pada 1980-an adalah penguasa pasar dan akhirnya "softex" menjadi sebutan umum untuk pembalut wanita.
Dari Ban ke Bank
Tjoen Ho—yang kini dikenal sebagai Sjamsul Nursalim—makin berkembang usahanya. Di bidang industri, seperti dicatat Apa & Siapa Sejumlah orang Indonesia 1983-1984 (1984), selain duduk dalam direksi Gajah Tunggal, pada 1980-an Tjoen Ho juga duduk sebagai anggota direksi perusahaan cat Kansai yang bekerjasama dengan Jepang. Di waktu yang sama, dia mengusahakan pabrik tapioka di Lampung (hlm. 593).
Di luar bidang industri, Tjoen Ho alias Sjamsul dikenal sebagai pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sejak era 1980-an. Bank yang didirikan di Medan pada era Revolusi ini dikenal sebagai banknya kaum Republiken. Disebutkan dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984, BDNI dibantu oleh bank Perancis, Societe Generale, cabang Singapura.
Disebut pula bahwa Sjamsul diperkirakan mendapat pinjaman 15 juta dolar AS untuk menutup sebagian utang BDNI. Sjamsul duduk sebagai Direktur Utama BDNI dengan saham 50 persen. Sisanya dimiliki PT Nusantour Duta Development Corporation dan Djaya Development Corporation. Dua perusahaan itu kepunyaan Hamengkubuwana IX.
“Pertumbuhan kerajaan bisnis Sjamsul Nursalim dari tahun ke tahun terus menanjak,” tulis George Junus Aditjondoro dalam Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century (2010: 148).
Menurut Globe Asia (Juni 2008), seperti dikutip George, Sjamsul Nursalim memiliki kekayaan sebesar 508 juta dolar AS. Dari tahun ke tahun kekayaannya pun terus bertambah.
Tersangkut BLBI dan Lari ke Singapura
Saat ini Sjamsul Nursalim termasuk pengusaha yang jadi bahan pemberitaan. Belakangan karena terkait dengan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ia dituduh menyalahgunakan dana triliunan rupiah demi kepentingannya. Setelah kasus ini, Sjamsul disinyalir menetap di Singapura.
Sjamsul Nursalim terkait pula dengan Artalyta Surya—istri Suryadarma alias Akiong, mantan petinggi Gajah Tunggal yang heboh karena kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan. Seperti Sjamsul, Artalyta juga dari Lampung.
Meski berada di pelarian, Sjamsul tetap mengendalikan bisnis-bisnisnya, termasuk ladang usaha di Indonesia. Di Singapura, seperti ditulis Joe Studwell dalam Asian Godfather: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa (2009), “[Sjamsul Nursalim] memperluas perusahaan real estate yang terdaftar di Singapura dan perusahaan penghasil sirkuit yang ia kuasai, Tuan Sing Holdings dan Gul Teek, juga Habitat Properties, perusahaan real estate yang dikuasai keluarganya di negara pulau ini” (hlm. 233).
Di Australia, Sjamsul memperluas usahanya pada Grand Hotel Group. Sjamsul tetap kaya meski Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah menjual PT Gajah Tunggal. Walaupun tampak bukan milik Sjamsul Nursalim, masih ada anak-anaknya di Gajah Tunggal. Duduk sebagai salah satu komisaris PT Gajah Tunggal Tbk. itu adalah Mayor Jenderal Sang Nyoman Suwisma.
Forbes melaporkan Sjamsul bergerak juga di bidang properti, batubara, dan retail. Di bidang retail dia adalah pemilik PT Mitra Adiperkasa (MAP) yang mengelola Starbucks, Zara, Marks & Spencer, SOGO, SEIBU, Debenhams, Oshkosh B’ Gosh, Reebok, dan Kinokuniya.
Versi Forbes 2018, Sjamsul Nursalim adalah orang terkaya ke-36 di Indonesia dengan kekayaan 810 juta dolar. Kelompok bisnisnya dikenal sebagai Gajah Tunggal Group (GTG).
Editor: Ivan Aulia Ahsan