tirto.id - Sebelum 24 Agustus 1951, Goodyear adalah satu-satunya pabrik ban di Indonesia. Tan Kin Soei dan Zainal Junaid, dengan modal Rp3 juta mendirikan NV Hok Thay Hin. “Pabriknya terletak di Jalan Bandengan Utara No. 71, Jakarta Utara,” tulis majalah Informasi 7-12 (1996:51).
Menurut catatan Yuri Sato dalam artikelnya di Corporate Governance in Indonesia: A Study on Governance of Business Group dalam buku The Rule of Governence in Asia (2003:111) pabriknya semula memproduksi ban becak dan sepeda. Setelah 1970, perusahaan lalu dimiliki Lim Tek Siong alias Sjamsul Nursalim. Perusahaan itu kemudian dikenal dengan nama: Gadjah Tunggal alias GT—yang terkenal sebagai pabrik ban juga.
Sjamsul, anak pedagang karet asal Lampung itu, itu dikenal sebagai salah satu konglomerat Indonesia. Istrinya juga terjun ke dunia usaha. Produk terkenal dari satu perusahaan yang diurus istrinya, Go Giok Lian alias Itjih Nursalim, adalah Softex. Satu produk yang sudah dikenal juga sebagai kata ganti untuk pembalut perempuan kala haid.
Menurut laman resmi dari Softex, awal mula perusahaan berasal dari sebuah pabrik kaos singlet PT Mozambique di Jakarta bagian Barat. Pekerja perempuannya, kerap membawa sisa kain yang tak terpakai pulang ke rumah. Kain itu mereka gunakan sebagai pembalut di kala haid. Hal ini diketahui pemilik pabrik, yang juga seorang perempuan. “Dia melihat kenyataan ini sebagai peluang usaha. Dari situ maka lahirlah PT. Softex Indonesia, produsen pertama pembalut,” tulis web Softex.
Produk ini dianggap mulai ada sejak 1976. Tak disebut dengan jelas di situsweb Softex dan video terkait Softex itu siapa nama perempuan yang jadi bos dari pabrik yang kaos singlet yang kemudian membuat Softex. Hanya saja Robert Hornaday dalam Cases in Strategic Management (1994:242), “tahun 1976, Itjih mendirikan Softex, sebuah perusahaan produk kertas yang tumbuh menjadi penghasil jaringan dan pembalut wanita terbesar di Indonesia.”
Era 1980an adalah masa Softex berada di puncak. Produknya jadi raja di pasaran Indonesia. Kala itu tak nyaris tak ada bandingannya. Tahun 1986, “PT Softex Indonesia menguasai 65 % pangsa pasar produk tersebut,” tulis majalah Informasi.
Softex sendiri jadi kata ganti untuk pembalut perempuan. Sebagian masyarakat Indonesia, bahkan hingga saat ini, masih menyebut softex untuk menyebut produk pembalut apapun mereknya. Padahal pada dekade 1990an, telah ada Four Roses, Free Me, Honey Soft, Intex, Kotex, Modess, Soft and Easy, Sanisoft, Sister, Softex, Stay Free, Total Safe dan Laurier yang masuk pasar pembalut perempuan.
Setelah jadi raja di pasaran, tahun 1990an Softex menghadapi masa suram juga setelah banyaknya saingan. Softex, yang awalnya tampil sebagai pemimpin produk tunggal di pasar, akhirnya tersalip oleh merek-merek macam Charm, Body Fit, Laurier dan Kotex. Menurut majalah Kapital volume 2 masalah 45-52 (2000:14) tahun “1995, Softex menguasai 35,7 persen pasar pembalut di Indonesia, pada 1996 penguasaan pasar Softex merosot menjadi 32 persen dan merosot lagi setahun kemudian menjadi hanya 30,47 persen.” Padahal di dekade sebelumnya lebih dari separuh produk pembalut di pasaran adalah Softex.
Softex, menurut Franz Royan dalam Sun Tzu, Creating Distribution Strategy (2004:140), "terlambat menggantikan kemasan agar sesuai dengan tren masa kini. Omzet penjualannya sempat dikejar oleh perusahaan pembalut wanita lain yang tergolong baru." Dalam dunia industri, ganti kemasan itu hal biasa. Unilever melakukannya.
Menurut Hermawan Kertajaya dalam Hermawan Kertajaya on Marketing Mix (2006:207-209) produk ini gagal mengadopsi segmen pasar dan terperosok. Generasi muda yang jumlahnya banyak adalah generasi yang harus terus dikawal kemauannya. Generasi ini adalah generasi yang sangat peduli pada tren.
Hal yang kuno dan tak berganti jelas membosankan generasi muda. Jika Softex terlihat kuno tentu akan ditinggalkan. Softex tampaknya sulit hilang dari pasar pembalut perempuan. Karena di banyak kepala orang Indonesia, Softex sudah jadi sebutan untuk pembalut, bahkan untuk merek lain sekali pun. Cukup dengan mengemas ulang produk dan meningkat kualitas tentu dianggap cara untuk Softex bangkit lagi. Jagoan lawas ini nyatanya berusaha bangkit.
“Kini Softex membidik Socio Economic Status (SES) C & D (kelas menengah bawah),” tulis Hermawan. Softex berusaha tampil kekinian. Kesan pembalut kuno hendak ditanggalkan dari opini masyarakat di pasaran. Pertengahan era 2000an, Softex muncul dengan tagline baru yang terkenal hingga hari ini, “karena wanita ingin dimengerti.” Di mana band pop yang sohor di era 2000an, Ada Band, punya lagu dengan judul sama dengan tagline dari Softex. Itu lagu diiringkan pula dalam iklan-iklan Softex.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan