Menuju konten utama

Ketika Sang Nyoman Suwisma Gagal Jadi Danjen Kopassus karena Agama

Sang Nyoman Suwisma lama di Kopassus dan pernah menjadi Wakil Komandan Jenderal. Penetapannya sebagai Danjen Kopassus digagalkan Soeharto karena urusan agama.

Ketika Sang Nyoman Suwisma Gagal Jadi Danjen Kopassus karena Agama
Ilustrasi kolase Nyoman Suwisma. tirto.id/fiz

tirto.id - Jadi tentara bukan hal baru bagi orang Bali. Sebelum ada TNI, Bali punya milisi bernama Corps Prajoda yang salah satu anggotanya adalah I Gusti Ngurah Rai, pahlawan nasional yang gugur pada zaman revolusi.

Setelah revolusi berlalu, banyak juga orang Bali yang jadi tentara. Ratu Agung Ngurang Agung Bonjoran Bayupathy alias Rangga Banjoran Bayupathy, misalnya. Mantan pejuang era revolusi ini pernah jadi perwira TNI di Makassar dan pada 1971 sukses mencapai pangkat brigadir jenderal. Majalah Tokoh (17-23 Maret 2014), menyebut tokoh berjuluk "Bintang Pratama Dewata" ini sebagai orang Bali pertama yang menjadi jenderal.

Calon Jenderal Menyunting Anak Jenderal

Pada 1969, dua tahun sebelum Rangga Banjoran Bayupathy meraih pangkat jenderal bintang satu, seorang pemuda Bali masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) Darat di Magelang. Namanya Sang Nyoman Suwisma. Setelah lulus pada 1971, tahun-tahun pertamanya sebagai alumni dihabiskan untuk bekerja sebagai instruktur di almamaternya.

Sejak 1974, Suwisma menapaki karier di korps baret merah dan sempat menjabat komandan kompi Para Komando di Kopassus.

Penugasan ke luar Jawa adalah hal tak terhindarkan dari seorang anggota Kopassus. Suwisma pernah ikut serta dalam Penumpasan GPRS/Paraku di Kalimantan, Operasi Seroja di Timor Timur (kini Timor Leste) serta Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua. Tentu saja Suwisma harus berpindah-pindah daerah sampai-sampai kesulitan menjalin hubungan dengan gadis idaman.

Sejak jadi taruna, Suwisma sudah berpacaran dengan putri seorang jenderal. Pada 16 April 1980, setelah sebelas tahun pacaran, Suwisma pun meminang putri jenderal. Namanya Rataya B. Kentjanawathy, putri dari Brigadir Jenderal Rangga Banjoran Bayupathy. Perkawinan keduanya membuahkan tiga orang anak: SN Wikrama, SN Wiranggana, dan SN Wiratama. Satu di antaranya jadi perwira polisi dan dua lainnya berdinas di Angkatan Darat. Seperti halnya Suwisma, si anak sulung berdinas di Kopassus.

Tak Bisa Jadi Danjen

Setelah dua puluh tahun lebih di Kopassus, Suwisma diberi jabatan teritorial sebagai komandan KOREM 403/Garuda hitam, Lampung Timur. Ia diangkat setelah memimpin upacara HUT ABRI 5 Oktober 1994. Kala itu, pangkatnya masih kolonel. Sebelum cabut dari Kopassus, jabatan Wakil Komandan Jenderal (Wadanjen) Kopassus sempat ia sandang selama setahun (1993-1994) mendampingi Brigjen Agum Gumelar yang saat itu duduk sebagai Komandan Jenderal Kopassus.

Suwisma meraih bintang pertamanya setelah tidak lagi di Kopassus, tepatnya pada Februari 1996, ketika diangkat sebagai Komandan Sekolah Calon Perwira di Bandung.

Pada 15 Juli 1997, Suwisma mendapat satu bintang lagi dan menjabat Panglima Divisi I Kostrad di Cilodong. Pada tahun berikutnya, dia menggantikan Mayor Jenderal Muchdi Purwoprandjono (Muchdi PR) sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) VI/Tanjung Pura yang kala itu membawahi seluruh pulau Kalimantan kala itu.

Pada tahun yang sama, junior Suwisma, Mayor Jenderal Prabowo Subianto, dinaikkan jabatannya dari Komandan Jenderal Kopassus menjadi Panglima Kostrad (Pangkostrad). Walhasil, kursi yang ditinggalkan Prabowo kosong. Saat itu, posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dipegang oleh Jenderal Wiranto, seorang jenderal yang ikut memutuskan siapa yang akan menjadi Danjen Kopassus setelah Prabowo.

“Didasarkan suatu proses yang fair melalui persidangan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) di tingkat Mabes ABRI telah diputuskan pengganti Danjen Kopassus (Mayjen Prabowo Subianto) adalah Brigjen Suwisma,” aku Wiranto dalam Bersaksi di Tengah Badai (2003:27).

Para jenderal (Wiranto dan Wanjakti) boleh berencana, tapi Jenderal Besar Soeharto-lah yang menentukan segalanya. Toh semua tahu, apapun bisa terjadi di zaman Orde Baru, tentu saja saja dengan kehendak Soeharto.

infografik sang nyoman suwisma

Keputusan Wanjakti tiba-tiba dibatalkan. Pada satu kesempatan, setelah diberi masukan oleh Prabowo, Soeharto mengatakan bahwa "Brigjen Suwisma tidak tepat karena beragama beda dengan mayoritas prajurit Kopassus,” tulis Wiranto.

Hendro Subroto, dalam biografi Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Panjaitan Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009:28) menyebutkan: “Begitu powerful-nya, Prabowo dapat menggagalkan keputusan rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti).”

Walhasil, posisi Danjen Kopassus diisi oleh Muchdi PR, yang terhitung senior Suwisma dan Prabowo sendiri.

Jabatan Danjen Kopassus yang diampu Muchdi PR memang tak fana, tapi nyatanya sementara saja, hanya dari Maret hingga Mei. Pada Mei 1998, Soeharto lengser dan karier Prabowo sebagai Pangkostrad tamat. Muchdi belakangan ditarik ke Badan Intelijen Negara (BIN) dan kelak dibui karena keterlibatannya dalam pembunuhan Munir.

Suwisma sendiri tergolong tenang hidupnya. Setelah jadi Kepala Staf Kostrad, ia menjabat Asisten Teritorial Kepala Staf Umum TNI dan sempat duduk sebagai anggota DPR fraksi TNI. Jenderal yang pernah aktif di FASI dan Pertina ini juga pernah duduk di kursi Direktur Utama Televisi Pendidikan Indonesia, selain menjadi Komisaris Global TV dan Gajah Tunggal.

Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf