tirto.id - Iwah Setiawati sama sekali tidak menyangka jika hari Kamis tanggal 26 Juli 2001 itu terjadi malapetaka terhadap suaminya, Syafiuddin Kartasasmita. Saat itu, Iwah yang juga pengurus Kadin DKI Jakarta sedang mengunjungi negeri tetangga untuk suatu urusan.
"Waktu bapak tertembak, saya ada di Singapura,” kenang Iwah seperti dikutip dari portal HukumOnline (4/3/2002).
Istri kedua Syafiuddin ini hanya diberitahu bahwa suaminya sakit. Maka ia pun bergegas pulang ke tanah air, dan ternyata justru berita duka yang diterimanya setiba di Jakarta. “Pertama-tama saya dibilangin bapak stroke, nggak tahunya tertembak,” ucapnya.
Syafiuddin Kartasasmita adalah Hakim Agung/Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung (MA) RI. Dalam sidang 22 September 2000, ia menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp30,6 miliar kepada Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dalam kasasi kasus tukar guling tanah milik Bulog dengan PT Goro Batara Sakti.
Genap 10 bulan berselang, Syafiuddin tewas ditembak orang tak dikenal dalam perjalanan menuju kantornya. Tommy, sang putra mahkota Cendana atau putra bungsu mantan Presiden Soeharto, diduga sebagai otak pembunuhan ini, dan kelak dugaan itu dibuktikan oleh pengadilan.
Spesialis Kasus Korupsi Orde Baru
Syafiuddin Kartasasmita lahir di Jakarta pada 5 Desember 1940. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini kerap mengadili perkara-perkara besar yang berisiko tinggi. Selain kasus Tommy Soeharto, Syafiuddin juga pernah menangani perkara dugaan korupsi terkait yayasan milik sang mantan penguasa.
Hakim yang satu ini memang “spesialis” kasus-kasus terkait Orde Baru. Pada 2001, ia menangani kasasi perkara korupsi Bob Hasan, pengusaha kelas kakap sekaligus mantan menteri yang dikenal dekat dengan mantan Presiden Soeharto semasa Orde Baru berkuasa.
Kasasi yang diajukan Bob Hasan ditolak Syafiuddin selaku Hakim Agung MA. Kala itu, MA mendukung putusan majelis hakim banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp15 juta serta ganti rugi kepada negara sebesar 243,7 juta dolar AS.
“MA tetap menyatakan Bob Hasan harus bertanggungjawab. Kami menilai putusan PT sudah betul. Kasasi ini sifatnya final. Jadi, sekali pun Bob mengelak, dia tetap bertanggungjawab,” tegas Syafiuddin waktu itu kepada Tempo (12/7/2001).
Alhasil, Bob Hasan terpaksa harus meringkuk di Nusakambangan, dan Tommy Soeharto pun menyusul beberapa bulan berselang, lagi-lagi gara-gara Syafiuddin Kartasasmita—kendati sang hakim harus berkorban nyawa.
Saat Soeharto resmi menjadi terdakwa dalam perkara kasus dugaan korupsi terkait sejumlah yayasan, Syafiuddin jugalah yang mengurusi. Syafiuddin saat itu duduk sebagai Ketua Majelis Hakim dengan anggota Sunu Wahadi dan Artidjo Alkostar.
Artidjo Alkostar masih ingat masa-masa itu kendati penanganan kasusnya tersendat lantaran Syafiuddin meninggal dunia. “Waktu awal saya menjadi hakim agung tahun 2000-an saya pernah menangani perkara (mantan) Presiden Soeharto,” sebut Artidjo dalam wawancaranya dengan Kompas (20/09/2014). “Waktu itu (mantan) Presiden Soeharto sakit, lalu ketua majelisnya itu Pak Syafiuddin (Kartasasmita) ditembak, kena tembak."
Sunu Wahadi, rekan Syafiuddin lainnya, yang juga menjadi hakim dalam sidang kasasi Soeharto, menilai almarhum adalah sosok penegak hukum yang berdedikasi tinggi, bersih, dan tegas terhadap koruptor.
Diungkapkan Sunu, Syafiuddin pernah mengatakan kepadanya bahwa ia ditawari uang sebesar Rp20 miliar terkait kasus korupsi yang sedang ditanganinya. Namun, tawaran menggiurkan itu tidak ditanggapi oleh Syafiuddin.
Kematian Sang Pengadil
"Bapak itu sangat pendiam. Dia tidak terlalu suka bicara banyak. Memang sesekali saya suka mendengar keluhan bapak kalau dia sangat lelah menjadi hakim agung yang dibebani berbagai perkara sulit," kisah Soimah, istri pertama Syafiuddin Kartasasmita, demikan dilaporkan Liputan6 (30/7/2001).
Soimah menambahkan, dari sekian banyak perkara yang ditangani suaminya, kasus Tommy Soeharto memang diakui Syafiuddin sebagai yang paling berat.
“Kasus Tommy suka dikeluhkan Bapak. Bapak suka mengeluh capek menangani kasus itu," ungkapnya.
Berkali-kali mengurusi perkara terkait pelanggaran Orde Baru jelas membuat orang-orang di lingkaran bekas rezim itu terusik, termasuk Tommy Soeharto, terlebih setelah kasasinya ditolak dan Syafiuddin menjatuhkan hukuman kepadanya. Aksi nekat pun dilakukan untuk mengakhiri riwayat sang hakim.
Pada 26 Juli 2001, tepat hari ini 18 tahun silam, seperti biasa Syafiuddin Kartasasmita menjalani aktivitasnya. Pagi sekitar pukul 08.00 WIB, ia berangkat ke kantor dengan mobil. Syafiuddin tidak menyadari, maut sedang mengintai, ia diikuti dua orang tak dikenal yang berboncengan mengendarai motor RX-King.
Saat melintasi Jalan Sunter Raya, dekat Kemayoran, terdengar ledakan. Mobil Honda CRV berwarna silver dengan nomor polisi B 999 KZ itu menabrak warung rokok dan tempat tukang cukur. Rupanya, ban kanan belakang mobil itu kena tembak sehingga oleng.
Sempat terdengar teriakan minta tolong dari dalam mobil, namun tak lama karena motor RX-King sudah ada di depan mobil naas itu. Si pembonceng motor bergegas turun dan menodongkan senjata ke arah Syafiuddin yang masih berada di dalam mobil.
Seorang saksi mata menceritakan, “Ciri-ciri orang yang menodongkan senjata itu, dia tidak pakai helm, badannya besar, tingginya sekitar 170 cm, pakai jaket hitam, celana jeans biru, dan sepatu kets putih. Kulitnya coklat kehitaman. Dia berkumis tipis dan rambut cepak.”
“Sedangkan pengendara yang memboncengkan mengenakan helm, jaket kulit hitam, dan celana jeans. Saya tidak memperhatikan sepatunya. Karena temannya turun, orang pakai helm itu juga turun. Dia menyandarkan motornya dalam keadaan hidup,” imbuhnya.
Situasi di tempat kejadian perkara saat itu sebenarnya cukup ramai. Tapi tidak ada satu pun yang berani bertindak lantaran si pengendara RX-King mengacungkan pistol ke arah orang-orang di sekitar tempat itu.
Tiba-tiba, serangkaian letusan tembakan mengagetkan semua orang. Syafiuddin ditembak, empat kali. Sejurus berselang, dua pelaku penembakan bergegas memacu motornya, melarikan diri.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut langsung memberikan pertolongan. Syafiuddin masih bernapas saat itu, namun nyawanya tidak sempat terselamatkan. Sesampainya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, Syafiuddin telah wafat.
Sang Dalang Tertangkap
Aparat kepolisian, yang kala itu masih terus melakukan pencarian terhadap Tommy Soeharto yang buron, pada 7 Agustus 2001 membekuk dua tersangka pembunuhan Syafiuddin Kartasasmita, bernama Mulawarman dan Noval Hadad. Keduanya mengaku menembak Syaifuddin atas suruhan Tommy dengan imbalan Rp100 juta.
Tommy pada akhirnya tertangkap, diajukan ke pengadilan, dan dinyatakan terbukti bersalah menjadi otak pembunuhan berencana. Majelis hakim PN Jakarta Pusat yang dipimpin Amirudin Zakaria menyatakan Tommy terbukti melakukan empat tindakan pidana.
Pertama, turut serta tanpa hak menguasai menyimpan dan menyembunyikan senjata api dan bahan peledak. Kedua, tanpa hak menguasai menyimpan dan menyembunyikan senjata api dan bahan peledak. Ketiga, membujuk atau uitlokker untuk melakukan pembunuhan berencana. Keempat, dengan sengaja tidak menurut perintah atau menggagalkan suatu perbuatan pegawai negeri dalam menjalankan sesuatu peraturan undang-undang.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum 15 tahun penjara. Kendati di tingkat MA hukumannya kemudian dipangkas menjadi 10 tahun penjara saja. Ia pun harus menjalani masa bui di Nusakambangan, Jawa Tengah. Namun, Tommy ternyata bebas lebih cepat setelah beberapa kali mendapatkan potongan masa tahanan, tanggal 1 November 2006.
Maka demikianlah, Hakim Syafiuddin dibunuh salah satu anggota klan politik paling berpengaruh di negeri ini. Klan itu mengikuti Pemilu 2019 melalui Partai Berkarya.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 26 Juli 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan