tirto.id - Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto mustahil bisa memenuhi hasratnya jadi calon presiden (capres). Salah satu putra Soeharto ini tak memenuhi syarat untuk jadi capres setelah diusung oleh Partai Berkarya.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) mengatur 20 syarat minimal yang harus dipenuhi sebagai capres. Salah satu di antaranya adalah "tidak pernah dipidana penjara... karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih" seperti yang tercantum pada pasal 169 huruf p.
Sudah jadi rahasia umum, Tommy pernah jadi narapidana. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Tommy 15 tahun penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan membunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita melalui dua orang pembunuh bayaran yang diupah Rp100 juta. Hakim Syafiuddin tewas ditembak pada 26 Juli 2001.
Syafiuddin Kartasasmita adalah hakim yang memvonis Tommy bersalah atas kasus penipuan lahan. Tommy dihukum kurungan 18 bulan penjara dan wajib membayar ganti rugi Rp30 miliar dan denda Rp10 juta pada 22 September 2000.
Selain itu, ia juga terbukti memiliki senjata api dan amunisi. Sebelum dipaksa duduk di kursi pesakitan, ia sempat buron satu tahun 22 hari.
Tommy tak perlu menjalani hukuman dalam kasus pembunuhan selama 15 tahun lebih. Pada 2005, MA mengurangi hukuman jadi hanya 10 tahun. Kemudian pada Oktober 2006, ia dihadiahi remisi 31 bulan. Belum genap enam tahun dipenjara, Tommy bisa menghirup udara bebas pada 30 Oktober 2006 setelah dapat pembebasan bersyarat.
Setelah menjalani masa hukuman, Tommy punya ambisi masuk ke lingkaran kekuasaan. Pada 2009, ia naik panggung politik ketika berambisi merebut ketua umum Partai Golkar dalam rapat nasional partai Orde Baru tersebut di Pekanbaru. Gagal di momentum ini, Tommy bersiasat pada rapat luar biasa Golkar pada 2016. Tetapi kubu yang ia dekati rupanya keok oleh kubu Setya Novanto.
Tommy sempat membentuk dua partai: Partai Nasional Republik dan Partai Beringin Karya. Pada 2016, di hari ulang tahunnya ke-54, Tommy akhirnya melebur dua partai itu menjadi Partai Berkarya. Partai inilah yang jadi kendaraan memuluskan ambisi politiknya. Pada Maret 2018 lalu, di Lorin Hotel Solo, salah satu hotel miliknya, orang-orang Partai Berkarya secara bulat mendudukkan Tommy sebagai ketua umum partai.
Sadar tak memenuhi syarat meski punya posisi strategis sebagai ketua partai, ia mencoba peruntungan lewat badan legislatif. Pada Selasa (17/7/2018), nama Tommy disodorkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon anggota legislatif daerah pemilihan Papua untuk pemilu 2019. Namanya termasuk dalam 575 bakal caleg dari Partai Berkarya.
Namun, ada sejumlah syarat yang membuat nama Tommy belum tentu tersedia di surat suara di Pemilu tahun depan. Beberapa tahap lagi bakal dilakukan KPU, dari mulai verifikasi hingga meminta masukan masyarakat, sebelum memasukkan nama bakal calon ke Daftar Calon Tetap (DCT). Namun setidaknya syarat jadi calon anggota legislatif lebih mudah ketimbang calon presiden.
Ada syarat serupa yang terkait dengan latar belakang calon, calon presiden atau calon anggota legislatif sama-sama tidak boleh pernah dipidana penjara dengan hukuman lima tahun atau lebih. Namun bedanya, sebagaimana tertuang di pasal 240 g UU nomor 7/2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU No 20 tahun 2018, calon anggota legislatif yang pernah dipidana lima tahun atau lebih masih bisa memenuhi syarat sepanjang "secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa dia adalah mantan terpidana."
Tommy telah mengakuinya meski dengan berbagai catatan. Dalam wawancara dengan Najwa Shihab di Cendana, Tommy mengatakan dengan tegas: "saya kira tidak [terbebani dengan predikat bekas napi] karena itu [hukumannya] sudah dijalankan, sudah bebas murni [...] dan sudah dianggap masyarakat biasa lagi." (menit 4:51).
Ditolak Mahasiswa
Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso bersaksi Tommy memilih langsung daerah pemilihan (dapil) sendiri. Alasan Tommy menurut Priyo adalah selama ini daerah paling timur Indonesia itu "jarang tersentuh." Selain itu, nama Soeharto menurut pengakuan Priyo juga banyak dielu-elukan warga di sana.
"Sambutan dan histeria massa mengingat zaman keenakan Pak Harto," kata Priyo.
Frans Nawipa, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)—organisasi politik tempat mahasiswa-mahasiswa pro penentuan nasib sendiri berkumpul—mengkritik pencalonan ini. Menurutnya, dipilihnya dapil Papua karena bagian strategi untuk meraup suara dan lolos ke Senayan.
"Si Tommy memanfaatkan orang-orang itu untuk mengusung dia untuk mencari suara di Papua," katanya kepada Tirto, Rabu (18/7/2018).
Frans juga menyinggung soal pelanggaran HAM yang dilakukan di Papua selama Soeharto berkuasa. Jejak berdarah Soeharto di Papua antara lain peristiwa Arfai hingga penembakan mahasiswa pada 3 Juli 1995.
Pembunuhan demi pembunuhan di tanah Papua pun terus terjadi selama Soeharto berkuasa. Terhitung sejak 1981 hingga 1996 atau dua tahun sebelum berakhirnya Orde Baru, lebih dari 15 ribu orang Papua tewas, belum lagi mereka yang disiksa dan dipenjara. Atas dasar itu, Frans sama sekali tak percaya omongan Priyo yang menyebut Soeharto diidolakan atau bahkan dirindukan orang Papua.
Bila melihat hasil pemilihan umum 2014 lalu, peraih suara terbanyak bukan Golkar yang identik dengan Soeharto, sebelum adanya Partai Berkarya ada. Partai Demokrat lah memperoleh suara terbanyak baik provinsi Papua dan Papua Barat. Di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRD) Golkar juga hanya punya enam kursi, kalah jauh dari Demokrat yang menguasai 16 kursi.
Editor: Suhendra