tirto.id - Presiden Joko Widodo menunjuk Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) untuk mengelola Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Penunjukan Setneg untuk mengelola TMII menjadi akhir bagi Yayasan Harapan Kita untuk mengelola taman seluas kurang lebih 147 hektar tersebut.
Terbaru, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebut TMII tidak akan dikelola selamanya oleh Setneg. Taman yang dicetuskan Siti Hartinah alias Tien Soeharto itu akan dikelola BUMN khusus pariwisata, demi menambah pundi-pundi keuangan negara.
"Nantinya kami meminta tolong salah satu BUMN pariwisata untuk mengelola Taman Mini Indonesia Indah ini. Jadi dikelola oleh orang yang profesional, lembaga yang profesional dan harapannya akan jauh lebih baik dan memberikan kontribusi kepada keuangan negara," kata Pratikno, Kamis (8/4/2021) lalu.
Berdasarkan penelusuran Tirto, TMII di masa pengelolaan Yayasan Harapan Kita tidak sepenuhnya mulus. Pada tahun 2014, salah satu mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret mencatat permasalahan yuridis tata kelola TMII.
Ia menyebut ada "disharmonisasi" hukum pengelolaan TMII. Secara operasional, TMII saat itu sudah dipegang oleh Sekretariat Negara dengan menunjuk Taufik Sukasah dari lingkungan Setneg sebagai Direktur Umum. Kendati demikian, dalam struktur manajemen, nama-nama anggota keluarga Cendana masih terpampang di bawah bendera Yayasan Harapan Kita.
Kemudian, TMII diduga mengalami permasalahan finansial karena terlambat membayar pajak. Pada Oktober 2018, tunggakan pajak TMII ke Pemerintah Kota Wilayah Administrasi Jakarta Timur mencapai Rp2 miliar. Angka ini merupakan akumulasi sejak 1998, tahun yang sama saat Presiden ke-2 RI Soeharto mundur dari jabatannya.
Masalah terbaru yakni, salah satu museum yang menjadi bagian TMII, Museum Purna Bakti Pertiwi tengah digugat perusahaan Singapura, Mitora PTE Ltd. Tuntutan sebelumnya menyasar hingga kepada Setneg dan pengelola TMII pada Desember 2018. Namun tuntutan sempat dicabut pada April 2019 dan kemudian dimasukkan ulang pada Maret 2021 lalu. Dalam gugatan yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, pihak Mitora menuntut aset Museum Purna Bakti disita.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan salah satu alasan pemerintah mengambil alih TMII lantaran mengalami kerugian terus-menerus. Ia bahkan menyebut pemerintah tidak mendapat apapun meski sudah menggelontorkan uang ke TMII.
"Sampai saat ini kondisi TMII dalam pengelolaannya itu mengalami kerugian dari waktu ke waktu. Saya dapat informasi bahwa setiap tahun Yayasan Harapan Kita itu menyubsidi antara Rp40-50 miliar dan pastinya tidak memberi kontribusi kepada negara," kata Moeldoko di Bina Graha, Jakarta, Jumat (11/4).
Setneg lantas melakukan pendampingan untuk mempelajari tata kelola TMII di bawah Yayasan Harapan Kita sejak 2016. Kemudian, tim ahli hukum UGM dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ikut memberikan penilaian.
Dalam penilaian BPKP dan tim ahli hukum UGM, setidaknya ada tiga solusi untuk menyelesaikan polemik TMII. Pertama mengubah TMII dikelola swasta; kerja sama dengan pemerintah; atau menjadi Badan Layanan Umum. Oleh karena itu, pemerintah mencabut Keppres 51 tahun 1977 dan mengganti dengan Perpres Nomor 19 tahun 2021.
Bantah Sedang Krisis Finansial
Pihak TMII memastikan tak sedang mengalami masalah keuangan. TMII berdalih mendapat bantuan finansial dari Yayasan Harapan Kita sehingga tidak membuat mereka kesulitan keuangan.
"Kami tidak dalam kondisi kritis finansial dan apabila ada kekurangan biaya operasional yayasan selalu membantu TMII, apalagi selama pandemi ini kami tetap beroperasional seperti biasa sesuai peraturan Pemda DKI," kata Kepala Bagian Humas Badan Pelaksana Pengelola TMII Adi Widodo saat dihubungi Tirto, Jumat (9/4/2021).
Adi mengakui TMII memang mengalami kerugian, tetapi itu terjadi di luar kendali mereka. Sebagai contoh, TMII mengeluarkan anggaran perayaan akhir tahun 2019 dengan angka Rp1 miliar. Mereka menargetkan mampu menggaet pengunjung hingga 50-60 ribu pengunjung dalam acara tersebut. Namun, jumlah pengunjung tidak mencapai target karena kondisi cuaca. Hal tersebut membuat mereka merugi.
Pandemi COVID-19 memperburuk keadaan. Operasional TMII sebagai tempat wisata dibatasi, bahkan sempat harus tutup karena mengikuti aturan pemerintah. Meski begitu, TMII tidak melakukan pemutusan hubungan kerja, tetapi lebih pada pemotongan gaji pegawai demi bertahan di masa pandemi.
Adi menegaskan pengelola TMII sebagai operator tetap melaporkan keuangan kepada yayasan. Adi juga mengklaim pengelola TMII taat pajak.
"Saya kurang tahu apakah yayasan tidak memberikan kontribusi kas negara itu bukan wilayah saya untuk menjawab karena yayasan. Kalau ditanya kewajiban Taman Mini, pajak retribusi dan lain-lain itu kami penuhi," kata Adi.
Adi pun menjelaskan, upaya pengambilalihan aset dan pengelolaan TMII memang sudah sejak lama dibahas, bahkan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam lima tahun terakhir, BPK sudah menyarankan agar kelembagaan TMII diperjelas di luar yayasan, apalagi setelah perubahan UU tentang Yayasan. Opsi kelembagaan untuk TMII pun sama, menjadi BLU; menjadi badan layanan terbatas atau bentuk lain.
Pembahasan dilakukan dengan sejumlah instansi selain BPK dan Setneg seperti Kementerian Keuangan untuk penilaian aset dan investasi serta Kementerian Dalam Negeri.
"Sehingga bagi kami [ambil alih kelola] Taman Mini bukan sesuatu yang mengejutkan, sesuatu yang wajar," kata Adi.
Sementara itu, Yayasan Harapan Kita yang menjadi representasi keluarga besar
Soeharto ternyata belum rela melepaskan pengelolaan TMII. Mereka masih menawarkan negosiasi dengan pemerintah usai terbitnya Perpres Nomor 19 Tahun 2021."Atas terbitnya Perpres 19/2021, Yayasan Harapan Kita menyatakan kesiapannya dalam melakukan perundingan dengan Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia untuk membicarakan proses pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah sesuai," kata Sekretaris YHK Tria Sasangka, Minggu (11/4/2021).
Pihak YHK mengklaim kerap menggelontorkan uang untuk pengelolaan TMII selama 44 tahun berdiri. Meski memang diakui mereka tidak selamanya pemasukan yang diperoleh TMII bisa mencukupi kebutuhan operasional. Namun, mereka membantah meminta anggaran negara untuk menambal kekurangan itu dan mengklaim bisa membangun manajemen pengelolaan TMII dengan baik dan profesional.
"Harapan kami, upaya pemerintah mengambil alih pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah dari Yayasan Harapan Kita tak mengganggu berbagai upaya memperkokoh ketahanan budaya bangsa tersebut,” ucap Trias.
Beda Masalah TMII & Museum Purna Bhakti Pertiwi
Terkait masalah gugatan Mitora Pte Ltd, menurut Adi Widodo itu merupakan dua persoalan yang berbeda. Museum Purna Bhakti Pertiwi, kata Adi dikelola yayasan yang berbeda, yakni Yayasan Purna Bhakti Pertiwi sehingga posisi TMII hanya sebagai mitra Museum Purna Bhakti Pertiwi.
Oleh karena itu, ia menjamin bila TMII tidak akan bernasib sama seperti Museum Purna Bhakti Pertiwi.
Kedua, manajemen TMII melibatkan pihak ketiga, tetapi tidak sampai berakhir sengketa seperti Museum Purna Bhakti Pertiwi. Adi hanya memastikan TMII diambil alih Setneg bukan dalam rangka khawatir bernasib seperti Museum Purna Bhakti Pertiwi.
"Apakah alasan kenapa hari ini diturunkan kami sendiri juga kurang tahu karena kami kan sebagai penerima dan pelaksana keputusan. Itu aja. Jadi untuk pembuatan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, Taman Mini tidak punya [kewenangan]," kata Adi.
Senada, Moeldoko juga memastikan pengambilalihan TMII oleh negara tidak berkaitan dengan soal masalah gugatan. "Tidak ada pertimbangan itu," kata Moeldoko.
Siapa Pun Pengelolanya, TMII Harus Untung
Pemerhati pariwisata Taufan Rahmadi mengatakan, permasalahan pengelolaan destinasi wisata seperti TMII bukan melihat pada dikelola yayasan atau tidak. Taufan mengingatkan permasalahan pengelolaan destinasi wisata bagus atau tidak bertolak pada bagaimana manajemen secara profesional mengelola destinasi wisatanya.
"Bicara pariwisata tidak terlepas juga tentang bicara industrinya. TMII adalah salah satu wahana yang saya pikir juga pendekatannya juga secara industri. Artinya manajemennya harus profesional karena di situ mengundang wisatawan-wisatawan baik domestik atau mancanegara," kata Taufan kepada Tirto.
Selain itu, Taufan melihat permasalahan pengelolaan yang diserahkan ke pihak ketiga pun tidak masalah asalkan profesional dan bisa pengelolaan berjalan baik. Tujuan utamanya, tentu saja TMII tak akan rugi selamanya.
Apabila TMII mengalami kerugian hingga Rp50 miliar, Taufan beranggapan, "Harusnya jika manajemennya bagus dan cakap di dalam menata mengelola destinasi seperti TMII bisa mengatasi problematika terkait hal ini," tutur Taufan.
Menurut Taufan TMII punya modal kuat untuk kembali besar di era saat ini, apalagi di masa pandemi COVID-19 saat ini. TMII harus mencari talenta-talenta pengelolaan destinasi wisata yang profesional dan cekatan. TMII harus mulai melirik konsep wisata pendidikan dan teknologi. Sebab, nilai sejarah yang kuat sebagai destinasi wisata sudah dimiliki TMII.
"Ciptakan atraksi-atraksi yang merupakan gabungan pilihan dari sejarah, pendidikan dan masa depan. Itu hal yang perlu untuk ditingkatkan jika berbicara mengenai destinasi seperti TMII ini," kata Taufan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto