Menuju konten utama

TMII Tunggak Pajak Lebih dari Rp2 Miliar, Kok Bisa?

Penunggakan pajak bumi dan bangunan TMII adalah akumulasi sejak 1998.

TMII Tunggak Pajak Lebih dari Rp2 Miliar, Kok Bisa?
Teater IMAX Keong Mas TMII termasuk salah satu objek pajak yang dinilai menunggak pajak Rp500-an juta kepada Pemerintah Kota Jakarta Timur. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Pada 24 Oktober 2018, Pemerintah Kota Wilayah Administrasi Jakarta Timur memasang stiker penunggakan pajak di 150 titik objek pajak. Tiga di antaranya wahana di bawah pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah, yakni Snowbay, Kereta Gantung Skylift, dan Desa Wisata Hotel.

Data dari Unit Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah Cipayung menyebut seyogyanya ada tujuh objek pajak, di bawah pengelolaan TMII, yang menunggak pajak. Rinciannya: Snowbay yang menunggak Rp1 miliar, Teater Imax Keong Mas (Rp485 juta), Aquarium Air Tawar (Rp434 juta), Taman Burung (Rp216 juta), Kereta Gantung Skylift (Rp196 juta), Sasono Langgeng Budoyo (Rp92 juta), dan Hotel Desa Wisata (Rp87 juta).

Empat di antaranya tidak dipasangi stiker dan salah satu wahana, yakni Taman Burung, mendapat pengecualian karena dinilai sebagai wahana "konservasi satwa."

Kepala Unit Pelayanan Pajak Kecamatan Cipayung, Eky Dharmayanti, menegaskan pemasangan stiker itu bukan berarti penyegelan; tanda stiker itu juga bukan menghentikan operasional, melainkan semacam penagihan pasif kepada objek pajak yang membandel.

“Ini semacam shock therapy. Karena kami sudah menyurati TMII empat kali sejak jatuh tempo September 2018 sebelum pemasangan stiker ini,” ujar Eky kepada Tirto di kantor Samsat Jakarta Timur, Rabu pekan lalu.

Dwi Windiarto, Manajer Informasi Badan Pengelola TMII, mempertanyakan laporan tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan itu dengan alasan "selama bertahun-tahun, TMII tak pernah ditagih PBB."

Ia menyayangkan sejumlah wahana dipasangi stiker menunggak pajak oleh pemerintah. “Ini dapat menimbulkan citra buruk bagi TMII,” ujarnya kepada Tirto, awal November lalu.

Dwi berkata saat ini tengah menunggu audiensi dengan Pemprov DKI serta Badan Pajak dan Retribusi Daerah Jakarta. Menurutnya, urusan pembayaran pajak harus sepengetahuan gubernur lantaran TMII tak bisa mengeluarkan dana begitu saja.

“Jadi kami bukannya tidak mau membayar pajak,” sahut Dwi.

Lantas, bagaimana bisa aset negara yang saat ini dikelola Sekretariat Negara menunggak pajak lebih dari Rp2 miliar?

Dwi mengaku TMII sudah diimbau soal tunggakan PBB sejak 2015 oleh BPRD DKI melalui kantor unit Kecamatan Cipayung. Namun, saat itu, "eskalasi di balai kota" begitu tinggi karena pergantian gubernur. Permohonan audiensi terus dikesampingkan hingga saat ini, menurut Dwi.

Eky berkata kepada Tirto memang kantornya baru menyurati TMII sejak 2915 atau tahun pertama saat ia menjabat di kantor unit Cipayung.

Dalam dokumen pajak yang ia tunjukkan kepada Tirto terlihat tunggakan PBB sebesar lebih dari Rp2 miliar, yang dibebankan pada TMII dari akumulasi sejak 1998, tahun yang sama saat Presiden Soeharto mundur dari Istana usai gelombang protes besar-besaran yang menandai era Reformasi.

“Terhitung sejak 1998, TMII sudah dibebankan pajak bumi dan bangunan. Tapi, waktu itu, wewenang masih di Direktorat Jenderal Pajak,” ujar Eky. Objek pajak yang dikenakan pun hanya wahana komersial sesuai Perda DKI Nomor 6/2011.

Namun, dalam kurun 1998-2015, Dwi mengaku TMII tidak pernah ditagih PBB, baik dari Direktorat Jenderal Pajak maupun BPRD DKI.

Perlu diketahui, sejak 2013 sesuai Perda DKI Nomor 6/2011, pajak PBB menjadi pajak daerah dan kewenangannya dipegang oleh pemerintah provinsi sebagaimana amanat UU Nomor 28/2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Artinya, ada peralihan PBB Perdesaan dan Perkotaan (P2) dari kewenangan DJP menjadi kewenangan BPRD.

Kami mengonfirmasi hal ini kepada Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama. Menurutnya, jika memang tunggakan itu akumulasi sejak 1998, seharusnya ada catatan penagihan dari DJP. Namun, Hestu tak menjamin dapat menunjukkan dokumennya dalam waktu singkat.

“Tapi seharusnya ada. Harus dicari dulu. Yang pasti, kami sudah memberikan seluruh catatan kami kepada daerah setelah peralihan itu,” kata Hestu kepada Tirto, Kamis pekan lalu (8/11).

Dalih TMII sebagai 'Wisata Edukasi Budaya'

Posisi TMII saat ini hanya menunggu instruksi dari Gubernur DKI Jakarta apakah harus membayar atau dibebaskan dari kewajiban pajak.

“Kalau Pemprov bilang bayar, ya kami bayar. Kami siap untuk itu,” kata Dwi menjamin.

Sementara jika merujuk Perda DKI Nomor 6/2011 tentang PBB-P2 pasal 14 ayat 3, wajib pajak hanya dapat meminta persetujuan kepada gubernur untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan kompensasi dibebankan bunga dua persen setiap bulan; bukan instruksi soal pelunasan atau tidak.

Pemerintah Kota Jakarta Timur memberi tenggat hingga Desember 2018 untuk pelunasan pajak tersebut. Walikota Jakarta Timur M. Anwar mengatakan TMII seharusnya tak perlu menunggu instruksi dari Pemprov untuk melunasi pajak hingga lebih dari Rp2 miliar itu.

“Apa lagi yang ditunggu dari Pemprov? Kan sudah jelas. Mereka (TMII) hanya meminta bantuan dana pemerintah. Tidak apa-apa. Kami tunggu,” tegas Anwar.

Pemkot Jakarta Timur bahkan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penagihan terhadap pihak TMII.

“Mereka dapat pemasukan. Kok bisa nunggak pajak?” desak Anwar saat ditanyai urgensinya mengajak KPK.

Mengenai hal itu, Unit Pajak Kecamatan Cipayung menjelaskan keterlibatan KPK sebatas upaya penagihan pasif, bukan penyelidikan.

“Kami biasa melibatkan KPK untuk melakukan penagihan, kami libatkan dari bagian pencegahan, bukan penindakan,” terang Eky.

Infografik HL Indepth TMII

Menurut Eky, hingga saat ini belum ada titik temu antara pengelola TMII dan Pemprov DKI. Pihak TMII berdalih, kendati wahana-wahana wisata itu dikomersialkan, tetapi "tetap wisata edukasi budaya" dan berada di atas tanah milik negara, yang seyogyanya tak perlu dikenakan PBB.

Toh, meski sejumlah wahana wisata itu dikomersialkan, tetapi belum memperoleh laba, menurut Manajer Informasi TMII Dwi Windiarto.

Tiga wahana yang diberikan stiker petugas pajak merupakan pihak ketiga yang bekerjasama dengan TMII. Dalam klausul kerjasamanya, ada perjanjian bagi hasil termasuk di antaranya skema pembayaran pajak bumi dan bangunan.

Dwi menjelaskan biaya operasional dan keberlangsungan TMII merupakan subsidi dari pendapatan wahana-wahana yang dikomersialkan tersebut. Sayangnya, tidak semua wahana komersial dapat memberikan subsidi untuk TMII. Misalnya saja Snowbay, yang masih belum memberikan imbal hasil kepada TMII kendati sudah memasuki tahun kesembilan.

Pihak TMII juga masih berkelit tidak memiliki anggaran dari pemerintah pusat maupun daerah untuk tiga wahana lain yang belum ditempeli stiker objek pajak, seperti Teater IMAX Keong Mas, Akuarium Air Tawar, dan Sasono Langgeng Budoyo. Alasannya, pengelola TMII masih menunggu audiensi dengan Pemprov DKI untuk meminta keringanan pajak.

Meski ada alasan-alasan itu, Eky Dharmayanti dari Unit Pajak Cipayung belum melihat laporan keuangan TMII. “Kami belum verifikasi pembukuan keuangan TMII seperti apa,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait TMII atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam