tirto.id - Reformasi telah berjalan hampir 21 tahun. Soeharto sang lokomotif Orde Baru yang terjungkal dari tampuk kekuasaannya wafat 10 tahun silam. Namun, sejumlah peninggalannya masih tersisa sampai hari ini. Selain “hantu komunisme”, ia juga meninggalkan beberapa reruntuhan bekas proyek dan bisnis yang dijalankan diri dan keluarganya.
Krisis ekonomi dan kekuasaan yang melemah drastis, membuat proyek dan bisnis itu terbengkalai. Terlupakan, dan hanya menjadi artefak tentang satu kala saat Keluarga Cendana begitu mudah mengakses dana besar.
Salah satu peninggalan bisnis itu adalah Bali Cliff Resort, hotel mewah yang terletak di Desa Ungasan, pada ketinggian 75 meter di atas Samudra Hindia. Tempo edisi 26 Desember 1992 melaporkan, Bali Cliff Resort yang mempunyai 200 kamar itu dimiliki oleh PT Nusantara Ragawisata pimpinan Darmadji S. Wirjosandjojo, kolega anak Soeharto: Sigit Harjojudanto.
Hotel yang berada di atas tanah seluas 10 hektare itu menawarkan keindahan gua-gua alam, dan memasang tangga berjalan di jurang untuk membawa para tamu ke pantai. Jualan pemandangan seperti ini dianggap terobosan di tengah persaingan dengan hotel-hotel lain di Bali yang rata-rata menawarkan keindahan pantai.
“Di dasar tebing, sebuah gua menunggu wisatawan dengan atraksi tarian kecak pada saat yang dipersiapkan pihak hotel. Bila wisatawan berniat berselancar, alam menyiapkan aliran sungai yang mengalir dari tebing karang menerobos arus dan gelombang,” tulis Kompas edisi 29 September 1993.
Untuk menjaring wisatawan asing, terutama turis dari Jepang yang mayoritas berkunjung ke Bali saat mereka berlibur di Indonesia, manajemen Bali Cliff Resort menjalin kerjasama dengan JAL World Hotel, jaringan industri wisata milik maskapai Japan Airline yang terkoneksi dengan 150 hotel di Jepang dan 250 hotel di pelbagai negara.
“Ada riset yang menyebutkan, dari seluruh turis Jepang yang datang ke Indonesia pada tahun 1991, 80 persen mengunjungi Bali,” tulis Tempo.
Kepada Tempo, Presiden Direktur Bali Cliff Hotel, Darmadji S. Wirjosandjojo, enggan menyebutkan jumlah investasi yang digelontorkan untuk membangun hotel di atas karang terjal tersebut.
Namun, menurut laporan Kompas edisi Rabu, 29 September 1993, total investasi yang ditanamkan oleh Darmadji S. Wirjosandjojo beserta Sigit dan Harry Sapto Soepojo sekitar 50 juta dolar AS atau sekitar 100 miliar.
Setahun kemudian, seperti dilaporkan Tempo edisi 16 Oktober 1993, Presiden Soeharto meresmikan Bali Cliff Resort beserta dua hotel mewah lain, yakni Bali Intercontinental Resort (milik Grup Bimantara pimpinan Bambang Trihatmodjo), dan The Grand Bali Beach milik PT Hotel Indonesia Internasional.
Tahun 2005, Bali Cliff Resort berhenti beroperasi. Kini bekas bangunannya terbengkalai, meski masih dijaga sejumlah tenaga keamanan.
Peternakan Tapos Kesayangan Soeharto
Awal tahun 1970-an, Soeharto membuat sentra peternakan sapi di Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, yang bernama Tri S Ranch Tapos. Proyek ini sempat menjadi sorotan kalangan mahasiswa.
Letjen M. Jasin, yang pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, juga sempat mempertanyakan proyek ini. Menurutnya, seperti dikutip Retnowati Abdul Gani dan Knapp dalam Soeharto: Kehidupan dan Warisan Peninggalan Presiden Indonesia Kedua (2007), Soeharto memperoleh Tapos dengan cara memberikan kemudahan kepada kroni-kroninya.
Pembangunan Tapos memang sarat dengan kesewenang-wenangan rezim Orde Baru. Menurut Muhammad Hasanuddin, warga setempat, seperti dilaporkan Gatra edisi 27 Juli 1998, lahan yang sempat menjadi tempat bermainnya di masa kecil, juga tempat orangtuanya bercocok tanam dan menghidupi keluarga, direbut Soeharto dari penduduk.
“Tahun 1971, Presiden Soeharto datang merebut lahan itu, mengusir, dan menghancurkan masa depan penduduk Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi, Bogor,” ungkapnya.
Peternakan Tapos merupakan salah satu tempat kesayangan Soeharto. Ia rajin mengunjunginya. Soeharto ingin menjadikannya sebagai pusat penghasil ternak unggulan dan percontohan peternakan modern di Indonesia.
Selain kerap mengundang tamu-tamu negara, Soeharto juga pernah meninjau Tapos beserta 114 kader KNPI peserta penataran P4. Dan di peternakan itulah ia untuk pertama kalinya membolehkan mempelajari komunisme, sesuatu yang amat ditakuti di zamannya.
“Ideologi lain itu dipelajari sebagai bahan perbandingan,” ujar Pak Harto kepada para pemuda seperti dilansir Tempo edisi 26 Agustus 1989 dalam artikel bertajuk “Dipelajari Boleh, Disebarkan Jangan”.
Ramadhan K.H, penulis biografi Soeharto: Pikiran, Tindakan, dan Ucapan Saya (1988) dalam “Mengenang Buku dari Jalan Cendana” yang dihimpun dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard (2011), juga mengungkapkan bahwa proses wawancara dengan Soeharto untuk penulisan buku tersebut, salah satunya dilakukan di Tapos.
Dalam biografi yang ditulis Ramadhan K.H itulah Soeharto menjawab pelbagai kecurigaan pihak luar terhadap Tapos. Menurutnya, tanah tersebut mulanya milik PNP (Perusahaan Negara Perkebunan) XI yang bisnisnya memburuk karena tanahnya kurang subur. Pelbagai tanaman, imbuhnya, seperti karet, kina, dan sereh wangi tidak terurus.
“Ada yang mengkhayal, seolah Tapos itu ada istana, kolam renang, tempat angker. Padahal, yang ada kandang sapi, serta sapi-sapinya,” tuturnya.
Setelah Soeharto lengser, Tapos pun mulai terbengkalai. Penduduk menyerbu hingga hampir terjadi bentrokan dengan petugas keamanan PT Sari Rejo Bumi yang mengusai lahan tersebut.
Menurut H. Yanwar, petugas yang bekerja di Tapos, kini peternakan tersebut diurus untuk sekadar bertahan dengan memelihara sapi perah.
“Sejak reformasi, kami sulit bergerak. Jadi, keluarga mempertahankan peternakan ini sebagai kesenangan atau hobi keluarga […] Salah seorang cucu Pak Harto, kami lihat ada yang memiliki hasrat di bidang peternakan dan pertanian seperti kakeknya,” imbuhnya.
Sisa Kejayaan Klub Sepakbola Milik Sigit
Saat Galatama (Liga Sepakbola Utama) menjadi primadona di tanah air, salah seorang Keluarga Cendana ikut mempunyai klub sepakbola. Sigit Hardojudanto mendirikan klub Arseto FC pada 1978 yang prestasinya sempat bersinar.
Mula-mula klub ini bermarkas di Jakarta, kemudian pada 1983 pindah ke Solo sehingga namanya berganti menjadi Arseto Solo. Juara Galatama musim 1992/1993 ini bermarkas di komplek Lapangan Kadipolo, Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Solo.
Komplek klub sepakbola yang dibangun Sigit tersebut saat itu menjadi salah satu yang termegah di Indonesia. Namun, klub yang menyandang sejumlah prestasi dan diisi oleh sejumlah pemain bintang nasional itu tak bertahan lama. Angin reformasi turut menggerusnya. Sepuluh tahun terhitung sejak didirikan, Arseto Solo bubar pada 1998.
Bekas komplek Lapangan Kadipolo kini terbengkalai. Sejumlah cerita mistis kerap beredar secara lisan di antara warga sekitar komplek tersebut. Mes pemain tak terawat dan nampak angker.
“Dulu tempat ini sangat megah. Mes pemain bujang dan keluarga dipisah. Ada juga mes untuk pemain diklat. Belum lagi fasilitas lapangan dan fitnes yang membuat Arseto tak perlu kesulitan untuk berlatih. Jarang klub sekarang yang memiliki komplek seperti Arseto,” tutur Chaidir Ramli, pengelola Lapangan Kadipolo, seperti dikutip Bola Skor.
Editor: Nuran Wibisono