Menuju konten utama
Diajeng Berdaya

Modal Usaha dan Berbagai Tantangan Perempuan Penggiat UMKM

Geliat perempuan penggiat UMKM makin kuat, seiring tingkat literasi dan inklusi keuangan perempuan membaik. Meski begitu, masih saja ada sederet tantangan.

Modal Usaha dan Berbagai Tantangan Perempuan Penggiat UMKM
Header Diajeng Permodalan UMKM Perempuan. tirto.id/Quita

tirto.id - Coba amati akun sosial mediamu. Pasti ada satu-dua kenalan, saudara, teman zaman SMA atau kuliah, yang mempromosikan bisnisnya di platform tersebut, baik yang skalanya kecil maupun sudah besar.

Jangan lupakan ibu-ibu yang kerap bersepeda di depan rumahmu untuk menawarkan jamu atau sayuran, atau ibu pemilik usaha binatu atau warung mie ayam di persimpangan jalan menuju rumahmu.

Bisnis mereka biasanya dirintis dari dalam rumah atau lazim disebut Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Meski skala usaha mereka terkesan tidak signifikan, UMKM nyatanya sudah memiliki peran esensial, jika bukan digadang-gadang sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia.

Menurut data dari Kadin Indonesia, pada tahun 2023 terdapat 66 juta pelaku UMKM. Dari jumlah tersebut, sebanyak 64,5 persen atau 37 juta pelaku adalah perempuan.

Menilik tingginya jumlah perempuan penggiat UMKM, tidak mengherankan banyak yang berusaha mengajukan pinjaman untuk modal usaha ke lembaga keuangan.

Menurut survei terhadap 178 laki-laki dan 300 perempuan oleh fintech pendanaan UMKM Amartha pada 2023 seperti dikutip dari Katadata, terdapat lebih banyak banyak responden perempuan yang pernah mengajukan pinjaman dan pengajuannya diterima (69 persen) daripada laki-laki (59,6 persen).

Amartha, yang sudah 14 tahun menyalurkan pinjaman untuk memberdayakan pelaku usaha perempuan, juga mengakui bahwa UMKM perempuan memiliki tingkat pembayaran lebih baik daripada laki-laki.

“Kami melihat dari berbagai statistik bisnis maupun finansial bahwa UMKM perempuan di seluruh dunia terbukti lebih baik dalam mengelola fasilitas pembayaran dan kredit,” ujar Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra dalam keterangannya pada bulan Mei silam dilansir dari Antara.

Andi menambahkan, hal tersebut juga terbukti dari tingkat non-performing loan (NPL) di Amartha yang kini kurang dari dua persen.

Berbagai Sumber Modal Usaha

Pada beberapa perempuan pengusaha, keputusan untuk mengajukan pinjaman ke institusi keuangan tak mesti diambil saat baru akan memulai usaha, melainkan setelah bisnisnya mampu bertahan beberapa waktu atau dipandang sudah semakin berkembang.

Ini dialami oleh Ayu, pemilik Petis Tahu Ki Demang di Bantul. Ayu merintis bisnis kuliner sejak 1997 dengan berjualan burger sampai masakan khas Pati. Ketika pandemi melanda, usahanya sempat mengalami surut hingga ia terpaksa makan dari tabungan.

Begitu situasi ekonomi membaik pada 2022, Ayu merintis bisnis lagi melalui media sosial, mulai dari kudapan, kue, dan akhirnya tahu petis.

Seiring Ayu merasa bisnisnya mulai berkembang, ia mengajukan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) di bank pemerintah sebesar Rp50 juta. "Agunan berupa BPKB kendaraan dan NIB (Nomer Induk Berusaha) saja," ungkapnya.

Aini, pemilik Alenta Floris di Solo, juga melakukan hal serupa. Ketika merintis bisnisnya pada 2017 silam, ia merasa belum perlu pinjaman modal karena usahanya masih berskala kecil.

Setelah mendapati permintaan dari pembeli semakin tinggi, Aini baru mengajukan KUR, yang berhasil didapatnya setelah menjaminkan BPKB mobil.

"Pinjaman tersebut saya gunakan untuk pembelian bahan baku karena banyak permintaan customer mendadak, sehingga perlu ada stok di toko. Selain itu juga perlu untuk merenovasi ruko," ujar Aini.

Bagi pengusaha lainnya, faktor kehati-hatian menjadi pertimbangan utama untuk mengajukan pinjaman. Pauline, pemilik usaha produk stationary dari kertas daur ulang Palka Kreatif di Yogyakarta, bercerita bahwa dirinya baru berani meminjam modal setelah usahanya memasuki tahun kedelapan.

"Sebenarnya tawaran untuk pinjaman modal banyak sekali, namun saya memilih menabung dan menyisihkan laba untuk pembelian bahan baku. Saat tabungan sudah cukup, laba cukup dan analisis margin aman, saya baru berani menurunkan pinjaman untuk membuat barang ready stock dan membuka toko offline," jelas Pauline yang kini sudah berhasil menjual produknya hingga ke Amerika Serikat.

Walaupun banyak yang menawarkan pinjaman, baik bank pemerintah maupun swasta, Pauline merasa kurang tertarik, bahkan tidak pernah mengajukan pinjaman ke mereka. Alasannya sesederhana karena semua tawaran tersebut mengharuskan adanya jaminan, seperti aset barang atau sertifikat rumah.

Ketika akhirnya merasa perlu mengajukan pinjaman, pilihan Pauline jatuh pada institusi keuangan nonbank seperti koperasi.

"Saat ini saya memilih meminjam di koperasi yang berbasis gotong royong, Cindelaras Tumangkar. Di sini, saya tak perlu menjaminkan apapun, saya hanya perlu menabung di situ," jelas Pauline yang merintis Palka sejak sepuluh tahun lalu.

Sementara itu, Sekar memilih untuk mengajukan pinjaman ke koperasi karena merasa prosesnya lebih mudah dan fleksibel.

“Sebagai mahasiswa, saya belum memiliki riwayat kredit yang panjang atau aset yang cukup sebagai jaminan. Koperasi waktu itu lebih memahami kondisi saya… Saat meminjam, saya hanya dimintai KTP dan mengisi formulir saja,” terang pemilik usaha minuman sehat Fuse Our Time di Boyolali sejak 2022.

Kendati begitu, tahun depan Sekar berminat mengajukan KUR ke bank supaya bisa mendapatkan plafon lebih besar dan dukungan lebih luas.

Lain cerita dengan Nuniek. Pemilik usaha aneka camilan kering 3NES di Yogyakarta ini bercerita, semenjak merintis bisnisnya pada 2017, tak sekalipun ia mengajukan pinjaman ke institusi keuangan.

“Belum waktunya buat pinjam,” aku Nuniek, yang bersama suaminya mengelola dua aset bangunan ruko untuk disewakan. Uang sewa itulah yang kemudian ia gunakan untuk memodali dan membiayai bisnisnya sampai hari ini.

Masih Ada Sederet Tantangan

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Tahun 2024.

Hasilnya mengungkapkan bahwa tingkat literasi keuangan, pengetahuan untuk mengambil keputusan tentang pengelolaan uang, ternyata lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki, tepatnya 66,75 persen dibandingkan 64,14 persen.

Hasilnya tak jauh berbeda pada tingkat inklusi keuangan, akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan. Persentase perempuan sedikit lebih tinggi, 76,08 persen, daripada laki-laki yang sebesar 73,97 persen.

Tingkat literasi dan inklusi keuangan pada perempuan yang menunjukkan tren membaik, ditambah dengan geliat semangat perempuan penggiat UMKM, sudah sepatutnya kita apresiasi.

Sayangnya, masih ada celah-celah yang membuat UMKM perempuan berpotensi stagnan, jika bukan menjadi semakin rentan.

Peneliti Noor Halimah Anjani pernah menulis pada 2021 bahwa salah satu tantangan perempuan pengusaha berkaitan dengan beban rumah tangga yang tinggi karena mereka masih harus mengurus rumah tangga dan mengasuh anak sembari menjalankan usaha.

Tantangan lainnya seperti akses terbatas pada pelatihan kewirausahaan, pemahaman terbatas dalam penggunaan teknologi digital, dan kesulitan mendapatkan akses permodalan dari lembaga formal.

Selain itu, apabila kita mempertimbangkan kembali hasil survei dari Amartha terkait pinjaman untuk modal usaha, meski mayoritas perempuan pelaku UMKM sudah pernah mengajukannya, ada temuan menarik pada yang mengaku belum pernah.

Ketika ditanya kenapa, lebih dari 28 persen perempuan beralasan tidak mengerti cara mengajukan pinjaman atau kredit dan 16,7 persen perempuan beralasan tidak punya agunan, jauh di atas laki-laki yang masing-masing persentasenya 16,3 persen dan 4,1 persen.

Dalam rangka mempermudah akses permodalan, sejak 2015, pemerintah melalui PT Permodalan Nasional Madani (PNM) sudah meluncurkan produk layanan pinjaman modal untuk perempuan prasejahtera pelaku UMKM yang disebut PNM Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera).

Nasabah PNM Mekaar tidak perlu memiliki agunan fisik. Pembiayaan bersifat tanggung renteng kelompok. Syaratnya adalah nasabah harus disiplin membayar angsuran dalam Pertemuan Kelompok Mingguan (PKM). Sampai Triwulan II 2022, terdapat 3.499 cabang PNM Mekaar dengan 12 juta lebih nasabah aktif.

Upaya untuk Memperkuat Pengembangan UMKM

Selama ini permodalan memang termasuk salah satu jenis inisiatif paling populer untuk membantu UMKM, yang diminta baik oleh pelaku usaha maupun dari sisi supply. Demikian disampaikan Peneliti Senior di AKATIGA Pusat Analisis Sosial, Nurul Widyaningrum, dalam keterangan tertulis untuk Tirto.id pada Rabu (21/08/2024).

Nurul menjelaskan, alasannya bisa jadi berkaitan dengan kecenderungan program-program layanan permodalan yang lebih mudah terealisasi dan memiliki capaian yang lebih mudah terukur, seperti jumlah nasabah atau total uang yang disalurkan.

“Tapi, studi-studi AKATIGA juga menunjukkan bahwa bantuan modal tanpa perencanaan yang baik ke mana usaha akan dikembangkan, tidak efektif. Dalam banyak kasus, malah kadang modal itu digunakan untuk konsumsi,” terang Nurul.

Berdasarkan temuan lapangan dari AKATIGA, setidaknya terdapat tiga hal atau pendekatan yang perlu diperhatikan untuk memperkuat upaya pengembangan UMKM.

“Pertama, kita sebenarnya perlu melihat dan mengidentifikasi dulu pengembangan pasar produk mereka yang potensial tapi juga realistis, baru dilihat gap apa yang ada untuk memenuhi pasar potensial tersebut, baik gap keuangan maupun mungkin skill,” ujar Nurul.

Nurul mencontohkan, pendampingan yang pernah mereka lakukan pada pengrajin anyaman bambu untuk pasar ekspor meliputi upaya untuk meningkatkan skill pengrajin agar produknya memenuhi standar dan modal awal untuk membeli bahan baku berkualitas.

“Mungkin di sektor lain, butuh mesin-mesin tertentu. Jadi, bantuan modal itu mengikuti kebutuhan real pelaku UMKM,” imbuh Nurul.

Hal kedua yang disorot Nurul berkaitan dengan gender atau peran ganda perempuan dalam rumah tangga, “Kebutuhan menyeimbangkan kerja produktif untuk usaha dan kerja-kerja reproduktif dan care work—terutama terkait anak—lebih terlihat bagi pelaku usaha perempuan dibandingkan laki-laki.”

Sebagai salah satu upaya untuk membantu meringankan beban gender pada perempuan, Nurul mencontohkan apa yang sudah dilakukan oleh koperasi perempuan di Gayo, Aceh yang menaungi pelaku usaha kopi ekspor berprinsip fair trade.

“Mereka mengalokasikan sebagian tempat usaha mereka untuk tempat penitipan anak. Jadi ibu yang bekerja bisa mengawasi anaknya tidak terlalu jauh tapi tempatnya juga safe. Inisiatif semacam ini bisa didorong untuk secara kolektif kalau di usaha-usaha yang sifatnya sentra, atau di tingkat lingkungan.”

Terkait pendekatan ketiga, Nurul menekankan pentingnya perhatian khusus untuk pelaku usaha skala mikro yang cenderung lebih rentan karena guncangan ekonomi. Misalnya, anggaran yang seharusnya mereka gunakan untuk modal usaha terpaksa dialihkan untuk pengobatan anggota keluarga yang sakit.

“Di sisi ini, berbagai program jaminan sosial harus semakin merata supaya mengurangi kerentanan. Di antaranya memastikan, dan kalau mungkin, memperluas subsidi untuk iuran Jaminan Kesehatan Nasional, dan lainnya,” pungkas Nurul.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya & Sekar Kinasih

tirto.id - Diajeng
Penulis: Daria Rani Gumulya & Sekar Kinasih
Editor: Sekar Kinasih